Koran Sulindo – Penyidik dinilai sudah bekerja secara profesional ketika menetapkan Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Bachtiar Nasir sebagai tersangka tindak pidana pencucian uang (TPPU). Secara formil, penyidik dinilai sudah memiliki setidaknya dua alat bukti permulaan cukup.
“Saya meyakini itu. Tanpa itu, saya kira penyidik tidak akan berani menetapkan seseorang (Bachtiar) sebagai tersangka. Secara formil saya yakin penyidik punya alat bukti,” kata pengamat hukum Refly Harun saat dihubungi di Jakarta, Kamis (9/5).
Kepolisian RI telah menetapkan Bachtiar Nasir sebagai tersangka TPPU dengan tindak pidana asal yaitu penetapan tersangka atas nama Adnin Armas yang dijerat dengan Pasal 70 Undang Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan jo Pasal 5 ayat 1 UU Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Yayasan, serta Pasal 374 jo Pasal 372 KUHP. Ancaman pidananya 5 tahun penjara.
Adnin Armas merupakan Ketua Yayasan Keadilan untuk Semua. Bachtiar dituduh mengalihkan aset Yayasan Keadilan untuk Semua. Adapun bukti permulaan yang dimiliki kepolisian antara lain keterangan Ketua Yayasan Keadilan untuk Semua, Adnin Arman. Juga keterangan pegawai BNI Syariah, Islahudin Akbar.
Alat bukti lainnya adalah rekening yayasan yang telah diaudit. Bachtiar disebut mencairkan uang sebesar Rp 1 miliar dari rekening yayasan dan menggunakannya untuk keperluan lain. Dana umat dan dana masyarakat itu diperuntukkan untuk kegiatan lain bukan untuk bantuan.
Berdasarkan fakta itu, Refly berharap, penyidik profesional dalam memproses kasus Bachtiar Nasir. Refly mengingatkan agar penyidik tidak main-main dalam menegakkan hukum. Penegakan hukum tidak boleh pandang bulu.
“Saya kira penegak hukum juga perlu mengusut kasus yang memberi pengaruh luas terhadap masyarakat,” kata Refly.
Refly juga memberikan pendapatnya atas pernyataan calon presiden Prabowo Subianto yang menuding penetapan Bachtiar Nasir sebagai bentuk kriminalisasi terhadap ulama. Dikatakannya, kriminalisasi itu berarti kasus kriminalnya tidak ada tapi dibuat ada.
“Saya kira sepanjang penyidik bisa membuktikannya, itu bukan kriminalisasi. Itu sebabnya, penyidik tidak boleh main-main. Harus profesional menegakkan hukum,” kata Refly.
Secara terpisah, pengamat hukum pidana Universitas Indonesia (UI), Ganjar Laksmana untuk membuktikan suatu perbuatan TPPU, harus dipastikan dulu apakah ada kejahatan yang menjadi tindak pidana asalnya. Pengalihat aset yayasan itu merupakan cara melakukan pencucian uang, bukan tindak pidana asalnya.
“UU TPPU mengatur tidak kurang dari 25 jenis kejahatan dan disebut satu per satu jenisnya. Yang ke-26 disebut ‘tindak pidana lain yang diancam pidana 5 tahun penjara atau lebih’,” kata Ganjar.
Lalu, apakah tindak pidana tentang Yayasan yang ancamannya 5 tahun penjara bisa menjadi tindak pidana asal? “Bisa. Karena saya tidak mengikuti dari awal kasusnya dan perkembangnnya, tapi secara formil bisa saja ada TPPU-nya,” kata Ganjar. [KRG]