Koran Sulindo – Kampanye belum dimulai, tapi genderang perang di ajang pemilihan kepala daerah DKI Jakarta telah ditabuh. Salah satunya lewat berbagai survei atau jajak pendapat di kalangan masyarakat Jakarta.
Misalnya, survei yang dirilis Lingkar Survei Indonesia (LSI) baru-baru ini menempatkan posisi Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)–Djarot Saiful Hidayat di posisi teratas dengan 31,4 persen. Posisi selanjutnya ditempati Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Salahudin Uno dengan 21,1 persen dan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni dengan 19,3 persen.
Meski masih unggul, elektabilitas Ahok secara pribadi disebut melorot jauh jika dibandingkan pada Maret 2016. Ketika itu elektabilitas Ahok mencapai 59,3 persen. Angka ini bahkan jauh lebih tinggi jika dbandingkan dengan total elektabilitas 10 pesaing Ahok yakni hanya 26,30 persen. Tapi, pada Oktober 2016, elektabilitas Ahok pribadi tinggal 31,1 persen.
Elektabilitas Agus pribadi mencapai 22,30 persen dan Anies pribadi sebesar 20,20 persen. Akan tetapi, gabungan elektabilitas Anies dan Agus yakni 42,3 persen mampu mengalahkan elektabilitas Ahok. Selisihnya di atas 10 persen. Pemilih yang belum memutuskan, tidak tahu/tidak jawab atau rahasia total sebanyak 28,2 persen.
LSI melakukan survei pada 28 September hingga 2 Oktober 2016 dengan 440 responden, Survei ini memakai wawancara tatap muka, metode multi-stage random sampling dengan margin of error plus minus 4,8 persen.
Peneliti LSI, Ardian Sopa , menuturkan pasangan Ahok Djarot juga berpotensi kalah jika Pilgub DKI berlangsung dua putaran. Pasangan petahan ini dipastikan akan lolos ke putaran kedua. Namun, dalam putaran akhir itu, pasangan Ahok-Djarot akan kalah jika berhadapan dengan Anies-Uno. Ahok-Djarot hanya memperoleh 32,1 persen, sementara Anies-Uno mendapatkan 38 persen.
Hal yang sama juga terjadi jika Ahok-Djarot berhadapan dengan Agus-Sylvi yang mendapat 35,1 persen. Menurut Sopa, ada empat alasan mengapa pasangan Ahok-Djarot kalah dalam putaran kedua. Salah satunya karena perpindahan dukungan. Semisal, Agus-Sylvi gagal melaju ke putaran kedua, pendukung mereka akan mengalihkan dukungannya kepada Anies-Uno dengan persentase 64,3 persen. Hanya 14,3 persen pendukung Agus yang pindah ke Ahok.
Sebaliknya, jika pasangan Anies-Uno gagal melaju ke putaran kedua, maka pendukungnya akan mengalihkan dukungannya ke Agus-Sylvi sebesar 59,1 persen. Sementara yang pindah ke Ahok hanya 8,6 persen. Alasan kedua, Anies dan Agus lebih unggul dalam kategori pemilih muslim. Ahok-Djarot hanya mendapat dukungan pemilih muslim sebesar 28,9 persen jika berhadapan dengan Anies-Uno yang jumlah pemilih muslimnya mencapai 40,3 persen. Bahkan jumlah pemilih muslim Agus-Sylvi sebesar 37,4 persen melebihi pasangan Ahok-Djarot yang hanya 28,4 persen.
Selanjutnya, kata Sopa, Ahok- Djarot akan kalah dalam putaran kedua karena pemilih non-Tionghoa lebih besar. Pemilih yang tidak ingin gubernurnya dari etnis Tionghoa meningkat 30 persen pada Maret 2016 menjadi 50 persen pada bulan ini.
“Terakhir, membesarnya sentimen anti Ahok karena kebijakan dan kepribadiannya meningkat dari 25 persen pada Maret, menjadi 38,6 persen pada Oktober 2016,” kata Sopa.
Soal kepribadian Ahok yang dianggap arogan, menurut Wakil Ketua Tim Pemenangan Ahok-Djarot, Dono Prasetyo, kepribadian tersebut merupakan ciri khas seseorang. Karakter disebut meledak-ledak dan menjadi modal pada Pilgub nanti. Karena itu, hasil survei LSI akan dijadikan masukan, akan tetapi tidak akan masuk ke soal-soal pribadi tersebut.
