Koran Sulindo – Instruksi Menteri Dalam Negeri nomor 6 tahun 2020 tentang penegakan protokol kesehatan tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk memberhentikan setiap kepala daerah.
Sebab, instruksi Mendagri terkait pengendalian penyebaran virus corona tersebut bukan produk hukum yang berisi perangkat norma atau yang mempunyai sifat memaksa.
“Pada hakikatnya, suatu instruksi merupakan perintah atau arahan untuk melakukan suatu pekerjaan atau tugas atau petunjuk dari atasan kepada bawahan jika dalam sebuah lingkungan instansi atau jabatan,” kata pakar hukum tata negara Universitas Muslim Indonesia Makassar Fahri Bachmid, Jumat (20/11).
Dengan demikian, secara teoritis beleid atau Instruksi itu bukan merupakan produk yang bersifat hukum yang pada dasarnya memuat perangkat norma dan kaidah. Dalam teori perundang-undangan, kata Fahri, instruksi tidak berada dalam struktur dan hirarkis peraturan perundang-undangan, dan jika mengacu pada UU nomor 14/2019 tentang Perubahan atas UU nomor 12/2011 tentang pembentukan peraturan perundang undangan, khususnya ketentuan pasal 7 ayat (1) menyebutkan jenis dan hirarki peraturan perundang undangan terdiri dari : a. UUD NRI tahun 1945; b. Ketetapan MPR; c. UU/Perpu; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Perda Provinsi; g. Perda kab/kota.
Dengan begitu, kata Fahri, Beleid selain dari jenis perundang undangan seperti yang diatur oleh UU PPP adalah bukan bersifat regeling yang dapat mengatur sanksi ataupun larangan terhadap sesuatu.
“Terkait dengan materi muatan instruksi sepanjang berkaitan dengan sanksi pemberhentian kepala daerah yang diangap serta dapat dikualifisir melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, khususnya UU Nomor 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, UU RI Nomor 4/1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan serta berbagai peraturan derifatif dari UU tentang Kekarantinaan Kesehatan adalah kurang proporsional serta cenderung eksesif,” ungkap Fahri.
Fahri melanjutkan, ada semacam surplus kebijakan yang pada akhirnya instruksi tersebut sulit dan tidak dapat di eksekusi karena tidak sejalan dengan prinsip hukum itu sendiri. Menurut Fahri, jika dilihat dari optik hukum tata negara, proses pengisian kepala daerah dilakukan melalui mekanisme demokrasi dengan mengedepankan prinsip daulat rakyat maka secara teoritik proses pemberhentian kepala daerah tentunya melalui mekanisme yang melibatkan rakyat yaitu lembaga perwakilan.
Secara khusus, kata Fahri, prosedur pemberhentian kepala daerah telah diatur sedemikian rupa dalam UU RI Nomor 23/2014 khususnya ketentuan norma Pasal 79 sampai dengan Pasal 82 terkait Pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah.
“Secara teknis yuridis, konstruksi pranata pemakzulan kepala daerah yaitu melalui pintu DPRD setempat dan kemudian diajukan kepada Mahkamah Agung untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPRD, apakah kepala daerah atau wakil kepela daerah itu dinyatakan melanggar sumpah atau janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban, atau MA memeriksa dugaan pelanggarannya menurut hukum,” ucap Fahri.
Untuk itu, Fahri menegaskan, secara konstitusional tindakan pemberhentian kepala daerah hanya dapat dilakukan dengan alasan hukum berdasarkan putusan MA, serta prosudur yang ketat berkaitan dengan proses pemakzulan kepala daerah sebagaimana telah diatur dalam UU Pemerintahan Daerah.
Pemberhentian seorang kepala daerah harus pure berdasarkan postulat-postulat hukum, dan tidak bisa secara politis, lanjut dia, karena itu sangat bertentangan dengan prinsip negara demokrasi konstitusional dan negara hukum yang demokratis.
Fahri melihat UU Nlnomor 23/2014 cukup jelas mengatur kebutuhan hukum terkait hal yang demikian sehingga tidak perlu difasilitasi dengan instrumen atau beleeid berupa instruksi, sebab nantinya akan berpotensi menimbulkan berbagai prasangka serta tafsir yang berbeda-beda di tengah masyarakat, yang pada ahirnya menguras energi bangsa ini dengan ragam perdebatan yang destruktif.
“Sehingga saya berpendapat bahwa Instruksi Mendagri bukan merupakan suatu instrumen serta fasilitas hukum yang memadai untuk melakukan tindakan pemberhentian kepala daerah, karena materi muatan hukum mengenai pemberhentian kepala daerah adalah materi UU, bukan materi kebijakan teknis yang derajatnya di bawah UU,” pungkas Fahri. [WIS]