Koran Sulindo – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi mengalokasikan anggaran sebesar Rp2,4 triliun sebagai dana alokasi khusus pendidikan pada 2021 di tingkat provinsi dan daerah. Dana tersebut akan digunakan untuk membeli 240 ribu laptop.
Alokasi anggaran Rp 2,4 triliun itu pun menjadi sorotan warganet lantaran harga satu unit laptop bisa mencapai Rp10 juta dalam perhitungan sederhana. Sementara, menurut taksiran mereka, laptop dengan spesifikasi Kemendikbudristek itu harganya hanya di kisaran Rp5 juta.
Proyek yang sama pernah berlangsung di Malaysia dengan nama proyek 1Bestarinet. Pada akhirnya, pada 2019 proyek 1Bestarinet dihentikan oleh pemerintah Malaysia karena berdasarkan hasil audit, hasilnya jauh di bawah harapan.
Proyek 1BestariNet semula direncanakan berjalan selama 15 tahun. Mulai dari tahun 2011 sampai 2026. Ketika itu, targetnya menyediakan akses Internet kecepatan tinggi nirkabel dengan teknologi 4G yang dilengkapi dengan laptop Chromebook dan learning management system (LMS) untuk sepuluh ribu sekolah secara nasional, yang akan menjangkau lima juta siswa dan 500 ribu guru.
Kementerian Pelajaran Malaysia lalu menggunakan istilah menciptakan lingkungan belajar virtual sebagai target yang harus dicapai. Sayangnya setelah delapan tahun berjalan, lingkungan belajar virtual yang tercipta hanya sekitar lima persen saja.
Pasalnya, masih ada ribuan sekolah yang belum terkoneksi Internet. Lalu, berdasarkan hasil audit, sekolah yang sudah dilaporkan terkoneksi pun ternyata baru sebagian ruang kelas saja, belum seluruh sekolah seperti yang ditargetkan.
Proyek yang menghabiskan anggaran sekitar 14 triliun rupiah itu akhirnya dibatalkan agar tidak memboroskan uang rakyat lebih banyak tanpa hasil nyata.
Anehnya di Indonesia, proyek serupa justru akan diadopsi. Tak ayal jika kemudian kebijakan Kemendikbudristek yang ingin belanja laptop dengan nominal triliunan rupiah itu akhirnya membuat resah masyarakat.
Pengamat pendidikan dari Vox Point Indonesia Indra Charismiadji mengatakan, kebijakan yang ditempuh Kemendikbudrisrtek terlalu banyak sehingga meninggalkan banyak program.
Misalnya, rekrutmen guru ASN yang harusnya dimulai sejak Mei 2021 dengan target 1 juta guru. Program ini ditinggalkan begitu saja. Sampai sekarang tidak ada kejelasan tentang nasib para guru ini.
“Kami tidak ingin Kemendikbudristek punya program yang kandas di tengah jalan,” kata Indra kepada wartawan, Selasa (10/8). Program yang satu belum berjalan, yang lain sudah mau dijalankan dengan anggaran yang lebih besar dan punya potensi kandas di tengah jalan juga. Semua program harusnya berjalan dengan baik.
Ketimbang belanja laptop yang angkanya bukan main fantastis, Indra pun meminta agar Kemendikbudristek mematangkan rencana induk digitalisasi pendidikan.
“Lebih baik mengikuti jejak Singapura yang membuat perencanaan awal yang matang,” ujar Indra. Singapura sudah sejak 1997 membuat ICT Masterplan in Education.
Singapura, kata Indra, besarnya hanya seperti satu kecamatan di Indonesia, hanya memiliki 300-an sekolah, tapi punya perencanaan digitalisasi pendidikan yang matang dan terukur.
“Sementara kita yang memiliki 17 ribu pulau dan 260 ribu lebih sekolah serta 50 juta siswa, tidak memiliki perencanaan sama sekali,” kata Indra.
Singapura sekarang sudah masuk fase keempat dalam masterplan tersebut. Di dalamnya diuraikan lengkap bagaimana infrastruktur, infostruktur, dan infokulturnya.
“Kalau kita hanya fokus ke pengadaan laptopnya, tanpa ada kajian yang komprehensif, ya, siap-siap saja uang rakyat terbuang sia-sia,” ungkapnya.
