Koran Sulindo – Hampir setiap hari berita tentang tentang Timur Tengah menjadi headline media-media terkemuka dunia. Dari mulai dari perang saudara di Suriah, Yaman, atau hubungan diam-diam Saudi dan Israel.

Hampir dari semua cerita di Timur Tengah itu, langsung atau tidak dipastikan melibatkan kepentingan AS.

Semua komentar analis, pakar dan jurnalis membicarakan setiap kejadian di wilayah itu adalah sesuatu yang benar-benar baru. Halo? Apakah mereka semua itu baru terbangun dari koma selama lima puluh tahun?

Shah Iran, Ronald Reagan, Perang Yom Kippur, tidakkan dunia pernah mendengar tentang mereka!

Lalu ketika tiba-tiba histeria itu meledak ketika Presiden AS Donald Trump sepakat mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan berniat memindahkan kedutaan AS dari Tel Aviv. Hampir semua reaksi adalah lamis dan pura-pura lupa bahwa UU itu diteken Kongres AS bertahun-tahun sebelumnya.

Kerja sama negara-negara Islam atau OKI langsung menggelar sidang darurat, di Istambul Turki. Hasilnya? Tak lebih dari sekadar komunike alias omong kosong. Tak pernah ada sebutir pelurupun berani ditembakkan yang mengarah wilayah Israel. Jangankan aksi militer, sekadar boikot produk-produk AS sekalipun tak pernah dianjurkan. Palestina selalu menjadi bungkus isu domestik negara mereka masing-masing.

Sementara orang-orang Palestina tetap ditembaki tentara Israel di Tapi Barat dan Jalur Gaza, Saudi diam-diam makin mesra bergandengan tangan Israel. Segera jelas bahwa ‘aliansi’ ini berkembang di bawah bimbingan Amerika.

Meski tetap mengaku tak memiliki hubungan resmi dengan Israel, Menteri Luar Negeri Saudi Adel al-Jubeir mengaku mereka memiliki road map inisiatif perdamaian untuk membangun hubungan yang normal dengan Israel. Ia menyebut pendekatannya tetap dalam koridor Inisiatif Perdamaian Arab tahun 2002.

Kepada saluran televisi Perancis, Jubeir juga membantah bahwa Riyadh menekan Presiden Palestina Mahmoud Abbas untuk menerima rencana Washington mengenai penyelesaian krisis atau harus mengundurkan diri.

“Posisi kami di Yerusalem selalu sangat jelas. Kami percaya pada solusi dua negara berdasarkan resolusi PBB yang relevan dan prakarsa perdamaian Arab. Kami percaya bahwa pada akhirnya, kita akan melihat sebuah negara Palestina dengan Yerusalem timur sebagai ibukotanya. Ini adalah posisi kita,”kata Jubeir. “Kami yakin pemerintahan Trump serius membawa perdamaian antara orang Israel dan Arab.”

Inisiatif Perdamaian Arab digagas tahun 2002 dan ditujukan untuk menuntaskan krisis Palestina dan Israel. Inisiatif itu mendesak penyelesaian konflik dengan merujuk perbatasan Arab sebelum tahun 1967.

Banyak analis memperkirakan, hanya masalah waktu saja sebelum Raja Saudi mendarat di Bandara Ben Gurion di Tel Aviv, dan membentuk ‘NATO’ baru di Timur Tengah. Sementara ini, keduanya disatukan oleh tujuan dan musuh bersama, Iran.

Beberapa minggu sebelum peryataan konyol Donald Trump soal Yerusalem itu, spekulasi sudah terlanjur menyebar di Timur Tengah tentang persahabatan antara Putra Mahkota Saudi, Mohamed bin Salman dengan Jared Kushner, menantu Donald Trump. Koalisi Saudi-Israel membayangkan transformasi dramatis di Timur Tengah dalam bentuk perang dingin atau panas Sunni-Syiah.

Itu tak lebih dari deja vu, toh geopolitik di Timur Tengah sejatinya tak pernah berubah.

Orang bisa saja menentang fondasi kebijakan AS di Timur Tengah sejak akhir Perang Dunia II untuk mempertahankan intervensi diplomatik dan militernya. Mereka memahami bahwa itu diperlukan untuk membendung ancaman regional dan global atas semua kepentingan Barat, dan yang paling utama adalah melindungi Israel.

Alasan lain mengapa Washington tetap bermitra dengan Saudi dan Iran di bawah kepemimpinan Shah adalah respon atas ancaman Uni Soviet, pemerintahan radikal di Timur Tengah seperi Gamal Abdul Nasser di Mesir, revolusi Iran tahun 1979, atau kediktatoran sosialis sekuler Ba’ath di Irak dan Suriah.

Di era pemerintahan Eisenhower, AS membangun sebuah aliansi regional untuk membendung Nasser dan Soviet dengan kebijakan ‘Twin Pillar’ yang diimplementasikan pada era Richard Nixon. Shah di Iran dan Arab Saudi adalah kepanjangan tangan AS untuk menjaga keseimbangan kekuasaan di Teluk Persia.

AS juga mendorong negara Muslim non-Arab pro-Barat seperti Turki untuk bekerja sama dengan Israel membendung ancaman Nasser dan Soviet. Tak mengherankan jika sebagai mitra AS, Saudi dan Israel telah lama memiliki kerjasama keamanan dan intelijen.

Di sisi lain, kemenangan militer Israel dalam Perang Enam Hari memaksa Nasser menarik sebagian besar pasukan Mesir dari Yaman. Namun, pada saat yang sama kemenangan itu meradikalisasi nasionalisme Arab dan Palestina. Kondisi ini memberi Moskow kesempatan lebih banyak untuk mencampuri urusan di wilayah ini.

Revolusi Iran dan invasi Soviet di Afghanistan menciptakan insentif untuk kerjasama intelijen di balik layar antara Israel dan Saudi. Hubungan itu tak pernah berkembang menjadi kemitraan terbuka karena alasan yang mendasar yakni soal Palestina yang terus menjadi penghalang terbentuknya aliansi strategis Israel dan Saudi di Timur Tengah.

Geopolitik sedikit berubah setelah serangan 9/11 yang memicu sentimen anti-Amerika, khususnya dalam bentuk jaringan teror Al-Qaeda. Pembuat kebijakan di AS kembali menemukan mereka kembali di titik awal yakni harus menjaga komitmen membela Arab Saudi sebagai pelindung sumber energi AS di wilayah ini dan tentu saja melindungi Israel. [TGU]