Pengakuan Presiden Jokowi soal Pelanggaran HAM Berat

Ilustrasi: Presiden Jokowi di Beranda Istana Merdeka Jakarta/setkab.go.id-Ibrahim

PRESIDEN Joko Widodo atau yang akrab dipanggil Presiden Jokowi pada 11 Januari 2023 mengakui bahwa adanya pelanggaran berat terhadap HAM (Hak Asasi Manusia) yang terjadi di Indonesia. Hal itu ia sampaikan ketika menerima laporan dari tim penyelesaian non yudisial pelanggaran hak asasi manusia yang berat atau PPHAM.

“Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa,” ucap Presiden Jokowi.

Presiden Jokowi juga menuturkan bahwa dirinya menaruh simpati dan empati yang mendalam kepada para korban dan keluarganya. Ia menyampaikan dirinya dan pemerintah akan berusaha untuk memulihkan hak para korban secara adil dan bijaksana tanpa melepaskan penyelesaian yudisial. Jokowi juga menegaskan pemerintah juga akan berupaya agar pelanggaran hak asasi manusia yang berat ini tidak akan terjadi lagi di tanah air.

Diketahui bahwa tim penyelesaian non yudisial PPHAM ini dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 tahun 2022. Dalam laporan tersebut menyebutkan adanya 12 peristiwa yang dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi pada masa lalu. Adapun ke 12 peristiwa itu adalah:

  1. Peristiwa 1965-1966
  2. Peristiwa Penembakan Misterius atau Petrus di tahun 1982 hingga 1985
  3. Peristiwa Talangsari Lampung pada tahun 1989
  4. Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh tahun 1989
  5. Peristiwa Penghilangan Orang secara Paksa pada tahun 1997-1989
  6. Peristiwa Kerusuhan Mei 1998
  7. Peristiwa Penembakan Mahasiswa Trisakti dan Semanggi I-II tahun 1998- 1999
  8. Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet di Banyuwangi tahun 1998-1999
  9. Peristiwa Simpang KKA Aceh tahun 1999
  10. Peristiwa Wasior, Papua tahun 2001-2002
  11. Peristiwa Wamena, Papua tahun 2003
  12. Peristiwa Jambo Keupok Aceh tahun 2003.

Pada kesempatan yang sama, Mahfud MD Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan menyampaikan bahwa tim penyelesaian sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang berat non yudisial ini dibentuk oleh Presiden Jokowi karena penyelesaian secara yuridis mengalami kebuntuan. Adanya saling curiga di masyarakat hingga ada 4 kasus yang dibawa ke Mahkamah Agung dibebaskan karena bukti-bukti secara hukum acara tidak cukup.

Tim ini diminta Presiden Jokowi untuk melakukan pemeriksaan ulang terhadap peristiwa atau kasus-kasus yang harus diselesaikan dengan melihat situasi politik, ekonomi, sosial budaya yang berkembang saat ini.

Mahfud MD juga menyatakan bahwa pemerintah telah mengadili 4 peristiwa pelanggaran ham berat yang terjadi sesudah tahun 2000 dan semua peristiwa itu ditolak oleh Mahkamah Agung dan semua tersangka dibebaskan atas dasar bukti yang tidak cukup untuk dikatakan sebagai  peristiwa pelanggaran HAM berat.

Sedangkan menurut UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM pasal 43 (1), peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum tahun 2000 akan diperiksa dan diputus oleh pengadilan HAM ad hoc yang dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.

Tentu saja mendengar kata-kata penyesalan Kepala Negara Indonesia tidak cukup tanpa adanya perbuatan yang sungguh-sungguh. Para korban dan keluarga sudah menunggu puluhan tahun untuk melihat putusan pengadilan yang seadil-adilnya bagi mereka. Apalagi bagi kasus pelanggaran HAM yang berat tidak berlaku ketentuan mengenai kadaluarsa.

Asa penyelesaian pelanggaran HAM berat ini menjadi salah satu janji politik Jokowi saat maju menjadi presiden di tahun 2014 bahkan tertuang di nawacita. Namun, sampai akhir tahun kedua Jokowi menjadi presiden harapan itu tidak pernah terjadi. Baik korban dan keluarga hanya ingin menunggu pemenuhan hak atas keadilan yang hingga kini belum terjadi pada kasus-kasus pelanggaran HAM berat. [NS]