Ilustrasi/mashable.com

Koran Sulindo – Badan Reserse Kriminal Polri (Bareskrim Polri) kesulitan menyelidiki dan menindak penyebar ujaran kebencian (hate speech) di Facebook.

“Perbedaan regulasi jadi tantangan kami dengan pemilik FB di Amerika Serikat,” kata Kepala Subdit II Direktorat Siber Bareskrim Polri Kombes Pol Himawan Bayu Aji di Jakarta, Minggu (26/3), seperti dikutip Antaranews.

Polisi telah mendeteksi sejumlah pemilik akun Facebook yang membagikan ujaran kebencian, namun kesulitan meminta informasi mengenai pelaku ke layanan jejaring sosial yang berkantor pusat di California, Amerika Serikat itu.

“Mereka enggak akan berikan data karena di AS itu hate speech itu biasa saja,” katanya.

Karena itu, polisi menangani kasus ujaran kebencian di Facebook dengan pemulihan keadilan, meminta pelaku meminta maaf, menghapus konten, dan mneminta mereka menerapkan etika penggunaan teknologi informasi di dunia maya.

“Kalau dia men-share, belum jadi viral, kami lakukan restore justice, meminta dia lakukan permintaan maaf, hapus konten, lalu minta dia sosialisasikan ke komunitasnya,” katanya.

Menurut Himawan, penegakan hukum saja dalam kasus seperti itu tidak efektif 100 persen.

“Kami tangkap satu, muncul tiga pelaku. Kami tangkap tiga, muncul 10 pelaku,” katanya.

Upaya pemulihan keadilan semacam itu dilakukan karena personel kepolisian yang menangani tindak pidana itu masih terbatas. Kepolisian juga menggandeng sejumlah komunitas siber untuk meluruskan berita-berita bohong yang beredar di media sosial.

Tahun Ujaran Kebencian

Sebelumnya, dlam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu (25/3), Himawan mengatakan konten berisi ujaran kebencian merupakan jenis tindak pidana yang paling banyak diadukan masyarakat ke polisi pada 2016.

Pada 2015, jumlah laporan yang masuk berkaitan dengan ujaran kebencian sebanyak 671 laporan. Tahun 2016, jumlah laporan mengenai hal itu juga tinggi.

“Tertinggi 2016 itu hate speech, soal SARA,” kata Himawan.

Ujaran kebencian itu meliputi pencemaran nama baik, pelecehan, fitnah, provokasi, dan ancaman. Dari besaran laporan itu, yang ditangani baru 199 kasus.

Sementara itu, kejahatan dunia maya seperti penipuan online menempati urutan kedua terbanyak dengan jumlah laporan sebanyak 639. Dari jumlah itu, baru diselesaikan 185 kasus.

Banyaknya laporan tersebut, khususnya untuk ujaran kebencian, tak terlepas dari maraknya berita hoax. Sebuah konten  biasanya dibuat mulanya untuk iseng. Pembuatnya tak menyadari bahwa ada pasal pidana yang bisa menjerat mereka.

Cara yang dilakukan untuk menindaklanjuti kasus-kasus tersebut salah satunya dengan menutup akun yang menyebarkan hoax.

Menurut Himawan, tidak semua pelaku dalam kasus penyebaran informasi hoax dan ujaran kebencian dijerat pidana. Ada upaya tindak lanjut yang dinamakan restorative justice yang menitikberatkan adanya keadilan antara pelaku dan korban.

Aturan Tak Jelas Facebook

Namun sebuah dokumen internal Facebook yang bocor ke keluar, menyatakan Facebook memang tidak punya panduan (guideline) yang jelas soal ujaran kebencian. Sebuah koran Jerman, Süddeutsche Zeitung, koran sama yang menerbitkan “Panama Papers”, menerbitkan dokumen itu pada edisi 17 Januari 2017 lalu.

Yang paling parah,seperti ditulis Mashable, Facebook mengkategorikan pada kelompok-kelompok mana hate speech diterapkan, tapi tidak pada lain. Standar ganda khas Amerika Serikat.

Kategori-kategori yang dilindungi facebook adalah jenis kelamin, afilisi agama, kebangsaan, gender, ras, etnik, orientasi seksual, cacat, atau sakit parah. Selain itu ada sub kategori seperti umur dan afiliasi politik.

Pengkategorian yang tidak jelas dan standar yang dipakai sering memunculkan konflik. Misalnya, ujaran kebencian soal perempuan Cina akan dihapus oleh Facebook, karena masuk 2 kategori, yaitu kebangsaan dan gender.

Jerman sedang bergegas membuat undang-undang bagi media sosial, terutama Facebook dan Twitter, yang akan memberi denda perusahaan media sosial itu jika tak mau menghapus status hate speech atau berita palsu. Perundangan baru itu akan disisipkan pada UU Sensor Internet yang sudah ada. [DAS]