Koran Sulindo – Di bawah kepemimpinan Megawati yang dipilih Kongres Luar Biasa Surabaya pada 6 Desember 1993, PDI terus menuai dukungan rakyat. Dukungan itu membuat Orde Baru gerah dan khawatir. Megawati dan PDI harus dihentikan.
Faktor eksternal itulah yang memicu berlarut-larutnya krisis di partai berlambang banteng. Memanfaatkan kaki tangannya di PDI, rezim Soeharto terus menerus memicu perselisihan termasuk yang berpuncak pada penyerbuan kantor PDI di Jalan Diponegoro 27 Juli 1996.
Meski secara de fakto Megawati sudah menjadi Ketua Umum PDI, pemerintah ngotot menjulurkan tangan-tangannya mencampuri urusan internal partai. Sehari setelah KLB usai, Menteri Dalam Negeri Yogie S Memet mengirim pernyataan tertulis ke semua media massa tentang kongres luar biasa tersebut.
Berdalih menjembatani perseteruan itu Mendagri berencana memanggil semua unsur yang terlibat dalam penyelenggaraan KLB. Termasuk di antaranya caretaker DPP PDI, Megawati, Kelompok 17 dan DPP PDI Peralihan. “KLB tidak berhasil menyelesaikan tugas menangani penyempurnaan AD/ART dan pembentukan DPP PDI yang diserahkan kepada komisi organisasi,” kata Mendagri.
Menyusul beberapa pertemuan-pertemuan itu akhirnya disepakati bakal digelar Musyawarah Nasional (Munas) PDI untuk merampungi masalah-masalah yang belum tuntas dalam KLB Surabaya. Semua sepakat, Munas akan digelar 22-23 Desember 1993 di Jakarta.
Meski upaya-upaya penjegalan tetap gencar dilakukan kelompok-kelompok yang anti, angin politik sudah berbalik arah memihak Megawati. Gerakan massa rakyat dan arus bawah yang mendukung tak terbendung bak gelombang pasang. Megawati tak terbendung dan terpilih secara aklamasi oleh peserta Munas PDI yang berlangsung di Hotel Garden Kemang, 22 Desember 1993.
“Hari-hari yang saya alami adalah pergulatan lahir batin yang ingin saya ungkapkan di sini. Hasil yang dicapai saat ini merupakan hasil maksimal yang visa saya berikan kepada warga PDI di manapun berada,” kata Megawati dalam pidato sambutannya.
Ada banyak makna pada pidato itu di tengah suasana kebatinan yang haru, bahagia dan khawatir. Bahagia karena tampinya Megawati di pucuk pimpinan PDI menunjukkan satu hal; bila saatnya tiba arus bawah tak akan terbendung oleh tembok tebal sekalipun.
Ya, karena memang dalam penyusunan DPP PDI Munas di Kemang itu Megawati terpaksa menempuh jalur kompromi dengan mengakomodasi faksi-faksi yang berseberangan seperti Gerry Mbatemoi dari ‘Kelompok 17 dan Ismunandar dari DPP Caretaker. “Saya mengharapkan hal ini dapat diterima dengan lapang dada. Marilah kita semua melihat masa depan PDI yang lebih baik,” kata Mega melanjutkan pidatonya.
Konsolidasi
Namun di tengah kebahagian itu, tetap terbersit kekhawatiran bahwa penguasa tetap akan merelakan kekuasaannya terusik. Kekhawatiran itu memang beralasan, meski pemerintah secara resmi mengakui kepemimpinan Megawati –tampak dari diterimanya DPP PDI yang dipimpin Megawati oleh Presiden Soeharto di Bina Graha, 5 Februari 1994.
Begitu disahkan menjadi ketua umum, hal pertama yang dilakukan Megawati adalah menggelar konsolidasi organisasi. Ia rutin menghadiri setiap konferensi daerah (konferda) di berbagai wilayah tanah air, dari Sabang sampai Merauke.
Pada setiap pidato politiknya, Megawati selalu berbicara dan mengusung pemikiran dan gagasan ayahnya, Bung Karno. Salah satu ide Bung Karno yang senantiasa disampaikan adalah Trisakti atau tiga gagasan utama tentang kemandirian, berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan kepribadian bidang budaya.
Dari setiap kali rapat terbuka yang dihadiri Megawati, antusiasme massa rakyat benar-benar tak terbendung. Setiap kunjungannya, ia selalu ada iring-iringan sepeda motor, mobil atau pawai hingga beberapa kilometer panjanganya. Bagi rakyat, Megawati adalah simbol perlawanan mereka.
Namun, belum lagi setahun Megawati memimpin PDI badai kembali datang. Kini mereka yang membuat ricuh justru dari orang dalam sendiri, Gerry Mbatemoi yang justru sejatinya salah seorang ketua DPP. Berdalih membersihkan PDI dari orang-orang yang terlibat G 30 S, ia membentuk DPP PDI Resuhuffle yang dipimpin oleh Jusuf Merukh.
Gerry menuduh sedikitnya ada 300 pengurus baik di pusat maupun di daerah yang terlibat PKI, langsung maupun tidak langsung. Tak tanggung-tanggung, Gerry memberikan daftar 300 nama itu kepada Panglima ABRI, Jenderal Feisal Tanjung, 9 November 1994 di Magelang.
