Dari kacamata lingkungan hidup, bencana ini adalah “audit alam terbuka”. Banjir bandang jarang sekali berdiri sendiri. Ada utang lama di hulu: pembabatan lereng, sungai yang disempitkan, perbukitan yang digunduli atas nama ekonomi lokal. Hujan ekstrim hanya menekan tombol “enter”, maka jadilah itu banjir bandang.
Air yang seharusnya meresap malah jadi pelari maraton: langsung menuruni lereng sambil membawa kayu hasil potongan ilegal logging yang entah sejak kapan berserakan. Di banyak tempat, banjir bukan sekadar limpahan air, melainkan “kiriman dendam ekologis” dari masa lalu, mungkin di era penguasa tertentu.
Perubahan iklim memperbesar intensitas hujan; kerusakan lingkungan mempercepat alirannya; ketidakseriusan tata ruang memperluas dampaknya. Kolaborasi fatal. Kita sering mengira bencana itu musibah alam. Padahal 60 persen isinya musibah manusia, 40 persen sisanya baru alam. Air tidak pernah salah alamat; manusialah yang membangun rumah di alamat yang salah.
Tanah-tanah di Aceh dan Sumatra sesungguhnya pernah punya “daya tahan” lebih baik, terutama di era ketika hutan alam masih menjadi ibu kandung yang menyusui lereng-lereng dengan akar, seresah, dan spons alami yang menyerap air tanpa mengeluh.
Namun dalam dua dekade terakhir, lanskap itu berubah seperti tubuh yang kehilangan jaringan otot: digantikan kebun monokultur, tambang terbuka, jalan logging, dan pemadatan tanah oleh alat berat yang bekerja siang-malam.
Permukaan tanah yang dulu gembur kini keras seperti loyang kue, sehingga air hujan tidak lagi meresap secara pelan dan disiplin, tapi ditolak mentah-mentah lalu disalurkan langsung ke lembah dalam bentuk larian permukaan.
Hutan hujan tropis yang dulu berfungsi sebagai bank air—menyimpan ketika berlebih, melepas ketika musim kering—berkurang drastis, membuat sistem hidrologi lokal jompo sebelum waktunya.
Dulu hujan besar masih bisa dinikmati sebagai simfoni alam; kini hujan sama saja dengan alarm darurat. Ketika fondasi ekologis hilang, tanah pun kehilangan kemampuan paling dasarnya: menelan air.



