Koran Sulindo – Tanggal 20 Oktober merupakan hari dimulainya Pengepungan Antiokhia di Suriah Utara pada tahun 1097, di mana pasukan Tentara Salib menyerang dan merebut kota Antiokhia dari pasukan Turki Seljuk.
Pasukan Tentara Salib yang terlibat dalam pengepungan ini dipimpin oleh Bohemond dari Taranto, Raymond dari Toulouse, dan Godfrey de Bouillon. Masing-masing dari mereka memimpin satu bagian dari garis blokade. Sementara itu garnisun Turki dipimpin oleh Yaghi-Siyan, gubernur yang memerintah kota Antiokhia.
Pengepungan Antiokhia merupakan salah satu peristiwa yang menandai dimulainya Perang Salib Pertama di Tanah Suci. Peristiwa ini paling terkenal karena diwarnai dengan bencana kelaparan, pembantaian, sedikit pengkhianatan, bahkan pengelihatan ilahi tentang legenda relik suci umat Kristen.
Latar Belakang
Melansir dari situs resmi World History Encyclopedia, Perang Salib Pertama dicetuskan oleh Paus Urbanus II setelah Kaisar Bizantium Alexios I Komnenos memohon untuk melawan bangsa Turki Seljuk Muslim yang telah merampas sebagian besar wilayah Asia Kecil dari Kekaisaran Bizantium.
Jatuhnya Yerusalem menjadi motivasi besar bagi para ksatria dari seluruh Eropa, mendorong mereka untuk merebutnya kembali melalui perang.
Awalnya, pasukan gabungan Tentara Salib dan Bizantium menikmati keberhasilan, khususnya karena telah merebut kembali Nicea pada bulan Juni 1097 M dan meraih kemenangan besar di Dorylaion pada 1 Juli 1097 M.
Pasukan gabungan ini berpisah pada bulan September 1097 M: satu pasukan bergerak ke Edessa di sebelah timur dan pasukan lainnya ke Kilikia di sebelah tenggara. Pasukan utama pergi ke Antiokhia yang merupakan kunci perbatasan Efrat.
Kota besar Antiokhia memiliki sejarah gemilang yang bermula dari zaman Helenistik dan merupakan salah satu dari lima pusat patriarkat gereja Kristen. Kota ini juga pernah menjadi rumah bagi Santo Paulus dan Petrus, dan kemungkinan tempat kelahiran Santo Lukas.
Terletak di Sungai Orontes, 19 km dari pantai, Antiokhia adalah sebuah kota sangat luas yang dikelilingi oleh tembok tinggi yang dibangun oleh Bizantium pada abad ke-10 Masehi. Penduduknya berjumlah sekitar 40.000 jiwa, terdiri atas populasi campuran orang Kristen, Yunani, Armenia, dan Suriah.
Medan kota itu terlalu sulit karena ada rawa-rawa dan sungai di satu sisi, punggung gunung di sisi lain, dan pertahanan miring yang menjulang ke pegunungan di dua sisi lainnya. Selain itu, 300 meter di bawah Antiokhia terdapat kota lainnya, sehingga akan semakin mempersulit penyerbuan.
Antiokhia dipimpin oleh seorang gubernur Turki bernama Yaghi-Siyan. Pada masa pemerintahannya, umat Muslim bersikap toleran dengan mengizinkan patriark Kristen untuk tetap menjabat dan tidak mengubah gereja-gereja besar menjadi masjid.
Namun, ketika berita tentang mendekatnya pasukan Salib datang, sang patriark dipenjarakan dan banyak tokoh Kristen terkemuka diusir dari kota.
Menjelang Pengepungan
Sebelum pengepungan Antiokhia, Yaghi-Siyan meminta bantuan kepada kota-kota yang dikuasai Seljuk, Damaskus dan Mosul. Keduanya berjanji untuk mengirim pasukan bantuan.
Para sultan di Baghdad dan Persia juga menjanjikan dukungan. Pada saa yang samaz Yaghi-Siyan memiliki persediaan air yang cukup dan 6-7.000 orang bersenjata di dalam kota.
Pada tanggal 20 Oktober 1097 M, pasukan Tentara Salib yang berjumlah sekitar 30.000 orang berhasil merebut jembatan berbenteng penting di atas Orontes dan mengepung konvoi perbekalan yang sedang dalam perjalanan menuju Antiokhia.
Keesokan harinya, mereka tiba di depan tembok kota. Kontingen yang dipimpin oleh Bohemund dari Taranto, Raymond dari Toulouse, dan Godfrey de Bouillon ini menempatkan diri di luar berbagai gerbang utama kota.
Dengan hanya sedikit pasukan yang dimilikinya, Yaghi-Siyan memilih untuk tidak mengambil risiko dengan mengerahkan pasukan penyerang, dan dua minggu berlalu tanpa banyak aksi saat Tentara Salib mengatur posisi mereka.
Tentara Salib sendiri lebih memilih untuk mengistirahatkan pasukan mereka dan menunggu bala bantuan, terutama dari Alexios. Bala bantuan itu kemungkinan memiliki beberapa mesin pengepungan.
Ketidakaktifan tersebut, digabung dengan berita kedatangan pasukan Muslim dari Damaskus, memicu Yaghi-Siyan memulai serangan-serangan kecil di kamp-kamp Tentara Salib.
Saat musim dingin tiba, Tentara Salib mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan makanan. Mereka terpaksa mencari makan di tempat yang jauh dan luas. Ini membuat mereka rentan terhadap serangan mendadak dari kota.
Pada akhir Desember, pasukan besar di bawah pimpinan Bohemund dan Robert dari Flanders dikirim ke Hama untuk menemukan sumber makanan yang lebih baik. Yaghi-Sivan memanfaatkan kesempatan ini untuk melancarkan serangan ke salah satu kamp Tentara Salib.