Kemendikbduristek, harap Indra, tidak mengikuti jejak Malaysia atau Thailand yang lebih mementingkan proyeknya daripada nilai manfaatnya. Malaysia gagal dengan proyek Chromebook.
“Jangan sampai Indonesia masuk ke lubang yang sama, dengan menjalankan proyek yang sama di tengah pandemi Covid-19,” ujar Indra.
Untuk diketahui, program digitalisasi pendidikan 1Bestarinet di Malaysia menelan biaya hingga Rp 14 triliun untuk menyediakan konektivitas Internet dan menciptakan lingkungan belajar virtual pada 10 ribu sekolah di Malaysia. Pengadaan laptop Chromebook dan Learning Management System menjadi bagian dari proyek itu.
Laptop Chromebook memang berbeda dengan laptop-laptop yang selama ini beredar di pasaran. Laptop Chromebook adalah laptop dengan lisensi milik Google yang dapat dipasarkan dengan berbagai macam merek.
Laptop ini menjadi salah satu favorit bagi pelajar karena harganya murah, tidak membutuhkan tempat penyimpanan yang besar karena dari mulai sistem operasi, penyimpanan, aplikasi menggunakan teknologi komputasi awan atau cloud yang gratis dari Google.
Laptop Chromebook juga dapat dikontrol, misalnya kapan bisa digunakan, kapan dimatikan, situs apa yang bisa dibuka, aplikasi apa yang boleh digunakan dan lain sebagainya. Jadi laptop ini memang sangat cocok untuk pendidikan.
Laptop Chromebook yang hendak dibeli Kemendikbudristek terlalu tinggi harganya dibanding harga pasar. Diproyeksikan harganya mencapai Rp 10 juta per unit, termasuk device management education upgrade yang tidak termasuk dalam Chromebook di pasar bebas.
“Tentunya ada mekanisme niaga yang berbeda saat pemerintah melakukan pembelian,” kata Ketua Indonesia Cyber Security Forum, Ardi Sutedja.
Sebagai pengguna Chromebook, Ardi memberikan pandangan bahwa laptop ini kurang tepat digunakan di Indonesia. Chromebook itu bagaikan ponsel berukuran besar yang membutuhkan Internet agar dapat berfungsi dengan baik.
Tanpa jaringan Internet, tidak banyak yang dapat dilakukan dengan penyimpanan sebesar 32GB yang tersedia di Chromebook. Apalagi aplikasi selain Google tidak dapat diinstal pada perangkat ini.
“Kita tahu Indonesia akses Internetnya masih sangat terbatas, jangan sampai laptop-laptop ini hanya digunakan sebagai ganjal pintu saja,” gurau Ardi.
Laptop Chromebook yang bisa dikontrol ini, kata Ardi, berpotensi disalahgunakan. “Ini berarti kita malah bergantung total sama asing, karena semua sistem operasi, penyimpaan, aplikasi, dan lain-lain menggunakan teknologi asing yang katanya gratis. Kita tahu di dunia ini tidak ada yang gratis,” jelas Ardi.
Data-data pendidikan ini, kata Ardi, khawatir bakal dimanfaatkan oleh perusahaan asing yang memang cari uangnya dengan cara berjualan data digital. Alih-alih berniat mau mandiri dengan menggunakan merek lokal, tapi kenyataannya malah bergantung pada asing.
“Karena isi laptopnya dapat dikontrol oleh perusahaan asing tersebut. Siapa yang jamin tidak akan dimonetasi, siapa yang jamin kerahasiaan data, kita sendiri belum punya undang-undang kerahasiaan data,” kata Ardi.
Kekhawatiran Ardi bukan tanpa alasan. Dia berharap pemilihan laptop Chromebook yang akan dibeli Kemendikbudristek untuk sekolah-sekolah ini sudah melalui kajian dan merupakan pilihan terbaik bagi Indonesia.
