Koran Sulindo – Serangan Amerika Serikat (AS) bersama Inggris dan Prancis ke Suriah karena alasan senjata kimia terus dipertanyakan. Setelah serangan itu, Presiden AS Donald Trump dengan bangga mencuitkan sebuah status di aku twitter-nya bahwa misi telah selesai.
Ia karena itu mengucapkan terima kasih kepada Inggris dan Prancis karena ikut serta dalam serangan itu. Serangan udara AS bersama Inggris dan Prancis itu menargetkan sarana pusat penelitian di Damaskus terkait dengan produksi senjata kimia dan biologi. Juga menargetkan gedung penyimpanan senjata kimia di sebelah barat Homs.
Terakhir gedung penyimpanan peralatan senjata kimia dan pos komando yang penting, juga dekat Homs. Serangan tersebut buntut dari serangan senjata kimia yang dituduhkan kepada pemerintah Suriah dan digunakan kepada warga sipil di Douma pekan lalu. Akan tetapi, benarkah tuduhan itu?
Sesungguhnya tuduhan tersebut bukan kali ini saja dilontarkan AS bersama sekutunya untuk menyudutkan pemerintah Basar al Assad. Kesaksian para korban pada Mei 2013 menyebutkan penggunaan senjata kimia berupa gas saraf sarin dilakukan oleh pemberontak bukan tentara pemerintah Suriah.
Seperti yang dilaporkan The Washington Times pada Mei 2013, anggota penyelidik Komisi Independen Internasional di bawah PBB, Carla del Ponte menuturkan, pihaknya belum pernah menemukan bukti pemerintah Suriah menggunakan senjata kimia. Sebaliknya, penyelidikannya menunjukkan kaum pemberontak diduga kuat menggunakan gas saraf itu.
Namun demikian, ia menganjurkan agar adaa penyelidikan lebih lanjut mengenai hal itu. Seperti hari ini, Barat menuduh tentara rezim Assad menggunakan senjata kimia semacam gas saraf itu. Namun, pernyataan Del Ponte itu membuka kemungkinan-kemungkinan lain.
Del Ponte merupakan tokoh kontroversial yang pernah ditunjuk memimpin sidang kejahatan perang di bawah PBB untuk Yugoslavia dan Rwanda. Itu ia lakukan hingga 2008. [KRG]