Presiden Duterte jadikan perang narkotika sebagai modus untuk habisi lawan politik [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Perang narkotika yang dideklarasikan Rodrigo Duterte sejak masih calon presiden Filipina kini berubah menjadi kebijakan yang “menakutkan”. Setelah menjadi presiden, Duterte meresmikan kebijakannya itu dan ribuan orang tewas telah sejak 2016.

Kebijakan perang terhadap narkotika itu resmi menjadi kebijakan pemerintah dan Tanpa ampun, aparat penegak hukum di bawah perintah Duterte menembak mati siapa saja yang diduga terlibat narkotika. Perang narkotika itu semakin menciptakan ketakutan kepada masyarakat, terutama dalam 5 hari terakhir yang menewaskan 2 wali kota di negara itu. Mereka tewas diterjang peluru.

Akibatnya, situasi dan keadaan semakin memburuk. Kejadian penembakan terhadap wali kota itu menimpa Ferdinand Bate. Seperti ditulis Time, kelompok bersenjata yang menggunakan sepeda motor menyerangnya setelah meninggalkan tempat pertemuan di Kota Cabanatuan, berjarak 100 mil sebelah utara Manila, Ibu Kota Filipina.

Padahal sebelumnya, Wali Kota Antonio Cando Halili ditembak ketika sedang mengikuti upacara bendera di depan kantornya. Pelakunya diduga penembak jitu. Dua kematian wali kota itu menjadikan 10 wali kota di Filipina telah tewas sejak kebijakan perang narkotika ini dideklarasikan pada 2016.

Seperti Duterte, Wali Kota Tanuan Halili merupakan tokoh populer karena kebijakannya yang memajang dan mengarak tersangka pengedar narkoba untuk dipermalukan. Ia juga dikenal sebagai Wali Kota yang pro pada Duterte. Pihak berwenang memasukkannya dalam daftar pejabat yang diduga terlibat bisnis narkotika. Akan tetapi, tuduhan demikian seringkali tidak pernah terbukti.

Kematian Halili hanya selang 4 hari ketika Duterte membuat sebuah lelucon bahwa para wakil wali kota sebaiknya menculik atau melengserkan atasannya.

Kematian 2 wali kota yang hanya terjadi dalam 5 hari terakhir mendapat tanggapan dari senator oposisi Antonio Trillanes. Kepada Time, Trillanes mengatakan, budaya kekerasan Duterte kini menjadi ancaman nyata. Masyarakat merasa ketakutan dan terancam. “Tidak ada lagi rasa aman,” tutur Trillanes.

Dikatakan Trillanes, dirinya menjadi target pembunuhan pada tahun lalu. Dan kematian Halili itu terbukti berhubungan dengan perang narkotika sehingga Duterte telag mengubah Filipina sebagai ibu kota “pembunuhan” di Asia.

Sejarah Filipina
Filipina memang punya sejarah panjang yang berhubungan dengan pembunuhan politik. Itu yang dialami Benigno “Ninoy” Aquino Jr. ketika menjadi lawan politik diktator Ferdinand Marcos. Dan kejadian itu pula yang memicu gerakan demokratik rakyat untuk menggulingkan Marcos. Kemudian, di bawah Presiden Gloria Macapagal Arroyo pada 2009, setidaknya 57 orang tewas oleh kelompok bersenjata.

Orang-orang yang tewas itu merupakan kandidat yang menantang klan penguasa di daerah-daerah. Mengamati fenomena itu, analis Richard Heydarian menuturkan, serentetan pembunuhan wali kota di bawah Duterte disebut sebagai cerminan impunitas dan itu diperparah oleh kebijakan perang narkotika.

“Saya belum melihat ada kasus pembunuhan yang dilakukan tanpa proses hukum diselesaikan,” kata Heydarian.

Selama perang narkotika itu diperkirakan sekitar 20 ribu orang tewas. Peneliti Human Rights Watch (HRW) Asia Carlos Conde menyebutkan, Duterte yang dikenal dengan kampanye anti-kejahatannya itu justru menjadikan kebijakan perang narkotika sebagai modus untuk menghabisi lawan-lawan politiknya. Kematian wali kota seperti yang dialami Halili menimbulkan ketakutan terhadap para pemimpin di daerah-daerah yang pada akhirnya dipaksa tunduk pada Duterte.

Beberapa setelah terpilih menjadi presiden, Duterte membacakan 158 dfatar pejabat publik yang diduga terlibat bisnis narkotika. Pada tahun ini, pemerintah Duterte mengeluarkan 600 daftar nama pejabat publik, termasuk pelapor khusus PBB yang dituduh sebagai teroris komunis. Dari daftar itu 4 di antaranya wali kota yang telah ditembak mati.

Di samping yang sudah disebutkan itu, Wali Kota Datu Saudi Ampatuan Samsudin Dimaukom pernah menyangkal tuduhan Duterte. Namun, pada Oktober 2016, Dimaukom bersama 9 anak buahnya ditembak mati aparat penegak hukum narkotika.

Hal serupa juga dialami Wali Kota Albuera Rolando Espinosa. Walau ia membantah terlibat bisnis narkotika, ia pada akhirnya menyerahkan diri karena telah diperingatkan untuk menyerahkan dalam 24 jam. Akan tetapi, nasib Espinosa tetap saja berujung kematian. Ia ditembak mati ketika sedang menunggu persidangan. Alasan aparat karena Espinosa melawan.

Padahal, ketika Espinosa menyerahkan diri, aparat penegak hukum berjanji menjamin keselamatannya. Itu sebagai balasan atas kejujuran Espinosa tentang siapa-siapa saja yang terlibat dalam bisnis narkotika. Espinosa menyebut mereka yang terlibat antara lain 226 aparat polisi, pejabat, dan pekerja media.

Salah satu yang masuk dalam daftar itu adalah Senator Leila de Lima yang sedang memimpin penyelidikan soal perang narkotika Duterte itu. Ia kemudian dipenjara pada Februari 2017. Atas tuduhan itu, De Lima membantahnya.

Kemudian, pada Juli 2017, Wali Kota Ozamiz Reynaldo Parojinog menjadi wali kota ketiga yang tewas setelah dituduh terlibat bisnis narkotika. Polisi menembak Parojinog, istrinya, 2 saudara kandungnya dan 11 orang lainnya. Kematian Parojinog sempat menimbulkan kecurigaan, terutama karena alasan polisi bahwa Parojinog masuk daftar pencarian orang. Alasan itu dinilai sebagai pembenaran pembunuhan tanpa proses hukum.

Menurut Conde dari HRW, tokoh-tokoh politik yang kuat di Filipina umumnya menggunakan pembunuhan untuk mempertahankan kekuasaannya. Bedanya di masa sekarang, Duterte melegitimasinya bagian dari “perang narkotika”. [KRG]