Koran Sulindo – Baru empat tahun merdeka tiba-tiba saja Indonesia yang masih bayi harus menanggung segunung beban utang. Tak tanggung-tanggung, jumlahnya bahkan mencapai 6,1 miliar gulden. Itu harga yang harus dibayar untuk pengakuan kedaulatan.
Ironis karena pengakuan itu justru datang dari mereka yang semula merampasnya, anak cucu Cornelis de Houtman, si Belanda bangsa pembuat terompah.
Jumlah 6,1 miliar itu tak seolah-olah saja jatuh dari langit: 3,1 miliar gulden adalah utang luar negeri, sisanya 3 miliar gulden utang dalam negeri. Belanda cuma mau menanggung 500 juta gulden.
Jadi, total uang yang diperas dari darah dan keringat rakyat Indonesia itu jumlahnya 5,6 miliar gulden—sangat mengerikan bagi sebuah negeri dengan kas cekak. Meminjam istilah orang Betawi, kondisi keuangan Republik waktu itu cepeng bau tai ayam alias bokek.
Diwakili Hatta, delegasi Republik di Den Haag pada 24 Oktober 1949 setuju menanggung utang pemerintah Hindia Belanda sekitar 4,3 miliar gulden. Si Bung tak ragu karena sebelumnya lampu hijau sudah didapat dari Soekarno yang punya kalkulasi sendiri.
Bung Besar yang memang cerdik sejak semula telah bersikap emoh membayar utang. Kesanggupan itu dinyatakan semata-mata cuma lips service. Belakangan, rencana itu benar-benar dipraktikkan hingga Belanda bosan memaksa Indonesia dan menyerah.
Tak cuma soal utang yang membuat pening para pemimpin Republik, keputusan Ronde-Tafelconferentie alias Konferensi Meja Bundar dari 23 Agustus-2 November 1949 di Den Haag itu menunda pembahasan Papua Barat setahun setelah pengakuan kedaulatan. Untuk soal kedaulatan, Ronde-Tafelconferentie menyepakati bakal dilaksanakan paling lambat 30 Desember 1949. Belanda juga mengakui Republik Indonesia Serikat (RIS) yang selanjutnya mengikatnya diri dalam Uni Indonesia-Belanda. Ketika akhirnya Belanda mengakui kedaulatan pada 27 Desember, seremoni dilakukan di dua tempat, yakni di Amsterdam dan Jakarta.
Di Amsterdam, atas nama Republik Indonesia Serikat, Perdana Menteri Hatta berjabat tangan dengan Ratu Juliana. Sebelumnya, dengan mantel hitam blootshoofd, Hatta memeriksa barisan kehormatan militer dan segera masuk istana, mengambil posisi di Burgerzaal.
“Kini kita tidak lagi berdiri berhadap-hadapan, melainkan berdiri sejajar, meski penuh dengan tanda-tanda luka,” kata Juliana memberikan pidato sambutan setelah menandatangani dokumen bersama Hatta.
Rosihan Anwar, satu-satunya wartawan Indonesia yang hadir pada acara itu, mengingat di tengah upacara berlangsung tiba-tiba terdengar bunyi gedebuk, orang jatuh. Seorang kemerheer pingsan. Apakah lelaki pegawai Istana Ratu itu lemas karena terlalu lama berdiri, sakit, atau belum sarapan, Rosihan mengaku tidak tahu. Yang pasti, dia menganggap sebagai perlambang kejatuhan dan tamatnya kolonialisme Belanda.
Upacara di Paleis Dam itu disiarkan langsung melalui radio dan pada saat sama bisa didengarkan dari Istana Rijswijk di Jakarta oleh hadirin yang menyaksikan upacara pengakuan kedaulatan dari Wakil Mahkota Agung Lovink kepada Sultan Hamengku Buwono IX. Presiden Soekarno engan menghadiri itu dan memilih tetap tinggal di Yogyakarta, menunggu triomfala intocht alias ketibaan berjaya di ibu kota RI.
Diplomat Belanda Van Beus di buku Morgen bij het aanbreken van de dag menulis, ketika penurunan bendera Belanda Merah-Putih-Biru, massa rakyat yang menyaksikan menyuti dengan cemooh, memicu perasaan pilu orang Belanda yang hadir. Sebaliknya, ketika bendera Indonesia Merah-Putih dikerek, rakyat bertepuk tangan diiringi sorak sorai.
Bertahun-tahun kemudian, ketika Rosihan bertanya kepada Hatta mengenai peristiwa terpenting dalam hidupnya, Hatta menjawab menandatangani teks Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan menandatangani akta pengakuan kedaulatan Belanda kepada Indonesia, 27 Desember 1949.
Pengakuan kedaulatan pada 27 Desember 1949 itu bagaimapun mengakhiri masa revolusi bersenjata di Indonesia dan secara de jure Belanda telah mengakui kemerdekaan Indonesia dalam baju Negara Republik Indonesia Serikat atau RIS.