Warga disebut akan memilih berdasarkan kinerja bukan karena tingkat elektabilitas pemimpin. Dono mengklaim tingkat kepuasaan publik terhadap kinerja Ahok mencapai 70 persen. Apa yang dilakukan Ahok selama lima tahun memimpin Jakarta berjalan dengan baik walau juga kerap dihujat karena kebijakannya yang menggusur rumah-rumah warga miskin. Hasil survei LSI ini akan dijadikan bahan pertimbangan dan masukan sebagai strategi pemenangan.
“Strategi pemenangan kali ini berbeda dengan lima tahun lalu. Kala itu Joko Widodo-Ahok bertarung dengan petahana. Kali ini Ahok akan menunjukkan hasil kinerja selama lima tahun,” kata Dono.
Seperti LSI, survei yang dirilis PolMark Research Center menyebutkan tingkat elektabilitas Ahok menurun tinggal 31,9 persen. Penurunan elektabilitas Ahok ini berdasarkan survei 28 September hingga 4 Oktober 2016. Pada Juli lalu, elektabilitas Ahok masih bertengger di angka 42,7 persen. Namun, dalam waktu tiga bulan terjadi kecenderungan penurunan elektabilitas Ahok.
Sedangkan hasil elektabilitas untuk pasangan Anies-Uno mencapai 23,2 persen, dan Agus- Sylviana memperoleh 16,7 persen. Survei ini melibatkan 1.100 responden. Mereka adalah warga Jakarta yang memiliki hak pilih. Pengambilan sampel menggunakan metode multistage random sampling atau sampel acak bertingkat. Survei dilakukan dengan mewawancarai responden secara tatap muka. Dari jumlah itu, 28,2 persen belum menentukan pilihan. Tingkat kesalahan survei ini adalah 2,9 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.
Menurut survei ini, pemilih setia Ahok-Djarot tinggal 23,2 persen. Ada penurunan dari Juli lalu dimana pemilih setia pasangan ini mencapai 28,7 persen.
Elektibilitas Ahok-Djarot Tetap Tinggi
Tapi, hasil survei Populi Center menunjukkan data berbeda. Survei Populi Center–yang digelar pada periode yang sama dengan survei LSI itu– merilis elektabilitas Ahok-Djarot bertahan di angka 45,5 persen. Sedangkan pasangan Anies-Uno sebesar 23,5 persen dan Agus-Sylviana di angka 15,8 persen. Untuk tingkat elektabilitas individu juga hampir sama, Ahok sekitar 43 persen, Anies Baswedan 24,5 persen dan Agus Harimurti 16,3 persen. Survei Populi juga menyebutkan pemilih loyal Ahok mencapai 32,17 persen.
Survei tersebut dilakukan dari 25 September hingga 1 Oktober 2016 dengan 600 responden. Survei dilakukan dengan metode multi-stage random sampling dengan tingkat kesalahan kurang 4 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen.
Koordinator Pemenangan Pemilihan Umum Partai Golkar, Nusron Wahid, termasuk yang meyakini survei Populi itu akurat, meski ada perbandingan yang cukup jauh dengan dua lembaga survei lainnya. Nusron yakin warga Jakarta sudah cerdas menentukan pilihannya. “Yang swing voters itu akan memilih orang yang terbukti bekerja,” kata Nusron.
Sementara itu, pengurus pimpinan pusat PDI Perjuangan Andreas Hugo Pareira meyakini pasangan Ahok-Djarot akan tetap unggul dibanding dua pasangan lain yang menjadi pesaingnya. Penurunan hasil survei Ahok tidak membuat PDI Perjuangan gentar. Dan ia menganggap sebagai kewajaran karena kini telah muncul dua pasangan lainnya.
Bahkan sosialiasi yang masif dan gencar oleh pasangan Anies-Uno dan Agus-Sylvi juga tidak membuatnya khawatir. “Ketika masa kampanye tiba, Ahok-Djarot akan tetap unggul, apalagi hasil kerjanya sudah dirasakan warga Jakarta” kata Andreas.
Andreas menuturkan, cara kampanye petahana di masa kampanye sudah disusun dengan jelas. Antara lain dengan menyampaikan keberhasilannya ketika memimpin DKI kepada publik. Dengan masifnya sosialiasi seperti itu, maka diyakini warga Jakarta akan kembali memilih pasangan Ahok-Djarot.
