BERNAMA lengkap Laksamana Muda Tadashi Maeda, ia merupakan seorang perwira tinggi Angkatan Laut Jepang yang menyediakan rumahnya sebagai tempat dirumuskannya naskah proklamasi saat menjelang kemerdekaan RI.
Laksamana Muda Maeda pernah menjalani dinas di Belanda sebelum akhirnya pada 1942, dipindah-tugaskan ke Indonesia. Pada saat masa dinasnya di Belanda, ia bertemu dengan Moh Hatta dan menteri luar negeri, Ahmad Soebardjo.
Maeda yang telah menaruh hati pada Indonesia kemudian datang untuk bertugas ke NKRI seiring dengan kemunculan Jepang.
Asrama Indonesia Merdeka adalah sarana pendidikan politik bagi para pemuda yang didirikan oleh Laksamana Muda Maeda pada 1944. Hal tersebut merupakan bentuk kepedulian Maeda terhadap rakyat Indonesia supaya dapat membekali diri dengan ilmu pengetahuan agar dapat memperjuangkan kemerdekaannya.
Asrama ini dibangun pada Oktober 1944 di Kebon Sirih nomor 80, Jakarta. Ada sederet pengajar yang pernah mengajar disana, terdiri dari tokoh intelektual Indonesia seperti Sukarno, Moh Hatta, Ahmad Subarjo, Sjahrir dan Sanoesi Pane. Tidak lama dibentuk cabang baru di Surabaya yang diketuai oleh Ahmad Subardjo dengan dibantu oleh Wikono.
Konon Laksamana Muda Maeda sudah dua kali meminta pihak Jepang memberi kemerdekaan bagi Indonesia. Namun, tidak kunjung ada respons dari Jepang. Hal itu lah kemudian yang membuat Laksamana Muda Maeda memberanikan diri untuk bertindak cepat selama kekosongan kekuasaan pada saat itu.
Maeda menyediakan rumah dinasnya sebagai lokasi perumusan naskah proklamasi kemerdekaan dan siap mengamankan tempat itu dan memastikan teks proklamasi dapat dirumuskan dengan tenang agar dapat segera dibacakan pada momen kemerdekaan Indonesia.
Peran Rumah Jalan Imam Bonjol
Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 tampaknya sangat terikat dengan sepenggal kisah bersejarah dari sebuah rumah bercat putih bergaya art deco, yang berdiri diatas lahan seluas 3.914 meter persegi, bangunan yang terdiri dari dua lantai buatan tahun 1920 itu terletak di jantung Menteng, kawasan elite di Jakarta.
Masa itu, alamat bangunan tersebut adalah Jl. Miyako-Doori nomor 1 atau saat ini lebih dikenal sebagai Jl. Imam Bonjol nomor 1. Pemiliknya adalah Tadashi Maeda, seorang perwira tinggi Angkatan Laut (Kaigun) Kekaisaran Jepang yang ditugaskan di Indonesia. Jabatannya adalah kepala Kantor Penghubung (Kaigun Bukanfu) antara Angkatan Laut (Kaigun) dan Angkatan Darat (Rikugun) Kerajaan Jepang di Indonesia. Ia diangkat pada 15 Agustus 1942 ketika Jepang menaklukkan Asia Tenggara.
Dalam beberapa versi sejarah disebutkan bahwa setibanya di rumah, Maeda beristirahat di lantai atas, namun ia meminta ajudannya, Shigetada Nishijima, untuk mengawal peristiwa persiapan naskah proklamasi tersebut, serta memerintahkan kepala rumah tangga menyiapkan makanan dan minuman untuk para tokoh di lantai bawah.
Menurut Bonnie Triyana, seorang sejarawan, keterlibatan Maeda di rumahnya dengan para tokoh kemerdekaan sempat disembunyikan selama beberapa tahun setelah proklamasi 1945.
Jasa besar Laksamana Muda Maeda ternyata tidak dapat diapresiasi baik oleh pihak di luar Indonesia termasuk negara asalnya sendiri. Setahun setelah kemerdekaan Indonesia, Laksamana Muda Maeda menerima penahanan atas tuduhan telah membantu kemerdekaan Indonesia.
Laksamana Maeda harus menanggung konsekuensi berat setelah mengizinkan rumahnya sebagai tempat perumusan naskah proklamasi. Saat Inggris datang pada September 1945, Maeda dan stafnya, Shigetada Nishijima, ditangkap dan dimasukkan ke penjara Glodok dan rutan Salemba.
Dalam wawancara dengan Basyral Hamidy Harahap yang dituangkan dalam buku berjudul, Kisah Istimewa Bung Karno, Nishijima membeberkan kisahnya di dalam penjara dengan Maeda. Dia dipaksa mengaku oleh Belanda untuk mencap Republik Indonesia merupakan bikinan Jepang. Sebab dalam tanggal naskah proklamasi tertulis ’05 berdasarkan tahun Jepang, bukan ’45.
Nishijima mengatakan, walau dirinya disiksa sampai buang air kecil berdarah, dia tetap tidak mengaku. Sedangkan Maeda berhasil membantah dengan argumen bahwa mana mungkin ia bisa menggerakkan seluruh rakyat Indonesia untuk menyatakan kemerdekaan. Dengan pembelaan itu, Maeda dibebaskan serta diperbolehkan pulang ke kampung halamannya. Setelah dipulangkan ke Jepang, Maeda mengundurkan diri dari angkatan laut Jepang dan menjadi rakyat biasa, ia bahkan tidak memiliki tunjangan pensiun. [S21]