Presiden Duterte jadikan perang narkotika sebagai modus untuk habisi lawan politik [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Pada bulan depan tepat setahun pemerintah Filipina menarik diri dari Statuta Roma – traktat yang mendirikan Pengadilan Kejahatan Internasional (ICC). Penarikan diri tersebut setelah Presiden Rodrigo Duterte mengirimkan secara resmi surat penarikan diri kepada PBB pada tahun lalu.

Akan tetapi, ICC dalam pernyataannya seperti yang dikuti Vera Files, salah satu media yang terverifikasi sebagai International Fact-Checking Network, menyesalkan tindakan Duterte itu. Walau penarikan itu sama sekali tidak memengaruhi proses penyelidikan yang dilakukan ICC atas kasus pembantaian terhadap pemakai narkotika tanpa proses hukum oleh Duterte.

“Tidak berdampak atas proses yang berjalan atau tentang status hakim yang sudah ditunjuk untuk bertugas di ICC,” tulis Vera Files pada Kamis (14/2).

ICC setidaknya telah melakukan 3 komunikasi secara terpisah dengan tuduhan terhadap Duterte dan pejabat pemerintahan Filipina yang diduga melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan. Terutama melakukan pembunuhan ekstra yudisial atas nama perang melawan narkoba.

Kasus tuduhan terhadap Duterte itu diajukan antara lain senator Antonio Trillanes IV, Repair Alejano, pengacara Jude Sabio dan keluarga korban perang narkoba. Mereka berharap kasus ini akan dinaikkan ke tahap penyelidikan sebelum 17 Maret 2019. Sementara ini, jaksa dari ICC Fatou Bensouda sedang dalam tahap pemeriksaan pendahuluan dan memantau perkembangan negara tersebut.

Berkaitan dengan laporan tersebut, Asia Reassurance Initiative Act (ARIA), sebuah aturan yang ditandatangani Presiden Donald Trump pada 31 Desember lalu, berisikan beberapa pengamatan buruknya penegakan hak asasi manusia di Filipina. ARIA menganggarkan sekitar US$ 1,5 miliar untuk wilayah Indo-Pasifik untuk 5 tahun ke depan yang berkaitan dengan kepentingan dan tujuan kebijakan luar negeri AS.

Dalam UU itu ada bagian yang mengungkapkan temuan Kongres tentang penegakan HAM di Filipina. Temuan itu antara lain menyebutkan adanya pembunuhan di luar proses hukum sehingga diduga terjadi pelanggaran berat HAM di sana. Apa yang terjadi di Filipina disebut sama dengan yang terjadi di Myanmar dan Tiongkok. Di Myanmar terjadi genosida berupa pembantaia etnis Rohingya.

Sementara di Tiongkok terjadi penghilangan paksa, memenjarakan orang tanpa proses hukum, mengawasi rakyat dan ketiadaan keadilan dalam proses peradilan. Apa yang terjadi di Filipina terutama dalam perang narkotika, AS tidak bisa memberikan bantuan karena pemerintah Filipina sama sekali tidak punya standar HAM internasional dalam mengusut kasus narkotika.

Juga penting, misalnya, menyelidiki, dan menuntut orang-orang yang diduga memerintahkan, melakukan atau menutupi pembunuhan tanpa proses hukum dan pelanggaran HAM berat lainnya ketika melakukan operasi perang narkotika di Filipina. ARIA menyebutkan memajukan HAM dan penghormatan terhadap nilai-nilai demokrasi di Indo-Pasifik adalah untuk kepentingan keamanan nasional AS.

Dukungan berkelanjutan terhadap HAM, nilai-nilai demokrasi, dan tata pemerintahan yang baik sangat penting untuk keberhasilan strategi diplomatik AS di Indo-Pasifik. Di samping itu, dukungan kuat untuk HAM dan demokrasi di kawasan Indo-Pasifik sangat penting sebagai upaya mengurangi kemiskinan, membangun supremasi hukum, memerangi korupsi, mengurangi daya pikat ekstremisme dan mendorong pertumbuhan ekonomi. [KRG]