Salah satu yang menjadi korban Gerry adalah Djajang Kurniadi, Ketua DPD Jawa Barat. Meski ada jaminan pengurus DPP PDI bahwa Djajang ‘bersih’. Bakorstanasda Jabar justru memasukkan namanya sebagai Golongan C atau simpatisan PKI. Isu serupa sempat juga menerpa Taufiq Kiemas. Adalah Mayjen A.M. Hendropriyono yang menepis fitnah itu, ia menyatakan Taufiq bebas dan sama sekali tidak ada keterkaitan dengan G 30 S.
Gagal menggoncang PDI dari dalam, pihak-pihak dari luar justru makin menggencarkan serangannya. Campur tangan itu terlihat jelas dalam kemelut jabatan Ketua DPD Jawa Timur yang berlangsung pada bulan Juni 1994.
Sebagai Ketua Umum PDI, Megawati telah menetapkan Soetjipto sebagai Ketua DPD Jatim. Masalah menjadi makin pelik ketika rencana pelantikan Soetjipto tidak mendapatkan izin Pemda. Megawati bahkan dicekal tak boleh masuk wilayah Jawa Timur.
“Saya jadi bingung. Bukankah Jawa Timur bagian dari Indonesia dan PDI adalah milik bangsa Indonesia. Tapi, kenapa kalau saya mau masuk menemui kader-kader PD di Jawa Timur, selalu mengalami kesulitan,” kata Megawati.
Campur Tangan
Campur tangan makin kentara ketika Gubernur Jawa Timur Basofi Soedirman justru memberi restu kepada Ketua DPP PDI Reshuffle Jusuf Merukh melantik Latief Pudjosakti sebagai ketua DPD. Akibatnya di Jawa Timur terjadi kepengurusan ganda PDI, DPD pimpinan Soetjipto yang disahkan Megawati, dan DPD pimpinan Latief yang didukung Gubernur Jawa Timur dan aparat keamanan lokal.
Sikap keberpihakan itu makin kentara ketika Soetjipto selalu dipersulit sekaligus panen ancaman dan intimidasi saat menjalankan kegiatan sehari-hari partai. Sebaliknya, Latief justru difasilitasi pemerintah daerah dan diundang dalam setiap acara Muspida.
Dukungan pemda dan aparat keamanan itulah yang belakangan membuat Latief percaya diri mengambil alih kantor DPD Jawa Timur. Soetjipto yang tersingkir akhirnya menjadikan kantor CV Bumi Raya miliknya di Jalan Pandegiling, Surabaya sebagai markas sementara.
Merasa mendapat angin, tantangan pada kepemimpinan Megawati di PDI makin meningkat memasuki tahun 1996. Kubu DPP PDI Reshuffle yang dimotori Jusuf Merukh diam-diam mengelar Sidang Majelis Pertimbangan Pusat DPP PDI tandingan di Wisma Pemuda Cibubur, Jakarta Timur pada 30 April sampai 2 Mei 1996 yang dihadiri setidaknya 300 orang dari berbagai daerah.
Namun, acara itu akhirnya tercium juga oleh pendukung Megawati. Keesokan harinya, 1 Mei 1996, ratusan aktivis PDI dipimpin Bendahara DPD PDI Jawa Barat Rudi Harsa Tanaya dan Suparlan mendatangi Wisma Pemuda Cibubur untuk membubarkan kongres ilegal itu. Sempat terjadi baku hantam antara kedua kubu itu sebelum akhirnya dilerai oleh polisi di bawah komando Kapolres Jakarta Timur, Letkol (Pol) Goris Mere. Polisi juga membubarkan kongres tersebut.
Tantang paling serius justru datang dari internal PDI. Ketika pemerintah melalui kantor-kantor Sospol di daerah gencar mempengaruhi cabang PDI untuk menggulingkan kepemimpinan yang sah, Megawati dikhianati oleh 16 cabang yang dimotori Fatimah Achmad dan Ismunanda. Mereka bahkan berani mengumumkan terbentuknya ‘Panitia Kongres PDI’ pada tanggal 4 Juni 1996. Mereka mengklaim, kongres dibutuhkan untuk menuntaskan hasil-hasil Munas PDI di Kemang.
Tak menunggu lama, hanya berselang beberapa hari ‘panitia’ itu langsung diterima dan mendapat dukungan Ditjen Sospol Depdagri Sutojo N.K dan Kassospol ABRI, Letjen Syarwan Hamid.
Dukungan itulah yang menjadi ‘lampu hijau’ bagi Fatimah Achmad cs makin percaya diri untuk menggelar Kongres V PDI di Medan pada tanggal 22 Juni 1996. Banyak pengurus-pengurus cabang PDI mengalami teror untuk mendukung rencana itu. Sebagian pengurus memang menyerah pada tekanan itu, namun sebagian lainnya tetap menyatakan loyal kepada Megawati.
Ketika akhirnya kongres berlangsung, acara itu dibuka secara resmi oleh Menteri Dalam Negeri Yogie S Memed yang kemudian dilanjutkan arahan Panglima dan Kassospol ABRI. Kongres dengan suara bulat memilih Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI.
Di Jakarta, ketika kongres abal-abal itu digelar ribuan massa turun ke jalan untuk menolak ‘Kongres V di Medan’. Dikomandoi Sophan Sophiaan yang menjadi anggota DPR, massa menggelar long march dari kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro 58 menuju Lapangan Monas dan Kantor Depdagri di Jalan Merdeka Utara. Ya, babak baru telah dimulai. Itu pertarungan panjang! [TGU]
Megawati, Memulai Perlawanan dari Surabaya