Peran Christiaan Soumokil dalam Sejarah Republik Maluku Selatan

Christiaan Robbert Steven Soumokil, Presiden Republik Maluku Selatan tahun 1950-1966 (Wikimedia Commons)

Setelah kemerdekaan Indonesia, stabilitas politik dalam negeri masih menghadapi berbagai tantangan, terutama dari kelompok-kelompok yang menolak integrasi ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Salah satu perlawanan yang cukup besar datang dari Maluku, di mana sekelompok eks-KNIL dan elit politik lokal mendeklarasikan berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS) pada tahun 1950.

Gerakan ini tidak hanya menjadi ujian bagi kedaulatan Indonesia yang baru lahir, tetapi juga melibatkan sosok sentral, Dr. Christiaan Robbert Steven Soumokil, yang memainkan peran penting dalam pemberontakan tersebut. Bagaimana perjalanan RMS dan kiprah Soumokil dalam sejarah Indonesia? Mari kita simak ulasan yang telah dirangkum dari berbagai sumber tentang perjalanan hidup Christiaan Robbert Steven Soumokil.

Latar Belakang Kehidupan Soumokil

Republik Maluku Selatan (RMS) adalah gerakan separatis yang diproklamasikan pada 25 April 1950 dengan tujuan memisahkan Maluku Tengah dan Negara Indonesia Timur (NIT) dari Republik Indonesia Serikat (RIS). Gerakan ini dipimpin oleh Dr. Christiaan Robbert Steven Soumokil, seorang mantan Menteri Kehakiman NIT yang dikenal memiliki sikap anti-Republik Indonesia.

Dr. Christiaan Robbert Steven Soumokil lahir di Surabaya pada 13 Oktober 1905. Ia berasal dari keluarga pegawai rendahan di Semarang. Setelah menyelesaikan pendidikan di Hogere Burger School (HBS) Surabaya, ia melanjutkan studi hukum di Universitas Leiden, Belanda. Setelah lulus pada tahun 1935, ia kembali ke Jawa dan bekerja sebagai pejabat hukum.

Ketika Jepang menduduki Hindia Belanda, Soumokil tetap setia kepada Belanda dan ditawan oleh Jepang. Setelah dibebaskan pasca-Perang Pasifik, ia kembali ke Indonesia dan menjabat sebagai Menteri Kehakiman NIT pada beberapa kabinet. Saat menjabat, ia menunjukkan sikap keras terhadap para pejuang Republik Indonesia, termasuk mendorong eksekusi pemuda pejuang Wolter Monginsidi. Sikap anti-Republiknya terus terlihat ketika ia mengerahkan pasukan polisi untuk menolak kedatangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Makassar.

Pemberontakan RMS

Setelah insiden di Makassar pada 5 April 1950, Soumokil melarikan diri ke Ambon dengan pesawat militer Belanda pada 12 April 1950. Di Ambon, situasi semakin memanas dengan keterlibatan mantan serdadu KNIL yang menguasai kota. Bersama mereka, Soumokil memproklamasikan RMS pada 25 April 1950. Awalnya, J.H. Manuhutu ditunjuk sebagai Presiden RMS dengan Albert Wairisal sebagai Perdana Menteri. Namun, pada 3 Mei 1950, Soumokil menggantikan Manuhutu sebagai presiden RMS.

Pemerintah Indonesia berusaha menyelesaikan konflik ini secara damai. Dr. J. Leimena diutus untuk bernegosiasi dengan RMS agar tetap bergabung dengan NKRI. Namun, upaya tersebut ditolak oleh Soumokil. Akibatnya, pemerintah Indonesia mengirim ekspedisi militer di bawah pimpinan Kolonel A.E. Kawilarang, Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur.

Pada awal November 1950, Ambon berhasil dikuasai oleh pasukan Indonesia, meskipun dalam pertempuran ini Letnan Kolonel Slamet Riyadi gugur. Meskipun kota Ambon jatuh, perlawanan gerilya di Pulau Seram masih berlangsung hingga 1962.

Pada 12 Desember 1963, Soumokil akhirnya ditangkap oleh pasukan Indonesia. Ia kemudian dibawa ke Jakarta dan dihadapkan pada Mahkamah Militer Luar Biasa. Pengadilan menjatuhkan hukuman mati kepada Soumokil. Ia dieksekusi pada 12 April 1966 di Pulau Obi, Halmahera Selatan.

Setelah kematiannya, RMS tetap bertahan di pengasingan di Belanda. Kepemimpinan RMS diteruskan oleh Johan Manusama (1966-1992), Frans Tutuhatunewa (1992-2010), dan John Wattilete (sejak 2010). Namun, gerakan ini tidak lagi memiliki pengaruh signifikan di Indonesia.

Pemberontakan RMS menjadi salah satu tantangan besar di awal kemerdekaan Indonesia. Dengan latar belakang ketegangan politik di NIT dan dukungan eks-KNIL, Soumokil berusaha memisahkan Maluku dari NKRI. Namun, dengan langkah militer yang tegas, pemerintah Indonesia berhasil menumpas pemberontakan ini. Meskipun RMS masih ada dalam bentuk simbolis di Belanda, pengaruhnya terhadap Indonesia kini sudah tidak lagi signifikan. [UN]