Penyerbuan Kantor PDI pada 27 Juli 1996, 22 Tahun Kemudian

Ilustrasi/kontras.org

Koran Sulindo – 27 Juli 1996, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Pukul 16.00 WIB. Tak ada kendaraan melintas di jalan yang menghubungkan Pasar Senen dengan kampus awal Universitas Indonesia di Salemba di ujung timur. Hanya polisi dan tentara. Sebelumnya, usai sekitar masuk waktu Ashar, polisi menghalau beberapa puluh orang hingga melintasi jalan layang dekat pasar. Kerumunan itu beberapa masuk melompat pagar ke dalam gedung pasar karena pagar ditutup satpam. Beberapa balik arah kembali lagi menuju Jalan Kramat Raya setelah melihat polisi juga balik arah.

Tidak sampai Magrib banyak gedung di jalan itu terbakar, atau dibakar. Api menjilat beberapa gedung bank swasta, showroom mobil, perkantoran. Beberapa orang melemparkan barang-barang dari lantai atas sebuah gedung, membakarnya di pelataran.

Seusai Magrib beberapa gedung masih terbakar. Lantai bawah sebuah showroom masih membara. Beberapa mobil dikurung api dan dibiarkan kerumunan.

Kerusuhan pagi hinga malam itu dipicu penyerbuan kantor PrataiDemokrasi Indonesia di Jalan Diponegoro pada pagi harinya. Tentara didukung preman menyerbu orang-orang di dalam gedung yang mempertahankan markas partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri itu. Beberapa gugur banyak yang ditangkap.

Warga yang marah atas penyerbuan itu sejak siang memenuhi jalanan dari dekat pelataran gedung itu hingga Rumah Sakit Ciptomangkusumo dan Stasiun Cikini. Kawasan kelas atas Jakarta hari itu dipenuhi lautan manusia. Yang terjadi sesudahnya adalah amuk, amuk, dan amuk.

Laporan Komisi Nasional Hak Asas Manusia (Komnas HAM) yang diumumkan 3 bulan kemudian, pada 12 Oktober 1996, menyatakan 23 orang hilang, 5 orang tewas, dan 149 orang luka-luka. Kerugian materi ditaksir mencapai Rp 100 miliar.

Ide Siapa?

Menurut laporan Komnas HAM itu, ide awal penyerbuan tersebut muncul 3 hari sebelumnya: Rapat di Kodam Jaya 24 Juli 1996 yang dipimpin oleh Kasdam Jaya (saat itu) Brigjen Susilo Bambang Yudhoyono. Hadir pada rapat itu adalah Brigjen Zacky Anwar Makarim, Kolonel Haryanto, Kolonel Joko Santoso, dan anggota PDI yang digunakan pemerintah Orde Baru, Alex Widya Siregar.

Dalam rapat itu, SBY memutuskan penyerbuan kantor PDI oleh Kodam Jaya.

Dokumen tersebut juga menyebutkan aksi penyerbuan adalah garapan Markas Besar ABRI c.q. Badan Intelijen ABRI bersama Alex Widya Siregar.

Diduga, Kasdam Jaya menggerakkan pasukan pemukul Kodam Jaya, yaitu Brigade Infanteri 1/Jaya Sakti/Pengamanan Ibu Kota pimpinan Kolonel Inf. Tri Tamtomo untuk melakukan penyerbuan.

Dalam rekaman video peristiwa itu yang diimbuhkan dalam laporan, terlihat pasukan Batalion Infanteri 201/Jaya Yudha menyerbu dengan menyamar seolah-olah massa PDI pro-Kongres Medan.

Kasum ABRI saat itu, Soeyono, dalam bukunya “Soeyono: Bukan Puntung Rokok” (2003) menceritakan kasus 27 Juli itu adalah operasi Naga Merah yang dirancang Pangab Feisal Tanjung dan Mendagri Yogie SM atas perintah Presiden Soeharto.

Skenario operasi ini adalah menyelenggarakan Kongres Medan pada 20 Juni 1997 untuk memilih kembali Soerjadi sebagai ketua umum PDI, melalui operasi intelijen. Memang terpilihnya Megawati pada Kongres Luar Biasa PDI di Surabaya pada 1993, dan kemudian dikuatkan kembali pada munas di Jakarta, menjadi titik awal kasus 27 Juli 1996.

Orde Baru khawatir PDI di bawah Megawati akan menggelembung besar dan mengancam status quo, karena itu harus dijatuhkan sebelum Pemilu 1997.

Orde Baru Soeharto menggunakan orang-orang yang dulunya berada di sekitar Megawati untuk menggulirkan opini perlunya kongres luar biasa, salah satu diantaranya adalah Ketua DPP PDI Fatimah Achmad.

