Ilustrasi/YMA

Koran Sulindo – Dosen Filsafat dari Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Reza Wattimena, mengatakan pemikiran pengamat politik dan pakar filsafat, Rocky Gerung terlalu hiper kritis (over critical). Menurut Reza, dalam filsafat pemikiran semacam itu tidak ideal.

Menurut Reza, ia melalukan riset kecil dari pelbagai tulisan Rocky dan banyak hal yang disepakati lantaran itu memang filsafat politik. Akan tetapi dari beberapa tayangan di Youtube beberapa argumentasi dan bombastik dari mantan dosen filsafat di Universitas Indonesia itu mengeritik Pemerintah terlihat berat sebelah.

“Kalau kita telaah dengan verifikasi, ternyata tidak separah itu. Misalnya Pemerintah kita berbuat sesuat yang kurang ideal, itu diutek-utek, ditajemin terus dan lupa bahwa dimensi pemerintahan itu kompleks. Itu over critical, ada segi kebenaran di dalamnya, tetapi berat sebelah. Untuk filsafat itu tidak ideal,” kata Reza dalam diskusi ‘Membedah Tudingan “Sodomi” Akal Sehat Rocky Gerung’ di D’Consulate Cafe, Jakarta Pusat, Jumat (1/3/2019).

Menurut Reza, dalam filsafat harus jernih dalam arti ideal, yakni di satu sisi lemah tapi di sisi lain harus kuat. Dirinya tidak tahu motif Rocky menjadi begitu over critical pada poin-poin tertentu.

“Saya tidak berani berspekulasi, ya satu teroi yang muncul, ada kepentingan di belakangnya. Tapi apa itu, saya harus riset dulu, saya tidak berani nanti dibilang hoax,” ujarnya.

Ketika ditanya ada kemungkinan di tahun politik ini dan memunculkan seorang Rocky Gerung dari kubu oposisi?, Reza mengatakan bisa saja, tetapi dia tidak bisa memastikannya. Menurut dia kemampuan beragumen secara seimbang itu harus dilapisi melalui pikiran, tulisan dan omongan. Hal itu yang menjadi suatu keutamaan dalam filsafat. Namun bila itu dilanggar demi kepentingan tertentu, sangat kritis kepada pihak tertentu, itu bukan lagi filsafat.

“Itu sudah menjadi ideologi, yang artinya menyesatkan dan lemahnya bangsa kita adalah gampang percaya dengan sesuatu yang bombastis, sensasional, itu naif. Kalau kita bisa lebih kritis lagi sebagai masyarakat, hal-hal ini tidak perlu menjadi perdebatan yang terlalu lama. Kita bisa maju dengan ngomongin yang konstruktif,” katanya.

Saat ini sudah timbul perpecahan di masyarakat. Menurutnya masyarakat yang kemampuan nalarnya tidak kritis gampang sekali termakan oleh sosok-sosok intelektual yang mengaku filsuf.

“Di filsafat kita banyak belajar pemikiran dari Yunani Kuno sampai yang baru-baru keluar nih, tujuannya cuma satu bisa berpikir secara mandiri, maka saran saya, apa pun yang kita dengar, kita baca, kita lihat, kita gunakan penalaran kita secara mandiri, tidak ikut-ikutan, tidak takut akan tekanan massa, tidak takut menjadi sumber gosip, biang gosip, penyebar gosip, lebih dingin, kritis, memutuskan dari kemampuan bepikir mandiri,” kata Reza.

Sementara aktivis dari Progres 98, Faizal Assegaf penggagas diskusi ini mengatakan, acara ini adalah bagian dari filsafat kekinian. Diskusi yang diklaimnya banyak peminat ini adalah bentuk ekspresi kebebasan berpendapat. Jika Rocky Gerung berani mengatakan ada penindasan dan otoriter, di forum ini kata Faizal adalah untuk mematahkan argumentasinya.

“Saya tunggu untuk berdialektika. Tidak perlu perang di Twitter. Kalau dia berbicara filsafat maka tidak ada keberpihakan dalam suatu kelompok politik, murni untuk memberikan pemahaman kepada masayarakat untuk mencari kebenaran. Semua itu dikemas oleh Rocky untuk suatu tujuan memenangkan para sodomer-sodomer yang berkoalisi di barisan oposisi,” kata Faizal.

Sedangkan pembicara lain, Pemimpin Redaksi Harian Kompas.com, Wisnu Nugroho mengatakan narasi yang dibangun oleh Rocky dengan “Dungu” dan Faizal “Sodomi” tidak laku dalam media arus utama. Sebab, media massa bersifat mencerahkan dan menjernihkan.

“Bagi kami media arus utama tidak terpakai narasa-narasi yang demikian. Media bersikap netral untuk menjernihkan. Soal tuduhan yang dibangun orang, kita harus buktikan dengan kerja jurnalistik,” kata Wisnu. [YMA]