Ilustrasi: Presiden Joko Widodo berdiri di dek KRI Imam Bonjol/Setpres - Krishadiyanto

Koran Sulindo – Di tengah sengketa Laut Cina Selatan serta penenggelaman dan peledakan kapal ikan asing di perairan Indonesia, narasi-narasi nasionalisme menguat terutama di media nasional tiga tahun terakhir ini.

Penangkapan ikan secara ilegal, terjadi di banyak tempat di teritorial laut Indonesia, kebanyakan dikaitkan dengan Laut Cina Selatan. Dalam peliputan media selama pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo ada penekanan terhadap kedaulatan “kita” dan masa depan bangsa “kita”. Sejumlah media nasional—Kompas, The Jakarta Post, Jakarta Globe, CNN Indonesia, dan BBC Indonesia—telah menunjukkan pergerseran topik dalam peliputan Laut Cina Selatan.

Dari Hukum ke Pertahanan

Studi saya baru-baru ini menemukan bahwa isu Laut Cina Selatan tadinya dipotret sebagai topik politik dan hukum (45,8%). Lalu beberapa insiden perbatasan terjadi pada 2016 dan peliputan dominan bergeser menjadi topik pertahanan (48,4%).

Perubahan lain yang menonjol adalah meningkatnya pernyataan dan informasi tambahan menyangkut isu ini dari pihak militer. Persentasenya bertambah dari 10,9% pada tahun pertama menjadi 15,06% pada tahun kedua. Jenderal Gatot Nurmantyo, kala menjabat Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI), adalah narasumber paling dominan dalam berita-berita di media tersebut.

Pada 29 Oktober 2017, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dan Satuan Tugas Pemberantasan Illegal Fishing (Satgas 115) menenggelamkan 17 kapal asing. Sepuluh di antaranya ditenggelamkan di perairan Natuna. Dalam sebuah berita, Menteri Susi menyatakan penenggelaman adalah bukti dari dedikasi “kami” terhadap masa depan bangsa. Pada hari yang sama, Susi juga menekankan pentingnya bagi Indonesia memperkuat sistem pertahanan kelautan negara.

Beberapa hari sebelumnya, The Jakarta Post menerbitkan kisah sukses Kerajaan Sriwijaya di masa lalu. Advertorial ini adalah bagian dari kampanye Jalur Rempah, yang menggunakan ingatan tentang masa keemasan ketika bangsa Indonesia jaya di laut.

Advertorial ini menghubungkan kalimat pertama dengan lagu rakyat “Nenek Moyangku Orang Pelaut”. Artikel ini berargumen bahwa Indonesia telah kehilangan kejayaan lautnya sejak keruntuhan Kerajaan Sriwijaya. The Jakarta Post, salah satu mitra media dari Jalur Rempah, menghubungkan kisah Sriwijaya dengan pentingnya melindungi kedaulatan maritim. Dia juga mengesankan kebijakan tegas kementerian adalah demi memperkuat identitas Indonesia sebagai negara maritim.

Wacana Nasionalisme Meningkat di Bawah Jokowi

Wacana nasionalisme juga semakin kerap muncul pada tahun pertama pemerintahan Jokowi. Artikel-artikel Kompas kerap menggunakan kata-kata seperti “hegemoni” dan “kolonialisme maritim”. Pilihan kata tentu mengungkapkan interpretasi dan maksud sang penulis.

Contohnya, jurnalis senior Kompas, Rene L. Pattiradjawane, menulis artikel opini “Diplomasi Maritim Konsesi Asia” pada 2015 dan menyinggung soal “diplomasi kapal perang” dan menghubungkan topik ini dengan kolonialisme maritim.

Memang wacana nasionalisme digunakan untuk menantang kolonialisme dan menuntut Indonesia agar lebih diakui statusnya dan kekuatannya di dunia internasional.

Sebuah buku yang membahas mengenai semangat nasionalisme di media, Global Media Spectacle: News War over Hong Kong mengungkapkan peliputan media dirancang dalam waktu dan ruang tertentu dalam kerangka bahwa suatu bangsa adalah perpanjangan dari keluarga.

Wacana keluarga-bangsa dijahit dalam wacana media dalam satu konfigurasi topik yang khusus. Ruud Koopmans dari Humboldt University di Berlin dan Paul Statham dari University of Sussex mengatakan komponen peliputan yang berkait “kita” dan “mereka” juga menonjol dalam pembelaannya atas kedaulatan sebagai ekspresi nasionalisme warga. Nasionalisme, pada intinya, adalah kesadaran dan ekspresi dari rasa memiliki sebagai bangsa.

Meski kapal asing dari berbagai negara menangkap ikan secara ilegal, isunya secara dominan dibungkus menjadi isu pertahanan dengan negara Cina sebagai pemain utama. Di titik ini, Cina dilihat baik sebagai ancaman keamanan terbesar bagi Indonesia sekaligus mitra dagang terbesar.

Dalam kasus lain, untuk merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia pada 2016, 60 kapal disita dan ditenggelamkan di delapan lokasi. Namun peliputannya dikait-kaitkan dengan Cina. Menteri Susi mengatakan sikap keras berkait penangkapan ikan secara ilegal adalah bagian dari upayanya menunjukkan kepada negara tetangga bahwa Indonesia menguasai wilayahnya yang luas. Satu paragraf bahkan hanya menyebut Cina saat merujuk kepada negara tetangga.

Simbolisme nasionalis di balik Laut Natuna juga tampak dari keinginan untuk mengubah bagian barat daya Laut Cina Selatan menjadi Laut Natuna Utara. Pada 1963, Presiden Sukarno juga menggunakan alasan nasionalisme saat mengubah nama Papua Nugini Barat menjadi Irian dan Borneo menjadi Kalimantan.

Pendekatan nasionalisme di media-media berbasis di Jakarta telah meningkat dalam rangka membahas isu penangkapan ikan secara ilegal di Kepulauan Natuna. Masalah ini dibingkai dalam isu ketegangan di Laut Cina Selatan. Posisi ini, sebagai upaya nasional, tampak jelas dari aksi-aksi memberantas penangkapan ikan ilegal.

Maka perlu direnungkan apakah nasionalisme akan mendorong skenario lebih buruk bagi stabilitas kawasan. Ketika level nasionalisme yang diembus-embuskan di media telah mencapai kondisi yang terlalu bersemangat, Indonesia tidak akan mau melihat situasi ini mempengaruhi reputasi Indonesia sebagai mediator tulus di kawasan. [Lupita Wijaya; pengajar di Universitas Multimedia Nusantara Jakarta]. Tulisan disalin dari The Conversation Indonesia, di bawah lisensi Creative Commons.