Koran Sulindo – Jalan berliku kasus dugaan penistaan agama dengan tersangka Gubernur DKI Jakarta Non-aktif, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, akhirnya bermuara juga ke ruang sidang pengadilan. Pada 13 Desember 2016 lalu,Ahok untuk pertama kalinyaduduk di kursi terdakwa di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Utara, yang menempati bekas gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jalan Gajah Mada Nomor 17.
Ia didakwa secara sengaja mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat penodaan agama.”Terdakwa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia,” kata Ketua Tim Jaksa Penuntut Umum Ali Mukartono membacakan nota dakwaan.
Ada tiga dakwaan dalam nota dakwaan sebanyak tujuh lembar dengan nomor register perkara idm 147/jkt.ut/12/201 itu.Perbuatan Ahok yang menempatkan Surah Al-Maidah ayat 51 sebagai alat atau sarana untuk membohongi masyarakat itu dinilai jaksa sebagai penodaan terhadap Alquran, sejalan dengan pendapat dan sikap keagamaan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 11 Oktober 2016.”Perbuatan terdakwa Insinyur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 156-a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,” kata Ali lagi.
Ahok memang didakwa dengan Pasal 156 KUHPtentang Penodaan Agamadan dakwaan alternatif dengan Pasal 156-a KUHP. Dia terancam hukuman enam tahun penjara.
Dalam nota keberatannya, Ahok mengatakan, dirinya tak berniat menistakan Alquran dan agama. Ia juga mengungkapkan memiliki orang tua dan kakak angkat yang beragama Islam. “Mereka adalah penganut agama Islam yang taat,” ujar Ahok. Karena itu, tambahnya, tak mungkin dirinya sampai hati atau tega menistakan agama. “Itu sama saja saya menistakan orang tua dan kakak saya yang menyayangi saya,” tuturnya.
Pada akhir nota keberatannya, Ahok meminta majelis hakim yang diketuai Dwiarso Budi Santiartomembatalkan dakwaan. “Saya ingin kembali membangun Jakarta,” ucapnya.
Banyak pihak telah melaporkan Ahok ke Bareskrim Mabes Polri terkait dugaan penistaan agama itu. Yang melaporkan antara lain Sekretaris Jenderal DPP Front Pembela Islam Habib Novel Chaidir Hasan; Irene Handono, pendiri Yayasan Pembina Muallaf Irena Center dan Pondok Pesantren Muallafah Irena Center, dan; pihak Pemuda Muhammadiyah.
Namun, dalam sidang perdana itu, Irene dan wakil dari Pemuda Muhammdiyah malah tak bisa masuk ruang sidang. “Saya datang sebelum waktu sidang, tapi dilarang masuk,” kata Irene kepada wartawan di depan gedung pengadilan. Alasannya, tambahnya, ruang sidang telah penuh. “Pertanyaanya, berarti yang di dalam itu siapa? Dan kenapa pelapor tidak boleh masuk?” ujar Irene.
Setelah melakukan evaluasi penyelenggaraan sidang perdana, pihak Kepolisian Daerah Metro Jaya merekomendasikan perpindahan lokasi sidang. Karena, lokasi sidang perdana itu dinilai tidak kondusif.”Seperti kemarin, kami harus mengalihkan arus lalu lintas, kemacetan terjadi. Kegiatan sidang-sidang lain kondisi di Pengadilan Negeri Jakarta Utara juga akhirnya terganggu,” kata Wakapolda Metro Jaya Brigadir Jenderal Suntana, 16 Desember 2016 lalu.
Menurut dia, pihak pengadilan juga telah sepakat memindahkan lokasi. “Kami memberikan beberapa rekomendasi. Ada yang Cibubur, Ragunan, ada beberapa tempat,” kata Suntana. Keputusannya, lanjutnya, tetap di tangan ketua pengadilan negeri, berdasarkan rapat.
Pada hari yang sama, di Wisma Bhayangkari, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, digelar Dialog Polri dengan tema “Bersinergi untuk Pilkada”. Dalam Dialog Polri Ke-12 itu, yang menjadi narasumber antara lain Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Pusat, Prof. Dr. Muhammad. Menurut dia, kasus yang membelit Ahok tidak membuat dirinya kehilangan hak untuk mencalonkan diri sebagai gubernur. Karena, kasusnya bukan kasus pidana pemilihan umum. Apalagi, peristiwanya terjadi ketika Ahok belum ditetapkan sebagai peserta pemilihan kepala daerah.
