Setiap bulan Ramadhan tiba, berbagai tradisi khas mulai menghiasi kehidupan masyarakat, mulai dari ngabuburit hingga tarawih berjamaah. Anak-anak dan remaja pun lebih banyak menghabiskan waktu di masjid atau lingkungan sekitar, menciptakan kebersamaan dalam berbagai aktivitas, termasuk permainan tradisional. Salah satu yang paling populer adalah perang sarung, sebuah permainan sederhana yang sudah lama menjadi bagian dari budaya Ramadhan.
Namun, seiring waktu, makna permainan ini mulai bergeser. Dari sekadar ajang hiburan dan adu ketangkasan, perang sarung kini semakin sering berubah menjadi aksi berbahaya yang mengancam keselamatan. Insiden tragis yang melibatkan anak-anak dan remaja akibat permainan ini menjadi alarm bagi kita semua untuk lebih memperhatikan fenomena yang berkembang di tengah masyarakat.
Bagaimana perang sarung yang dahulu penuh keseruan bisa berujung pada kekerasan? Apa yang menyebabkan pergeseran ini, dan bagaimana cara mengembalikan permainan ini ke makna aslinya?
Bulan Ramadhan yang identik dengan berbagai aktivitas khas, seperti berpuasa sebulan penuh, keseruan ngabuburit, berbuka puasa, shalat tarawih, hingga sahur. Selain itu, ada satu permainan yang kerap muncul di bulan suci ini, yaitu perang sarung. Meskipun permainan ini tidak hanya ada di bulan Ramadhan, intensitasnya meningkat karena anak-anak dan remaja lebih sering berkumpul di masjid, baik saat tarawih maupun selepas shalat subuh.
Secara tradisional, perang sarung adalah permainan yang sederhana. Sarung digulung, diikat pada bagian ujung, lalu diputar dan diarahkan ke lawan layaknya duel adu ketangkasan. Awalnya, permainan ini hanya bertujuan sebagai hiburan dan tidak membahayakan. Namun, sayangnya, beberapa oknum mulai memasukkan batu atau benda keras ke dalam sarung, yang membuat permainan ini berubah menjadi ajang kekerasan yang dapat menyebabkan cedera serius, bahkan kematian.
Kasus tragis akibat perang sarung terjadi baru-baru ini di Kuningan. Seorang pelajar SMPN 1 Cigugur, Muhamad Hilman Herdiana (14), meninggal dunia diduga akibat permainan ini pada Kamis (06/03/2025). Insiden serupa juga terjadi di Pekanbaru, Riau, di mana seorang anak bernama Reyhan Aprilian (15) tewas setelah terlibat dalam perang sarung pada Sabtu (03/03/2025) malam.
Dua kasus tersebut menunjukkan bahwa permainan sederhana ini kini menjadi sesuatu yang mengerikan. Dahulu, perang sarung hanya sekadar permainan anak laki-laki yang menguji ketangkasan dan sportivitas. Namun, maknanya kini telah bergeser menjadi aksi tawuran yang berbahaya. Perubahan zaman, kurangnya kontrol sosial, serta minimnya edukasi mengenai batasan dalam permainan tradisional menjadi faktor utama yang membuat perang sarung semakin tidak terkendali.
Sejatinya, perang sarung memiliki sejarah panjang sebagai permainan tradisional yang positif. Dengan edukasi yang tepat dan kesadaran dari berbagai pihak, permainan ini dapat dikembalikan ke akar budayanya, yakni sebagai ajang kebersamaan yang menyenangkan dan tidak berbahaya. Oleh karena itu, kolaborasi antara keluarga, sekolah, dan masyarakat sangat penting dalam mengatasi fenomena ini. Dengan pengawasan yang lebih baik, perang sarung bisa kembali menjadi bagian dari tradisi yang mengajarkan nilai sportivitas dan kebersamaan, bukan kekerasan dan permusuhan. [UN]