Perang Mawar: Pertarungan Berdarah Dua Wangsa Inggris

Ilustrasi yang menggambarkan Pertempuran Bosworth Field, dengan Raja Richard III di atas kuda. (Britannica)

Saat mendengar istilah Perang Mawar, yang terbayang mungkin adalah kisah romantis atau perselisihan ringan. Namun, sejarah mencatat sebaliknya. Di balik nama yang terdengar puitis ini, tersimpan salah satu konflik paling brutal dalam sejarah Inggris. Perang ini bukan hanya sekadar perebutan kekuasaan, tetapi juga menggambarkan betapa dalamnya dampak ambisi dan politik pada nasib suatu bangsa.

Melalui artikel ini, kita akan menelusuri asal-usul konflik, dinamika kekuasaan yang berubah-ubah, hingga bagaimana perang ini meninggalkan jejak mendalam dalam sejarah Inggris.

Latar Belakang Konflik

Inggris, negara yang pernah berjaya hingga ke penjuru dunia, ternyata memiliki sejarah kelam berupa perang saudara yang dikenal sebagai Perang Mawar (Wars of the Roses). Meski namanya terdengar lembut dan indah, perang yang berlangsung antara tahun 1455 hingga 1487 ini merupakan salah satu rangkaian konflik paling berdarah dalam sejarah Inggris.

Mengutip beberapa sumber, nama Perang Mawar berasal dari simbol dua wangsa yang saling berselisih, mawar putih untuk Wangsa York dan mawar merah untuk Wangsa Lancaster. Penamaan ini baru populer pada abad ke-19, meski konflik itu sendiri terjadi pada abad ke-15.

Sebelum pecahnya perang saudara ini, Inggris mengalami kekalahan besar dalam Perang Seratus Tahun melawan Prancis. Kekalahan tersebut menguras keuangan kerajaan, memecah belah bangsawan, dan meninggalkan banyak tentara tanpa pekerjaan. Situasi diperparah oleh lemahnya pemerintahan Raja Henry VI (1421—1471) dari Wangsa Lancaster.

Henry VI dikenal sebagai pemimpin yang tidak kompeten dalam urusan politik dan sering mengalami gangguan mental. Sehingga disebut sebagai raja gila. Dia pun sembuh pada 1454 (setahun sebelum Perang Mawar). Selama ia sakit, pemerintahan dijalankan oleh Richard, Adipati York, yang berambisi mempertahankan kekuasaan meski Henry VI pulih pada tahun 1454. Persaingan kekuasaan ini memicu konflik antara dua wangsa, Lancaster dan York, yang akhirnya berubah menjadi perang terbuka.

Babak Awal Perang

Perang Mawar dimulai dengan Pertempuran St. Albans pada tahun 1455. Pasukan Wangsa York, bersama sekutu mereka dari keluarga Neville, menyerang istana kerajaan di St. Albans (30 kilometer ke utara dari pusat kota London) dan membunuh banyak bangsawan Lancaster.

Meski dalam penyerangan ini menghasilkan kesepakatan bahwa Henry VI tetap menjadi raja dari Wangsa Lancaster, takhta selanjutnya akan diwariskan kepada Wangsa York. Hal ini membuat Margaret dari Anjou, istri Henry VI, menolak pencabutan hak waris untuk putranya, Pangeran Wales Edward.

Margaret dan Edward mempersiapkan pasukan untuk melawan Wangsa York, memulai babak baru konflik dengan Pertempuran Wakefield pada tahun 1460. Dalam pertempuran ini, Wangsa York mengalami kekalahan, namun perjuangan mereka tidak berakhir.

Setelah kematian Richard Adipati York, anaknya, Edward IV, memimpin Wangsa York. Ia berhasil merebut takhta dari Henry VI melalui Pertempuran Towton pada tahun 1461. Namun, kekuasaan Edward IV tidak stabil. Pada tahun 1470, Henry VI kembali merebut takhta dengan bantuan Prancis, meski hanya bertahan selama satu tahun sebelum Edward IV mengambil alih kembali.

Pangeran Edward, pewaris Wangsa Lancaster, terus berjuang bersama ibunya. Setelah Pertempuran Towton, ia bersama ibunya berpindah ke Prancis. Keduanya tinggal di sana hingga 1471 dan meminta pertolongan raja Prancis, Louis XI. Setelah itu, ia kembali ke Inggris dan memimpin pasukan bersama ibunya menghadapi putra Richard yang kini telah menjadi Edward IV. Namun, nasib tragis menimpa mereka setelah kalah dalam pertempuran itu. Pangeran Wales Edward tewas, mengakhiri garis keturunan langsung Wangsa Lancaster.

Akhir Perang

Konflik ini baru benar-benar berakhir pada tahun 1485 dengan Pertempuran Bosworth. Raja Richard III dari Wangsa York dikalahkan oleh Henry VII dari Wangsa Tudor. Henry VII sendiri masih punya hubungan keluarga dengan wangsa Lancaster dari ibunya. Maka, setelah Richard III jatuh, ia yang menjadi raja yang kemudian terkenal karena putrinya, Elizabeth I yang tidak kalah terkenal dari para leluhurnya.

Perang Mawar adalah salah satu peristiwa paling berdarah dalam sejarah Inggris, dengan setidaknya 17 pertempuran besar yang tercatat. Selain perubahan kekuasaan, perang ini juga meninggalkan jejak mendalam dalam budaya dan politik Inggris. Henry VII, raja pertama Dinasti Tudor, menjadi sosok yang mengakhiri perang saudara dan memulai masa damai.

Perang Mawar mungkin telah berakhir, tetapi ceritanya tetap hidup dalam sejarah dan sastra Inggris, menjadi pengingat tentang bagaimana ambisi dan perebutan kekuasaan dapat membawa kehancuran besar. [UN]