“Status Ahok sebagai calon gubernur tidak gugur, walau kasus sudah bergulir di persidangan. Statusnya baru gugur jika sudah ada keputusan yang berkekuatan hukum tetap dan Ahok tidak melakukan banding. Jika Ahok banding, dia tetap bisa dipilih dengan status sebagai terpidana sekalipun. Jadi jangan dicampur aduk, ini pidana umum, bukan pidana pemilu,” kata Muhammad.
Dasar hukumnya, tambahnya, adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. “Tak ada yang bisa menghalangi status Ahok sebagai calon Gubernur DKI Jakarta,” ujarnya.
Menurut Muhammad, Pilkada DKI Jakarta 2017 merupakan barometer untuk pelaksanaan pilkada serentak. Karenanya, Muhammad berharap Pilkada DKI sukses, tanpa hambatan, dan hanya ada sedikit pelanggaran. Karena, tak mungkin dalam penyelenggaraan pilkada tanpa ada pelanggaran.
“Jika Pilkada 2017 di DKI sukses, sekitar 100 daerah lainnya, insya Allah, juga akan sukses. DKI itu barometernya,” tuturnya.
Diakui Muhammad, Bawaslu tak akan dapat berjalan sendiri tanpa ada dukungan yang sinergis dari lembaga lain, apalagi tenaga pengawas dari Bawaslu terbilang sedikit. “Pengawas di tingkat provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan hanya tiga orang, dan desa satu orang,” ungkap Muhammad.
Itu sebabnya, ia mengimbau mahasiswa untuk menjadi mitra pengawas pemilihan kepala daerah guna membantu Bawaslu melaksanakan proses pengawasan pemilihan di tempat pemungutan suara (TPS). “Mahasiswa harus bisa menjadi bagian dari proses pendidikan politik yang baik,” katanya.
Pembicara lain, peneliti hukum dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, mengungkapkan prinsip keadilan pemilu (electoral justice), sebagaimana dilansir International Institute for Democracy and Electoral Assistance. Pertama: harus ada perlindungan hak pilih warga secara konstitusional.“Kemudian prinsip lainnya, suara yang diberikan pemilih mesti terfasilitasi dengan baik oleh penyelenggara pemilu dan peserta pemilu menghendaki kehendak bebas warga negara dalam memberikan suara,” kata Fadli. Lalu, lanjut Fadli, jika hak pilih warga negara termanipulasi, sistem keadilan pemilu mesti mengembalikannya.
Dijelaskan Fadli lagi, ada tiga tujuan utama keadilan pemilu. Pertama: menjamin agar setiap tindakan, prosedur, dan keputusan terkait proses pemilu sesuai dengan kerangka hukum. Kedua: melindungi atau memulihkan hak pilih. Ketiga: memungkinkan warga yang mewakili mereka yang hak pilihnya telah dilanggar untuk mengajukan pengaduan, mengikuti persidangan, dan mendapatkan putusan.
Untuk menangani perkara-perkara yang berkaitan dengan tindak pidana pilkada, pihak kepolisian mengaku telah mempersiapkan personelnya. Hal ini disampaikan oleh Kadiv Humas Polri Irjen Boy Rafli dalam kesempatan yang sama.
Polri, katanya, melakukan kerja sama dengan instansi lain seperti kejaksaan, penyelenggara pemilu, dan pengawas pemilu untuk menyikapi laporan pelanggaran tindak pidana pemilu. Boy juga mengatakan, sinergi penegak hukum dan penyelenggara serta pengawas pemilu penting untuk memastikan pilkada tidak dicederai. “Polri telah memberi pelatihan kepada penyidik yang khusus menangani tindak pidana pemilu. Begitu pula jaksa yang menangani pelanggaran pilkada,” katanya.
Pelatihan itu antara lain terkait pelengkapan berkas perkara dan pemilihan jenis pelanggaran, apakah pelanggaran administratif atau pidana.Dengan demikian, komplain dan laporan bisa ditangani dengan cepat dan tidak berdampak di luar hukum. “Polri berharap pelaksanaan pilkada berjalan lancar dan tidak diwarnai aksi serta tindak kekerasan yang mencederai sistem demokrasi di Indonesia,” kata Boy. [Rafles/Pur]