KEPUTUSAN pemerintah menaikkan pajak hiburan hingga 40-75 persen dinilai memberatkan pelaku usaha hingga banyak yang terancam gulung tikar. Aturan ini tertuang dalam UU Nomor 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).
Pengusaha hiburan melancarkan protes atas kenaikan pajak hiburan ini. Sebab, pajak yang telah mereka bayarkan selama ini sudah dianggap cukup besar bahkan hingga 90 persen secara keseluruhan.
“Pajak hiburan yang ditetapkan sebesar 40% hingga maksimal 75% ini akan membuat dunia usaha hiburan tidak memperoleh keuntungan,” kata Ketua Bidang Pelatihan dan Pendidikan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Alexander Nayoan.
Menurut Nayoan, pajak yang dibayarkan bisa mencapai 90% jika pengenaan pajak hiburan 40% tetap diberlakukan. Ini terdiri dari berbagai macam pajak, seperti pajak penghasilan (PPh) badan, PPh karyawan ditanggung perusahaan, pajak royalti, pajak natura hingga pajak lainnya.
“Kalau pasang lagu bayar pajak lagi. Jadi mereka harus bayar pajak lagi untuk karyawan. Sekarang ada peraturan pajak lagi kalau karyawannya terima benefit makan, makanannya itu kena pajak lagi mulai sekarang. Itu ada yang menghitung, kalau 40% uang yang dibayar ke pajak itu sekitar 90%,” ujar Alexander Nayoan, Kamis (18/1).
Apabila pajak hiburan yang dikenakan sebesar 50% hingga 60% maka para pelaku industri hiburan harus nombok untuk hanya membayar pajak.
“Saya melihatnya di bidang perhotelan di bidang spa. Jadi kira-kira menguntungkan enggak kalau saya melanjutkan usaha saya? tidak,” kata Nayoan.
Dikhawatirkan pabila kebijakan pajak itu diterapkan, pelaku usaha bisa menutup usahanya dan berdampak pula kepada pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawan.
Senada dengan Nayoan, Ketua Wellness Healthcare Entrepreneur Association (WHEA) Agnes Lourda Hutagulung menyebut selain harus membayar pajak ke kas negara, pengusaha juga harus membayarkan beberapa pungutan lainnya kepada beberapa oknum.
Maka itu, ia meminta pemerintah untuk mengenakan pajak 0% terhadap pengusaha spa lantaran bukan termasuk kategori hiburan dan juga membantu pemerintah dalam menekan biaya BPJS Kesehatan. [PAR]