Jalan Rumit
Hingga titik tertentu, skenario Van Mook dengan RIS lancar. Negara federal itu dibangun dari 16 negara bagian dan tiga daerah kekuasaan. Republik Indonesia dengan Mr. Assaat sebagai presiden terjepit di antara Negara Pasundan serta Negara Jawa Timur dan Madura. Wilayah Republik Indonesia cuma sebagian Jawa Tengah, Yogyakarta, dan sebagian kecil Sumatera. RIS adalah Indonesia yang benar-benar berbeda dengan yang dibayangkan pendiri bangsa sebelum Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Sehari setelah pengakuan kedaulatan, Soekarno kembali ke Jakarta setelah bertahun-tahun “mengungsi” ke Yogyakarta. Ia tak kembali ke Jalan Pegangsaan Timur 56 tempat tinggalnya dahulu dan memilih tinggal di bekas istana Gubernur Jenderal Belanda. Bung Karno bukan lagi Presiden Republik Indonesia, ia adalah Presiden RIS, sementara Hatta menjabat sebagai perdana menteri.
RIS sendiri tak kompak-kompak amat. Beberapa negara bagian ngotot ingin kembali bergabung ke dengan Republik Indonesia yang tetap berpusat di Yogya. Kala itu, Natsir sempat diminta Wakil Presiden Hatta menjadi Perdana Menteri RI. Permintaan itu ditolak Natsir karena RI hanya sebuah negara bagian. Ia lebih suka dengan kedudukannya sebagai Ketua Majelis Sjuro Muslimin Indonesia.
Namun, melihat RIS yang terus bergolak, Natsir tak tega hanya berpangku tangan. Dua bulan lobi alot dikerjakan untuk mendekati semua faksi, termasuk ke PKI dan Bijzonder Federal Overleg (BFO) yang terdiri dari kepala-kepala negara bagian buatan Belanda. Ia juga menemui Mr. Assaat di Yogya yang menjadi Presiden RI.
Pada sidang Parlemen RIS tanggal 3 April 1950, dalam bahasa yang halus dan diplomatis, Natsir mengajak terbentuknya kembali negara kesatuan. Pidato itu berakhir dengan Mosi Integral Natsir yang diteken semua fraksi.
Negara federal hasil kompromi itu akhirnya tak bertahan lama. Dalam kurun empat bulan berikutnya, satu per satu negara boneka Belanda akhirnya kembali bergabung dan hanya menyisakan Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur yang bertahan. Melalui perundingan berlarut-larut antara RIS dan RI serta parlemen RIS, Mosi Integral Natsir diterima.
Pada tanggal 15 Agustus 1950, Soekarno akhirnya mengumumkan piagam terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diproklamasikan kembali dua hari kemudian.
Mengomentari piagam itu, sejarawan Hebert Feith menyebut tahun 1950 sebagai tahun kemenangan nasionalisme. “Sebagai kekuatan yang mempersatukan seluruh kepulauan, nasionalisme sedang berada di puncak kekuasaannya.”
Inisiatif Natsir bagaimanapun adalah pilihan strategis terbaik yang sanggup dicapai secara konstitusional, demokratis, dan terhormat. Itulah mengapa Soekarno kemudian menunjuknya sebagai perdana menteri pertama.
Ditanya wartawan Merdeka Asa Bafagih, siapa calon yang bakal ditunjuk membentuk kabinet, Bung Karno dengan spontan berkata, “Siapa lagi kalau bukan Natsir yang mempunyai konsepsi menyelamatkan Republik melalui konstitusi?”
Piagam pembentukan kembali dan diproklamasikannya kembali Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950 itu sekaligus menjadi tengara pembubaran RIS. Sebulan kemudian, pada 28 September 1950, Indonesia diterima menjadi anggota ke-60 Perserikatan Bangsa-Bangsa. Penerimaan itu hanya berarti satu hal, kemerdekaan Indonesia secara resmi diakui oleh dunia Internasional.
Di sisi lain, pembicaraan Indonesia-Belanda terkait soal Irian Barat masih memicu kebuntuan. Delegasi Indonesia berpendapat, Indonesia harus meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda. Hal itu ditolak Belanda, dengan klaim bahwa Irian Barat tidak memiliki ikatan etnis dengan wilayah Indonesia lain.
Wilayah baru bisa diintegrasikan kembali dengan Indonesia setelah Indonesia mengumumkan Operasi Mandala untuk merebut Papua Barat dengan kekuatan militer. Kala itu kekuatan militer dan alat-alat perang Indonesia tergolong canggih dan siap sedia menggempur seluruh armada laut dan pasukan Belanda. Mereka akhirnya mundur dengan tuntutannya. [Teguh Usia]