Serangan itu berhasil dipukul mundur hingga ke tembok kota. Para penyerang menderita kerugian besar, tetapi banyak juga ksatria Tentara Salib terbunuh. Di sisi lain, pasukan Bohemund dan pasukan Robert bertemu dengan pasukan bantuan Muslim dari Damaskus dan dikepung.
Awalnya Bohemund menahan diri, tapi kemudian dia melancarkan serangan kejutan dan mengalahkan pasukan Muslim. Meski menang, Tentara Salib terpaksa kembali ke Antiokhia karena belum menyelesaikan misi pencarian sumber makanan.
Hujan selama berminggu-minggu dan menipisnya makanan menimbulkan bencana kelaparan. Tentara Salib kehilangan anggota hingga sekitar 700 ksatria dan harus melawan sejumlah pasukan Muslim, baik yang datang dari Aleppo maupun dari Antiokhia.
Pada 6 Maret, bantuan berjumlah besar datang dari Siprus. Bantuan ini termasuk sebuah kapal yang dikomandoi oleh orang Inggris Edgar Atheling, berisi mesin pengepungan dan bahan bangunan dari kaisar Alexios.
Tentara Salib memperkuat diri: mereka membangun menara-menara benteng, memperoleh makanan, dan berbisnis dengan pedagang-pedagang lokal yang kehilangan pelanggan di kota.
Pengepungan Antiokhia
Di bulan Mei, datang berita bahwa pasukan Muslim yang besar tengah mendekati kota Antiokhia. Pasukan ini terdiri dari pasukan dari Mosul, Baghdad, Persia, dan Mesopotamia.
Namun pemimpin pasukan itu, Kerbogha dari Mosul, enggan bergerak karena Edessa masih berada di tangan Tentara Salib dan dapat menimbulkan ancaman potensial terhadap sayap kanannya.
Bohemund memanfaatkan kesempatan ini untuk diam-diam bernegosiasi dengan Firouz, seorang Armenia yang menjaga salah satu bagian tembok Antiokhia.
Firouz berkhianat dengan mengizinkan pasukan Bohemund memasuki bagian tembok kota yang berada di bawah komandonya.
Bohemund menyampaikan hasil negosiasi tersebut kepada para pemimpin Tentara Salib lainnya. Mereka berencana berpura-pura menjauh dari kota untuk menghadapi pasukan Muslim yang sedang mendekat, tetapi kemudian, dalam kegelapan, kembali dan menyerang tembok barat Antiokhia di mana Firouz menunggu mereka.
Rencana itu berhasil,. 60 kesatria Bohemund memanjat tembok dan merebut menara barat laut tanpa perlawanan. Setelah membuka beberapa gerbang kota, sisa pasukan Tentara Salib masuk ke kota. Antiokhia jatuh pada tanggal 3 Juni 1098 M.
Tombak Longinus Ditemukan
Selanjutnya, Tentara Salib membantai banyak orang Muslim dan bahkan sejumlah orang Kristen. Yaghi-Siyan melarikan diri dari Antiokhia melalui gerbang kecil, tetapi putranya, Shams ad-Daula, mengumpulkan pasukan sebanyak yang dia bisa dan pergi ke benteng kota yang tinggi.
Bohemund melancarkan serangan balasan tetapi kalah dan terluka. Pada saat yang sama, pasukan besar Muslim di bawah kepemimpinan Kerbogha sedang dalam perjalanan.
Pasukan Kerbogha tiba di Antiokhia pada tanggal 7 Juni dan berkemah di posisi yang sama yang telah diduduki oleh Tentara Salib selama ini. Bencana kelaparan kembali terjadi, Tentara Salib hanya bisa menunggu bantuan dari Alexios
Saat itulah terjadi kesalahpahaman: bantuan yang sedang dalam perjalanan menuju Antiokhia bertemu dengan para pengungsi dari kota itu. Mereka memberitahunya bahwa Tentara Salib berada di ambang kekalahan terhadap pasukan Muslim yang besar.
Alexios tidak ingin membuang-buang sumber daya dan berpikir untuk pulang. Ditambah lagi ada berita tentang pasukan Turki lainnya akan mencegatnya sebelum dia sampai di Antiokhia.
Tidak senang mengetahui bahwa dia telah ditelantarkan oleh Bizantium, Bohemund mengingkari sumpahnya untuk mengembalikan semua wilayah yang direbut, termasuk Antiokhia, kepada Alexios.
Sementara itu, Kerbogha melancarkan serangan terpadu ke tembok barat daya pada 12 Juni 1098 M dan menolak permohonan untuk mengizinkan pasukan Tentara Salib menyerah.
Keadaan berbalik ketika seorang petani bernama Peter Batholomew mendatangi para pemimpin Tentara Salib dan mengaku bahwa dia mendapat penglihatan di mana Santo Andreas menunjukkan lokasi Tombak Longinus berada, yakni di Katedral Santo Petrus.
Legenda mengatakan bahwa orang yang membawa Tombak tersebut akan dapat mengalahkan semua penyerang.
Penggalian dilakukan dan tombak itu ditemukan. Berita itu menyebar ke seluruh pasukan Tentara Salib, mendorong mereka melancarkan serangan besar-besaran terhadap kamp-kamp Muslim. Waktunya sangat tepat karena desersi sedang merajalela.
Pada tanggal 28 Juni serangan itu berhasil dengan sangat sukses. Umat Muslim panik ketika kontingen besar mundur dan komandan mereka tidak ingin mendukung Kerbogha. Pasukan di benteng menyerah keesokan harinya, pengepungan berhasil dipatahkan, dan Antiokhia kembali ke tangan orang Kristen. [BP]