Ramalan survei siapa yang terbukti benar? Itu baru akan terbukti saat hari pencoblosan Februari tahun depan. [Kristian Ginting]


![Apakah Rasa Takut Israel Membenarkan Perangnya dengan Iran? Pada dini hari tanggal 13 Juni, Israel melancarkan serangan "preemptif" terhadap Iran. Ledakan mengguncang berbagai bagian negara itu. Di antara targetnya adalah situs nuklir di Natanz dan Fordo, pangkalan militer, laboratorium penelitian, dan tempat tinggal militer senior. Pada akhir operasi, Israel telah menewaskan sedikitnya 974 orang sementara serangan rudal Iran sebagai balasan telah menewaskan 28 orang di Israel. Israel menggambarkan tindakannya sebagai pertahanan diri antisipasi, dengan mengklaim Iran hanya tinggal beberapa minggu lagi untuk memproduksi senjata nuklir yang berfungsi. Namun penilaian intelijen, termasuk oleh sekutu Israel, Amerika Serikat, dan laporan oleh Badan Energi Atom Internasional (IAEA) tidak menunjukkan bukti Teheran sedang mengejar senjata nuklir. Pada saat yang sama, diplomat Iran sedang berunding dengan mitra AS untuk kemungkinan kesepakatan nuklir baru. Namun, di luar analisis militer dan geopolitik, muncul pertanyaan etika serius: apakah secara moral dapat dibenarkan untuk melancarkan serangan yang menghancurkan tersebut bukan berdasarkan apa yang telah dilakukan suatu negara, tetapi berdasarkan apa yang mungkin dilakukannya di masa mendatang? Preseden apa yang ditetapkan oleh hal ini bagi seluruh dunia? Dan siapa yang dapat memutuskan kapan rasa takut cukup untuk membenarkan perang? Pertaruhan Moral yang Berbahaya Hossein Dabbagh, seorang asisten profesor filsafat di Northeastern University London, mengemukakan pandangannya untuk Al Jazeera. Para ahli etika dan pengacara internasional menarik garis kritis antara perang preemptif dan preventif. Preemptif menanggapi ancaman yang akan segera terjadi—serangan langsung. Perang preventif menyerang kemungkinan ancaman di masa mendatang. Hanya yang pertama memenuhi kriteria moral yang berakar pada karya-karya filosofis para pemikir seperti Augustine dan Aquinas, dan ditegaskan kembali oleh para ahli teori modern seperti Michael Walzer—menggemakan apa yang disebut rumus Caroline, yang mengizinkan kekuatan preemptif hanya ketika ancaman itu "seketika, sangat kuat, dan tidak memberikan pilihan, dan tidak ada waktu untuk pertimbangan". Namun, serangan Israel gagal dalam ujian ini. Kemampuan nuklir Iran baru akan rampung dalam beberapa minggu. Diplomasi belum sepenuhnya dilakukan. Dan kehancuran yang mungkin terjadi—termasuk dampak radioaktif dari ruang sentrifus—jauh melampaui kebutuhan militer. Hukum tersebut mencerminkan batasan moral. Pasal 2(4) Piagam PBB melarang penggunaan kekerasan, dengan satu-satunya pengecualian dalam Pasal 51, yang mengizinkan pembelaan diri setelah serangan bersenjata. Seruan Israel untuk pembelaan diri antisipasi bergantung pada kebiasaan hukum yang diperdebatkan, bukan hukum perjanjian yang diterima. Para ahli PBB menyebut serangan Israel sebagai "tindakan agresi terang-terangan" yang melanggar norma jus cogens. Pengecualian yang mahal seperti itu berisiko merusak tatanan hukum internasional. Jika satu negara dapat secara kredibel mengklaim tindakan pencegahan, negara lain juga akan melakukannya—mulai dari China yang bereaksi terhadap patroli di dekat Taiwan, hingga Pakistan yang bereaksi terhadap sikap India—yang mana akan merusak stabilitas global. Para pembela Israel menanggapi bahwa ancaman eksistensial membenarkan tindakan drastis. Para pemimpin Iran memiliki sejarah retorika yang bermusuhan terhadap Israel dan secara konsisten mendukung kelompok-kelompok bersenjata seperti Hizbullah dan Hamas. Mantan Kanselir Jerman Angela Merkel baru-baru ini berpendapat bahwa ketika keberadaan suatu negara terancam, hukum internasional kesulitan untuk memberikan jawaban yang jelas dan dapat ditindaklanjuti. Bekas luka historis itu nyata. Namun para filsuf memperingatkan bahwa kata-kata, betapapun penuh kebencian, tidak sama dengan tindakan. Retorika berdiri terpisah dari tindakan. Jika ucapan saja membenarkan perang, negara mana pun dapat melancarkan perang preemptif berdasarkan retorika kebencian. Kita berisiko memasuki "keadaan alamiah" global, di mana setiap momen yang menegangkan menjadi penyebab perang Teknologi Menulis Ulang Aturan Teknologi memperketat tekanan pada kehati-hatian moral. Drone dan pesawat F-35 yang digunakan dalam Rising Lion bekerja sama untuk melumpuhkan pertahanan Iran dalam hitungan menit. Negara-negara dulunya dapat mengandalkan waktu untuk berdebat, membujuk, dan mendokumentasikan. Rudal hipersonik dan drone bertenaga AI telah mengikis jendela itu—menghadirkan pilihan yang sulit: bertindak cepat atau kehilangan kesempatan. Sistem ini tidak hanya mempersingkat waktu pengambilan keputusan—tetapi juga menghilangkan batas tradisional antara masa perang dan masa damai. Ketika pengawasan drone dan sistem otonom tertanam dalam geopolitik sehari-hari, perang berisiko menjadi kondisi default, dan perdamaian menjadi pengecualian. Kita mulai hidup bukan di dunia yang penuh krisis sementara, tetapi dalam apa yang disebut filsuf Giorgio Agamben sebagai keadaan pengecualian permanen—suatu kondisi di mana keadaan darurat membenarkan penangguhan norma, bukan hanya sesekali tetapi terus-menerus. Dalam dunia seperti itu, gagasan bahwa negara harus secara terbuka membenarkan tindakan kekerasan mulai terkikis. Keunggulan taktis, yang disebut sebagai "keunggulan relatif", memanfaatkan kerangka waktu yang terkompresi ini—tetapi memperoleh kemajuan dengan mengorbankannya. Di era di mana intelijen rahasia memicu reaksi yang hampir seketika, pengawasan etika pun surut. Doktrin langkah pertama di masa depan akan lebih mengutamakan kecepatan daripada hukum, dan kejutan daripada proporsi. Jika kita kehilangan perbedaan antara perdamaian dan perang, kita berisiko kehilangan prinsip bahwa kekerasan harus selalu dibenarkan—bukan diasumsikan. Jalan Kembali ke Pengendalian Diri Tanpa perbaikan arah segera, dunia menghadapi risiko norma baru: perang sebelum akal sehat, ketakutan sebelum fakta. Piagam PBB bergantung pada kepercayaan bersama bahwa kekuatan tetaplah pengecualian. Setiap serangan yang disiarkan di televisi mengikis kepercayaan itu, yang mengarah pada perlombaan senjata dan serangan refleksif. Untuk mencegah rentetan konflik yang didorong oleh rasa takut ini, beberapa langkah penting dilakukan. Harus ada verifikasi yang transparan: Klaim tentang "ancaman yang akan segera terjadi" harus dinilai oleh entitas yang tidak memihak—pemantau IAEA, komisi penyelidikan independen—bukan dikubur dalam berkas rahasia. Diplomasi harus diutamakan: Pembicaraan, jalur belakang, sabotase, sanksi—semua harus dibuktikan habis sebelum serangan. Bukan sebagai pilihan, bukan secara retroaktif. Harus ada penilaian publik terhadap risiko sipil: Pakar lingkungan dan kesehatan harus mempertimbangkannya sebelum perencana militer menarik pelatuk. Media, akademisi, dan publik harus bersikeras bahwa ambang batas ini dipenuhi—dan meminta pertanggungjawaban pemerintah. Perang preemptif, dalam kasus yang jarang terjadi, dapat dibenarkan secara moral—misalnya, rudal yang disiapkan di landasan peluncuran, armada yang melintasi garis merah. Namun, standar itu memang dirancang tinggi. Serangan Israel terhadap Iran bukanlah preventif, serangan itu diluncurkan bukan untuk melawan serangan yang sedang berlangsung, tetapi untuk melawan kemungkinan yang ditakutkan. Melembagakan ketakutan itu sebagai dasar perang adalah undangan untuk konflik yang terus-menerus. Jika kita mengabaikan kehati-hatian atas nama rasa takut, kita mengabaikan batasan moral dan hukum bersama yang menyatukan umat manusia. Tradisi perang yang adil menuntut kita untuk tidak pernah memandang mereka yang mungkin menyakiti kita sebagai ancaman belaka—tetapi sebagai manusia, yang masing-masing layak untuk dipertimbangkan dengan saksama. Perang Iran-Israel lebih dari sekadar drama militer. Perang ini adalah ujian: apakah dunia masih akan mempertahankan batasan antara pembelaan diri yang dibenarkan dan agresi yang tak terkendali? Jika jawabannya tidak, maka ketakutan tidak hanya akan membunuh tentara. Ketakutan akan membunuh harapan rapuh bahwa pengendalian diri dapat membuat kita tetap hidup. [BP]](https://koransulindo.com/wp-content/uploads/2025/07/Asap-mengepul-di-Teheran-180x135.jpeg)

