Pemerintah berencana akan memberi izin baru bagi penambangan pasir laut di beberapa lokasi di Indonesia termasuk untuk keperluan ekspor. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memastikan dokumen rencana dari aturan turunan ekspor pasir laut bakal rampung Maret tahun ini.
Keuntungan besar dari usaha tambang pasir laut mengundang minat dari para pebisnis. Meski kran ekspor pasir laut belum dibuka, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengklaim sudah ada 66 perusahaan yang mengajukan izin pengelolaan tambang pasir laut hasil sedimentasi.
“Ada 66 perusahaan yang sudah mendaftar itu sedang kita teliti semua aspek kita lihat, tapi kita belum bicara soal ekspor,” kata Sekretaris Dirjen Pengelolaan dan Ruang Laut KKP, Kusdianto, Selasa (30/7).
Penambangan pasir dilegalkan di Indonesia melalui program pembersihan hasil sedimentasi laut pada lokasi yang ditentukan. Penentuan lokasi pengelolaan sedimentasi laut ini merupakan amanat dari Peraturan Pemerintah No. 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Sudah ada tujuh lokasi yang ditetapkan pemerintah diantaranya laut Kabupaten Demak, Kota Surabaya, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Karawang, perairan sekitar Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Balikpapan, serta perairan di sekitar Pulau Karimun, Pulau Lingga, dan Pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau.
Pada tujuh lokasi tersebut, pemerintah memberikan izin kepada pelaku usaha guna memanfaatkan hasil sedimentasi yang ada.
Dari pemanfaatan sedimentasi hasil laut terutama penambangan pasir laut pemerintah akan mengenakan tarif sebesar 30-35 persen dari harga pokok penjualan (HPP) yang akan masuk dalam pos penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Ancaman kerusakan lingkungan
Rencana pemerintah memberi izin penambangan pasir untuk ekspor tentu akan memperluas dampaknya terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat terutama wilayah pesisir.
Ekosistem pesisir memiliki peranan yang sangat penting untuk melindungi ekosistem laut dan melindungi sumber daya di dalamnya. Wilayah pesisir selain kaya dengan sumberdaya juga menjadi habitat dari terumbu karang, manggrove dan biota laut lainnya. Peningkatan aktivitas manusia di daerah pesisir termasuk penambangan pasir dikhawatirkan akan membawa dampak negatif.
Penambangan pasir laut di Indonesia secara historis dimulai pada akhir 1970-an. Semula, pasir laut di Kepulauan Riau digunakan untuk mencegah pendangkalan laut. Namun, seiring potensi ekonominya, pasir laut kemudian diekspor untuk memenuhi kebutuhan Singapura. Survei menunjukkan bahwa Singapura telah menggunakan sekitar 300 juta meter kubik pasir dari Indonesia untuk memperluas daratannya.
Karena besarnya dampak lingkungan, kemudian pemerintah mengeluarkan aturan hukum mengenai penambangan hasil laut. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016, penambangan pasir laut hanya dapat dilakukan dengan menggunakan alat tradisional dan tidak diperbolehkan menggunakan alat berat seperti excavator dan suction pump.
Belakangan, pemerintah mengubah aturan dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Ada beberapa muatan baru dalam PP 26/2023 ini yaitu penggunaan alat hisap untuk menambang pasir dan dibolehkannya penambangan pasir untuk tujuan ekspor dengan syarat tertentu. Adapun material yang diperkenankan ditambang dapat berupa pasir dan lumpur.
Terbitnya PP 26/2023 mendapat kritik dari masyarakat pesisir dan pemerhati lingkungan di Indonesia. Dalam pernyataanya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyebut penerbitan PP ini merupakan langkah mundur jauh ke belakang dalam konteks perlindungan dan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut Indonesia, termasuk perlindungan wilayah tangkap nelayan yang merupakan produsen pangan laut utama di Indonesia.