Berbarengan itu Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Hartono dan Kasospol Syarwan Hamid terus menjalankan operasi itu. Mereka berdua inilah yang memutuskan operasi penyerbuan ke kantor DPP PDI. Pangdam Jaya Sutiyoso ditunjuk menjadi Panglima Komando Lapangan dan Operasi.

Pengambil-alihan kantor DPP PDI digelar pada Sabtu karena hari berikutnya tanggal merah. Koran tidak terbit. Sejumlah preman memakai kaos merah khas PDI didukung militer menyerbu kantor itu. Pertumpahan darah terjadi, lalu diikuti pembakaran Jakarta oleh massa yang marah. Kerusuhan tak terhindarkan. Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang berisi para mahasiswa yang baru dideklarasikan 5 hari sebelumnya dijadikan tumbal.

Lembar-lembar sejarah setelah peristiwa berdarah itu juga terdapat pada buku “Peristiwa 27 Juli” (Institut Studi Arus Informasi AJI – 1997). Dalam buku ini suka tidak suka, Megawati Soekarnoputri menjadi tokoh utama perlawanan pada kekuasaan yang despot.

Setelah 22 Tahun

Akhir bulan lalu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berjanji mempelajari kembali dokumen pemantauan dan pemeriksaan kasus Peristiwa Kerusuhan 27 Juli 1996. Pada 27 Juli 1998 itu pengurus Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) mengunjungi kantor Komnas HAM, meminta adanya kepastian hukum dalam penanganan kasus tersebut sesuai dengan kewenangan Komnas HAM.

“Kami akan mempelajari kembali dokumennya, karena kasus ini sudah pernah dilakukan pemantauan oleh Komnas HAM tahun 1996,” kata Ketua Komnas HAM Taufan Damanik, di Jakarta, saat itu, seperti dikutip antaranews.com.

Komnas HAM sudah melakukan investigasi kasus itu 2 bulan setelah kejadian. Mereka juga sudah mengeluarkan rekomendasi untuk menindaklanjuti kasus itu secara hukum. Tapi waktu itu Komnas HAM masih bekerja berdasarkan Keppres, dan belum ada Undang-Undang HAM dan Undang-Undang 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

PDIP prihatin peristiwa tersebut belum juga terselesaikan. Menurut Hasto, presiden keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memiliki informasi penting soal peristiwa itu.

“Karena beliau memegang informasi,” kata Hasto, di Kantor Komnas HAM, Menteng, seperti dikutip antaranews.com.

Saat peristiwa 27 Juli 1996 itu Brigjen SBY menjabat Kepala Staf Kodam Jaya DKI Jakarta.

Tak sampai sebulan setelah memerintahkan penyerbuan itu, pada Agustus 1996, SBY dipromosikan menjadi Pangdam II/Sriwijaya Palembang dan naik pangkat menjadi bintang dua.

SBY menggantikan senior jauhnya, Mayjen Karyono (Akmil 1965). Pergantian itu adalah lompatan sangat luar biasa dan mungkin satu-satunya yang pernah terjadi. Biasanya pejabat baru adalah adik kelas satu atau dua angkatan. Lompatan jabatan itu juga memakan Brigjen Agus Widjoyo (Akmil 1970), saat itu Kasdam Sriwijaya dan kini Gubernur Lemhannas. Agus mestinya lebih diprioritaskan menjadi Pangdam Sriwijaya karena lebih senior dari SBY.

Promosi bagi SBY ini satu rangkaian dengan digesernya Letjen Soeyono selaku Kasum dan diangkatnya Wiranto sebagai Pangkostrad dengan pangkat letjen. Sebelumnya, posisi Pangkostrad hanya diisi jendral bintang dua.

Setelah 22 tahun, gerbong itu kini terpisah. SBY setelah berkuasa selama 10 ntahun kini menjadi oposan, Wiranto di dalam pemerintahan menjadi  Menko Polhukam, dan kasus 27 Juli 1996 tak pernah berusaha diungkap tuntas.

Kepolisian memang pernah pernah menetapkan Sutiyoso, saat peristiwa menjabat Panglima Kodam Jaya, sebagai tersangka. Namun penyidikan menguap di tengah jalan. Pemerintahan Joko Widodo bahkan mengangkat Sutiyoso sebagai Kepala Badan Intelijen Negara.

Proses hukum yang diusulkan Komnas HAM hanya beberapa bulan setelah peristiwa tak pernah dipenuhi. Komnas HAM juga terus berteriak bahwa peristiwa itu belum pernah ditangani oleh aparat penegak hukum sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Tapi tak ada yang mendengarkan. Peristiwa Kudatuli tetap senyap dan tuli. [DAS]