Jakarta, 28 november 2023, Heri Sarmoko (HS) mantan ketua Caretaker Gerakan Pemuda Marhaenis menggugat Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) terkait pengeluaran surat Administrasi Hukum Umum (AHU) kepada Gerakan Pemuda Marhaeenis (GPM) dengan nomor perkara 259/G/2023/PTUN.JKT.
HS adalah mantan ketua “Caretaker GPM 2018-2019” dan sesuai dengan yang ditugaskan oleh para Declarator dan Dewan Pembina , Masa tugasnya selesai pada 10 November 2019 dan digantikan Emir Moeis yang di tetapkan menjadi Ketua Gerakan Pemuda Marhaenis saat mengadakan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) di Semarang pada 10-11 November 2022 lalu.
HS juga sempat mengadakan kongres mengatasnamakan GPM di Bali pada tanggal 5 November 2021 dan mengusung ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) La Nyalla Mattalitti sebagai calon Presiden kala itu.
Heri Sarmoko merasa penerbitan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan Nomor AHU-0000440.AH.01.08.TAHUN 2023 Tentang Persetujuan Perubahan Perkumpulan Gerakan Pemuda Marhaenis tertanggal 15 Maret 2023 telah bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku atau Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik sehingga menggugat Kemenkumham ke PTUN.
Gerakan Pemuda Marhaenis didirikan pada 31 Mei 1947 dengan nama Pemuda Demokrat. Pada Kongres ke IX Pemuda Demokrat pada 1963 di Solo, organisasi pemuda ini berubah nama menjadi Gerakan Pemuda Marhaenis, disingkat GPM hingga saat ini.
Gerakan Pemuda Marhaenis yang sekarang dipimpin Emir Moeis dan Willem Tutuarima sebagai Ketua Dewan Pembina DPP GPM. Dengan adanya gugatan ini, GPM sendiri merasa resah sehingga mengajukan diri menjadi tergugat intervensi karena mempunyai bukti yang bisa diajukan ke pengadilan bahwa hasil Rakernas di Semarang adalah sah dan HS juga sudah bukan lagi sebagai ketua GPM. Dalam 7 kali persidangan yang dilakukan PTUN, HS tidak sekalipun terlihat mengahdiri persidangan.
Bukti dokumen yang diberikan GPM juga memperkuat pengadilan untuk memutuskan bahwa gugatan HS kepada Kemenkumham tidak dapat diterima. Atas keputusan Hakim, PTUN pun menolak gugatan yang diajukan dan HS di bebankan untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 329.000,00 (tiga ratus dua puluh sembilan ribu rupiah).[Iqyanut]