Peraturan tersebut dinilai menjadi ancaman bagi lingkungan dan memperparah krisis iklim. Berdasarkan pemaparan Walhi, tambang pasir laut berdampak buruk, diantaranya di Kepulauan Seribu, telah ada 6 pulau kecil tenggelam akibat ditambang untuk kepentingan reklamasi di Teluk Jakarta. Di Pulau Kodingareng, Sulawesi Selatan, tambang pasir laut telah mengakibatkan telah membuat air laut menjadi keruh.
Penambangan pasir laut juga berdampak pada kehidupan nelayan yaitu ombak semakin meninggi akibat sedimen yang menahan arus bawah air tergerus. Perubahan arus ombak di sekitaran perairan yang telah ditambang telah menimbulkan kecelakaan sesama nelayan dan juga menenggelamkan perahu milik nelayan yang sedang melaut. Bahkan akibat berkurangnya populasi ikan di pesisir menyebabkan nelayan meninggalkan kampung halaman beserta keluarganya untuk menyambung hidup.
Keuntungan bisnis vs kepentingan rakyat
Penambangan pasir dengan dalih pengelolaan sedimentasi air laut memang memiliki keuntungan ekonomi bagi pelaku bisnis dan pemerintah. Namun seharusnya jangan sampai menimbulkan kerugian bagi rakyat dan kehancuran lingkungan.
Potensi kerusakan kedepannya akan semakin besar, apalagi pemerintah berencana memperluas reklamasi di seluruh Indonesia guna membangun kawasan bisnis baru. Sampai dengan tahun 2040, pemerintah telah merencanakan proyek reklamasi seluas 3,5–4 juta hektar.
Berdasarkan hitungan Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tahun 2021, dibutuhkan sebanyak 1.870.831.201 meter kubik pasir untuk proyek reklamasi di sembilan wilayah, di antaranya reklamasi di Tuban, Jawa Timur dan reklamasi di Kabupaten Batubara, Sumatera Utara.
Selain untuk reklamasi di dalam negeri, pembukaan izin ekspor hasil tambang pasir juga angin segar bagi Singapura guna memperluas wilayahnya. Saat ini, Pemerintah Singapura tengah merencanakan dan merancang fase ketiga dari mega proyek Pelabuhan Tuas, dengan pekerjaan reklamasi diharapkan akan selesai pada pertengahan 2030-an.
Sebagai catatan, sejak tahun 1965 hingga tahun 2017 Singapura telah memperluas daratannya lebih dari 20 persen yang sebagian besar perluasan lahannya berasal dari tambang pasir di Indonesia.
Pemasukan negara dari penambangan pasir laut memang cukup besar, namun tetap tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan dan kerugian nelayan di pesisir. Adapun besaran penerimaan negara (PNBP) untuk pemanfaatan pasir laut dalam negeri adalah 30 persen dari nilai harga HPP pasir laut yang dikalikan volume pengambilan pasir laut, serta 35 persen dari nilai HPP yang dikalikan volume pasir laut yang dikeruk.
Berdasar Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 6 Tahun 2024, HPP pasir laut untuk dalam negeri dipatok Rp93.000 per meter kubik, sedangkan HPP untuk pemanfaatan di luar negeri ditetapkan Rp186.000 per meter kubik . Artinya setiap 1 juta meter kubik pasir laut yang dikeruk, pemerintah akan mendapatkan pemasukan sebesar Rp27,9 miliar jika diperuntukkan di dalam negeri.
Namun ternyata biaya pemulihan lingkungan akibat penambangan pasir jauh lebih besar lagi. Diperkirakan biaya pemulihan lingkungan bisa sampai lima kali lipat dari nilai pasir yang ditambang.
Di samping kerugian lingkungan, penambangan pasir juga mengancam keberlanjutan hidup masyarakat pesisir yang identitas budaya serta mata pencahariannya bergantung pada penangkapan ikan skala kecil. [PAR]