“Bukan karena telah menanamkan modal di Gojek. Para guru berharap kebijakan ini bukan untuk kepentingan bisnis semata,” sentilnya
Anggaran Rp 2,4 Triliun Bukan untuk Laptop
Sementara itu, pihak Kemendikbudristek mengklarifikasi anggaran laptop pelajar yang ramai diperbincangkan di media sosial karena mencapai Rp10 juta per unit. Padahal, spesifikasi laptop tersebut berjenis Chromebook dengan kisaran harga kurang dari Rp5 juta. Dana senilai Rp2,4 triliun yang dianggarkan pemerintah, tidak hanya untuk laptop, namun juga mencakup produk Teknologi Informasi dan Komunikasi lainnya.
Rinciannya, 284.147 laptop ditambah dengan 17.510 wireless router, 10.799 proyektor dan layarnya, 10.799 konektor, 8.205 printer, dan 6.527 scanner.
“Dari situ sudah tergambar tidak mungkin Rp10 juta (untuk satu unit laptop), jadi pasti jauh di bawahnya,” kata Karo Perencanaan Kemendikbudristek M Samsuri meluruskan.
Dana sebesar itu, kata Samsuri, berdasarkan hasil usulan masing-masing pemerintah daerah pada penyusunan Dana Alokasi Khusus Fisik 2021. Untuk diketahui, dana tersebut merupakan bagian dari APDB yang bersumber dari transfer pemerintah pusat.
“Jadi alokasinya sesuai dengan pengajuan pemda, tidak semua pemda butuh peralatan TIK,” kata Samsuri.
Untuk tahun 2022, pihaknya melakukam verifikasi dan validasi untuk sekolah yang memang belum miliki laptop dengan standar. “Kecukupan minimal setidaknya sekolah minimal punya 15 laptop, itu diarahkan untuk sekolah yang belum punya laptop,” klaimnya lagi.
Mengenai spesifikasi laptop yang diatur oleh Kemendikbudristek, kata Samsuri, itu merupakan spesifikasi minimal. Artinya, pemda boleh membeli laptop lebih dari spesifikasi minimal jika dananya masih mencukupi.
Untuk itu, pengadaan laptop dan TIK lainnya, harap dia, dilakukan secara transparan. Pasalnya, semua belanja dilakukan melalui e-katalog Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
“Soal besaran harga itu kan terbuka, karena pengadaannya melalui e-katalog LKPP seperti beli di e-commerce,” kata Samsuri.
Semisal, lanjut Samsuri, mengenai harga laptop dengan spesifikasi seharga Rp5 juta. Itu artinya ketik diklik untuk dibeli bisa terlihat. “Kalau spesifikasinya naik sedikit harganya Rp6 juta, uangnya masih cukup untuk spesifikasi lebih tinggi, ya silahkan beli,” ujarnya.
Pihak Pemda, kata Samsuri, nantinya akan menyampaikan laporan kepada Kementerian Dalam Negeri terkait penggunaan dana tersebut. Apabila masih ada sisa dana, maka pihak pemda akan mengembalikannya ke kas negara.
“Kalau lebih dikembalikan ke kas negara karena itu dana transfer daerah. Ada hitungannya, nanti itu harus kembali ke kas negara,” ujar Samsuri.
Sebelumnya, dalam bahan paparan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan disebutkan ada enam perusahaan yang menyanggupi pengadaan laptop pelajar tersebut. Enam produsen laptop dalam negeri tersebut memiliki nilai TKDN lebih dari 25 persen
Meliputi PT Zyrexindo Mandiri Buana, PT Tera Data Indonusa, PT Supertone, PT Evercross Technology Indonesia, PT Bangga Teknologi Indonesia, dan Acer Manufacturing Indonesia.
Samsuri mengatakan, enam perusahaan tersebut juga terdaftar dalam LKPP, sehingga pengadaannya bersifat transparan.
Dalam kesempatan itu, ia juga menegaskan laptop pelajar ini berbeda dengan laptop Merah Putih. Saat ini, laptop Merah Putih dengan merek Dikti Edu itu tengah dikembangkan oleh konsorsium terdiri dari ITB, ITS, dan UGM bekerja sama dengan industri TIK dalam negeri.
“Sekarang pengembangan tahap pertama, informasi yang kami terima ditargetkan 2021 ini ada sekitar 10 ribu produk yang dikembangkan,” ujarnya. [WIS]