Koran Sulindo – Dua puluh tahun dari sekarang, bagaimanakah Joko Widodo dikenang sejarah? Akankah Jokowi diabadikan dalam barisan presiden dunia abad 21 yang berhasil?
Pertanyaan inilah yang mampir di kepala saya menyambut penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 30 Juni 2019 kemarin. Setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK), berlanjut dengan penetapan KPU, sah sudah menyatakan selamat datang kepada Jokowi-Ma’ruf Amin, selaku Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 2019-2024.
Segera saya teringat dua puncak. Pertama, harapan publik yang direkam survei LSI Denny JA. Survei dilakukan sebulan sebelum hari pencoblosan, Maret 2019.
Mayoritas publik, di atas 80 persen, menginginkan pemilu presiden berakhir dengan terbentuknya pemerintahan yang kuat. Tiga hal yang diinginkan terhadap pemerintah yang kuat. Ia menumbuhkan kesejahteraan ekonomi. Ia menyatukan kembali masyarakat yang sempat terbelah. Dan Ia melindungi keberagaman.
Kedua proyeksi yang dibuat oleh lembaga internasional: PricewaterhouseCoopers (PwC). Lembaga ini membuat proyeksi untuk dunia di tahun 2050. Akan ada 32 negara di dunia yang total kekuatan ekonominya mencapai 85 persen ekonomi dunia.
PwC memproyeksikan 10 negara yang ekonominya (GDP) paling kuat di dunia tahun 2050. Rangking 1 sampai 3 adalah Cina, India dan Amerika Serikat. Tak diduga, untuk rangking ke 4, lembaga kredibel ini meletakkan Indonesia di sana. Wow!!! indonesia diproyeksikan lembaga PwC menjadi negara keempat terkuat di dunia secara ekonomi!
Itulah dua puncak yang menanti Jokowi di tahun 2019-2024. Sanggupkah Jokowi?
-000-
Sebelum mendaki tangga menuju dua puncak itu, Jokowi harus melewati dulu beberapa lubang yang menganga.
Ada lubang residu dari kompetisi pemilu presiden yang sudah usai. Apa daya, publik semakin terbelah berdasarkan paham agama. Jokowi unggul sangat telak di provinsi yang didominasi kaum minoritas agama, seperti di Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT), Papua, Sulawesi Utara. Jokowi juga unggul telak di hati Warga Nahdlatul Ulama (NU) di JaWa Timur. Lebih telak lagi Jokowi unggul di kalangan Islam abangan di Jawa Tengah.
Tapi sebaliknya, Jokowi kalah telak pula di provinsi dengan corak yang berbeda. Jokowi semakin kalah dibandingkan pemilu 2014, di Aceh, Sumatera Barat, Riau, Jawa Barat dan Banten. Untuk provinsi yang banyak pengikut FPI, HTI dan paham Islam yang mirip dengan dua ormas itu, Jokowi umumnya kalah telak.
Distrust atas lembaga pemerintahan bahkan lembaga sosial juga terasa. Kepercayaan publik pada KPU, media konvensional, POLRI, bahkan Presiden juga menjadi bagian kampanye. Padahal tak ada negara yang kuat tanpa trust yang juga kokoh pada lembaga pemerintahan.
Ada pula lubang akibat persaingan gagasan. Kompetisi “mimpi tentang Indonesia” yang belum selesai. Pemilu presiden di negara yang belum terkonsolidasi, juga menjadi pertarungan ideologi. Atau jika ideologi kurang tepat untuk sentimen itu, katakanlah: pertarungan soal mimpi Indonesia.
Akankah Indonesia tumbuh menjadi negara demokrasi seperti di dunia barat? Ataukah Indonesia perlu mengembangkan demokrasinya sendiri? Bagaimana jika Indonesia diperjuangkan menjadi NKRI Bersyariah? Bagaimana jika kembali ke UUD 45, dimana militer lebih punya peran sosial politik?
Demokrasi di Indonesia belum menjadi “the only game in town.” Pertarungan mimpi soal Indonesia lumayan akan banyak mendistorsikan pemerintahan baru dari aneka program utama soal kesejahteraan ekonomi.
Ada pula lubang akibat lahirnya barisan sakit hati. Datangnya pemerintahan Jokowi yang baru nanti tak bisa mengakomodasi semua pihak walau mereka kuat. Tetap ada kekuatan dalam lingkaran Prabowo yang tetap menjadi “Jokowi Haters,” apapun yang nanti ditempuh Prabowo. Bahkan aka ada pula Barisan Sakit Hati di kubu Jokowi yang ternyata tak mendapatkan “kue seperti yang diharap.”
Barisan sakit hati ini selalu mungkin datang dari kelompok yang sangat strategis dari sisi basis finansial, politik ataupun sosial.
Tiga lubang ini dapat segera merapat dan normal kembali. Namun jika salah ditata, lubang itu dapat melebar menjadi jurang yang lebih menganga. Momen Jokowi menuju dua puncak semakin terhalang.
Tiga lubang itu lebih mudah diatasi Jokowi menjelma menjadi pemerintahan yang sangat kuat.
-000-
Saat ini, posisi Jokowi sudah separuh kuat. Legitimasi rakyat cukup kokoh karena ia menang telak dua margin, di atas 10 persen. Koalisi partai yang sejak awal mendukungnya juga sudah kuat, karena menang kursi legislatif DPR mayoritas, sekitar 60 persen.
Kekuatan Jokowi yang sudah separuh akan menjadi penuh, jika ditambah dua kekuatan ekstra. Pertama, terbentuknya kabinet dengan kualitas “the dream team.” Di samping memang Jokowi perlu mengakomodasi menteri dari partai pendukung, Jokowi perlu profesional yang memang handal di kabinetnya.
The Dream Team itulah 60 persen yang kelak menentukan keberhasilan pemerintahan Jokowi. Carilah putra putri terbaik di kabinet nanti, yang memang sudah mumpuni di bidangnya. Jangan pertaruhkan negara di tangan para petualang yang baru satu tahun di pemerintahan tapi dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Atau baru dua tiga kali membuat pernyataan publik tapi terasa minim kapasitasnya.
Jokowi juga memerlukan semacam think-thank sekaligus operator politik di level civil society. Think-thank ini menjadi tambahan mata Jokowi untuk melihat dari sisi masyarakat apa yang tak dilihat oleh pemerintah. Sementara operator politik menjadi tambahan kaki dan tangan Jokowi untuk membereskan apa yang tak dapat dibereskan oleh mesin pemerintahan.
Think-thank ini disamping memang mengerti public policy namun juga memahami liku liku negara demokrasi modern dan marketing politik zaman now.
Selamat untuk Jokowi menjalani periode kedua. Semoga sampai di dua puncak itu. [Denny JA; Tulisan ini disalin dari akun Facebook,@DennyJAWorld]