Koran Sulindo – Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus, menilai aneh sikap DPR yang memprotes pencekalan terhadap Setya Novanto oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurutnya, dengan sikap tersebut, DPR justru menampilkan wajahnya yang tidak ramah dengan penegakan hukum yang dilakukan KPK.
“DPR sebagai lembaga tak seharusnya bergantung pada seorang ketua. Jadi tak benar jika pencekalan Novanto mengganggu kinerja DPR sebagai lembaga,” kata Lucius melalui pesan singkat, Rabu (12/4).
Lucius mempertanyakan DPR yang reaktif terhadap pencekalan Setnov.
“Di saat bersamaan bisu terhadap kekerasan yang dialami oleh salah seorang penyidik KPK, Novel Baswedan,” katanya.
Alasan DPR tersebut tidak relevan bila jabatan Novanto selaku pimpinan membuatnya sangat dibutuhkan oleh DPR. Padahal, prinsip semua orang sama di hadapan hukum (equality before the law), mestinya tidak mengenal apa jabatan seseorang.
Sebaliknya kasus korupsi yang menimpa sejumlah anggota DPR mestinya yang paling mengganggu kinerja DPR. Terlebih, upaya KPK melakukan penegakan hukum termasuk mencekal Novanto, mestinya dibaca sebagai upaya untuk mendorong kinerja DPR agar semakin bersih dari perilaku korupsi.
“DPR seharusnya mendukung upaya KPK. Sudah cukup sering upaya pelemahan KPK yang berembus dari Senayan,” terangnya.
Menurut Lucius, langkah protes DPR yang disampaikan Fahri Hamzah atas pencekalan Novanto lebih memperlihatkan semangat DPR yang tidak sepenuh hati mendukung KPK dalam pemberantasan korupsi.
“Alasan bahwa Setnov harus menghadiri pertemuan penting di luar negeri sama sekali tak mendesak diajukan sebagai dasar DPR memprotes pencekalan Novanto. Pemberantasan korupsi di dalam negeri jelas lebih penting ketimbang menghadiri acara yang lebih bernuansa seremoni di luar negeri,” papar Lucius.
Karenanya, Lucius menilai kelihatan sekali langkah protes DPR ini lebih karena merasa tak berdaya di hadapan KPK. Kenyataan bahwa karena kasus korupsi mereka terlalu lemah di depan KPK, membuat DPR perlu menyuarakan protes terhadap KPK melalui Presiden.
“Presiden tak perlu merespons protes DPR, apalagi merasa terganggu. Dia harus membuktikan dukungan pada pemberantasan korupsi dengan menyingkirkan upaya intervensi politik dalam penegakan hukum,” kata Lucius. [CHA]