Pemulihan Ekonomi Belum Solid

Krisis ekonomi karena Covid-19/Blue Swan Daily

Koran Sulindo – Pemulihan ekonomi pada kuartal ketiga ini tampaknya belum begitu kuat. Beberapa indikator ekonomi pada bulan pertama kuartal ketiga atau bulan Juli menunjukkan kondisi yang malah lebih buruk dibandingkan pada Juni atau bulan terakhir kuartal kedua. Karena itu butuh perjuangan yang ekstra agar pertumbuhan ekonomi pada kuartal ketiga 2020 ini kembali ke zona positif sehingga tidak terjadi resesi ekonomi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengugkapkan beberapa indikator penerimaan pajak pada Juli lalu menunjukkan pemulihan ekonomi yang semula diperkirakan mulai terjadi pada Juli, ternyata justru terjadi sebaliknya.

PPh 21 (PPh untuk karyawan)  ada bulan Juni 2020 mengalami pertumbuhan positif sebesar 12,28% dibandingkan Mei 2020 (MtM). Itu merupakan receovery yang luar biasa dibandingkan bulan Mei yang terkontraksi sebesar 28,38% (MtM).

“Namun pada bulan Juli kembali mengalami kontraksi jadi minus 20,38%. Ini adalah suatu hal yang sangat harus kita waspadai karena berarti terjadi pembalikan tren pada bulan Juli pada pajak karyawan,” ujar Sri Mulyani di Jakarta pada akhir Agustus lalu.

PPh Badan bahkan masih konsisten tumbuh di zona minus dengan tren kontraksi yang terus membesar. Memang kondisi ini juga terjadi karena adanya kebijakan diskson PPh Badan untuk korporasi sebesar 30% dan saat ini meningkat menjadi 50%.

Namun, diakui juga oleh Sri Mulyani bahwa  pembayaran PPh Badan mengalami tekanan yang luar biasa yaitu pada bulan Juni sudah mulai agak membaik dengan kontraksi sebesar 38,12% dari sebelumnya pada Mei terkontraksi sebesar 53,9%. Tetapi pada Juli 2020, kontraksinya malah kembali membesar yaitu sebesar 45,55%.

Tren yang sama juga terjadi pada penerimaan PPh 26, dimana pada Juli lalu minus 57,68%. Padahal pada Juni sudah tumbuh positif sebesar 17,61% dari sebelumnya pada Mei tumbuh minus 19,69%.

Tren yang cukup baik terjadi pada penerimaan pajak PPN Dalam Negeri. Meski masih mengalami kontraksi sebesar 5,1% pada Juli lalu, tetapi lebih baik dibandingkan pada Juni yang kontraksinya sebesar 27,38% dan pada Mei terkontraksi sebesar 35,51%.

“Ini hal yang baik namun tetap kita mencoba supaya tren pembaikan ini tidak terjadi lagi pembalikan seperti yang terjadi di indikator seperti PPh Badan maupun PPh 21 karyawan,” ujar Sri Mulyani.

Peta yang kurang lebih sama juga terlihat bila melihat pajak dari sisi sektoral. Industri pengolahan masih konsisten tumbuh negatif meski tren negatifnya berkurang. Pada Juli lalu penerimaan pajak dari sektor industri pengolahan masih minus sebesar 28,91%, lebih baik dibandingkan Juni dan Mei yang masing-masing minus 36,18% dan 45,15%.

Kondisi yang memprihatikankan terjadi di sektor perdagangan. Meski sudah ada relaksasi PSBB, tetapi sektor ini belum terlihat pembaikan dari sisi penerimaan pajak. Kontraksi penerimaan pajak sektor perdagangan pada bulan Juli sebesar 27,34%, lebih dalam dibandingkan kontraksi pada Juni yaitu 19,83%.

Meski demikian, kondisinya sudah membaik dibandingkan Mei yang terkontraksi sangat dalam yaitu sebesar 40,66%. “Tetapi, artinya dalam hal ini kegiatan perdagangan di bulan Juli ternyata tidak pulih secara cukup stabil dan bertahan seperti yang kita harapkan. Tadinya kita mengharapkan bulan Juli ini adalah lebih baik dibandingkan Juni, ternyata tidak. Jadi ini harus kita waspadai dari sisi kegiatan perdagangan,” ujar Sri Mulyani.

Penerimaan pajak dari sektor konstruksi juga memperlihatkan ketidakkonsistenan pembaikan. Pada Juni kontraksinya sebesar 15,56% lebih baik dibanding Mei yang mengalami kontraksi sebesar 29,63%. Tetapi di bulan Juli justru kontraksinya lebih buruk dibanding Juni yaitu sebesar 18,42%. Penerimaan pajak dari sektor pertambangan masih konsisten tumbuh negatif yaitu sebesar 44,8% pada Juli 2020 dan 41,81% pada Juni 2020.

Jasa keuangan yang konsisten membaik yaitu pada Mei lalu penerimaan pajaknya turun 32,41%, pada Juni hanya turun 11,18% dan Juli masih kontraksi tetapi makin mengecil yaitu 6,89%.

Sebalinya sektor transportasi dan pergudangan pada Juni lalu penerimaan pajaknya sudah tumbuh positif sebesar 9,63% dari minus 23,75% pada Mei, malah pada Juli kembali masuk ke zona negatif sebesar 20,93%.

Sri Mulyani menyatakan peta penerimaan pajak ini menunjukkan ekonomi Indonesia pada Juli atau bulan pertama kuartal ketiga masih sangat rapuh dan bahkan bisa terjadi pembalikan kembali ke zona negatif.

Karena itu, Sri Mulyani mengatakan agar ekonomi Indonesia bisa kembali tumbuh di zona netaral alias 0% dibutuhkan perjuangan yang luar biasa berat. “Karena beberapa kegiatan masyarakat dan ekonomi ternyata tidak mengalami akselerasi yang cepat pada bulan Juli yang lalu,” ujarnya.

Selain indikator penerimaan pajak, beberapa indikator sosial juga menunjukkan bahwa Indonesia belum bisa bernafas lega memasuki kuartal ketiga 2020. Mobilitas masyarakat memang sudah menunjukkan adanya  tren pemulihan. Namun belum pada level yang normal. Tempat perdagangan retail dan rekreasi  sudah mulai ada mobilitas masyarakat. Demikian juga tempat belanja kebutuhan sehari-hari sudah kembali dikunjungi masyarakat. Bahkan taman pun juga sudah mulai dikunjungi walaupun belum sampai kembali ke level normal.

Kegiatan work form home juga sudah mulai berkurang. Artinya masyarakat sudah kembali memulai aktivitas di luar rumah dan mulai kembali ke tempat kerja.

“Artinya pemulihan ini berjalan secara berahap, tentu disesuikan dengan kondisi ancaman Covid-19. Dan ini adalah mungkin yang paling sulit karena ancaman Covid-19 selama ini dari sisi bagaimana menangani penyebarannya luar biasa sangat sulit diprediksi,” ujar Sri Mulyani.

Beberapa negara sudah mengalami second wave kasus Covid-19, seperti Korea dan Australia. Tetapi Indonesia masih belum mencapai puncak untuk gelombang pertama.”Semoga tidak terjadi seceond wave,” ujarnya.

Berakhir di Zona Negatif
Melihat tren perkembangan kasus Covid-19 yang masih terus naik di Indonesia, dan berbagai indikator ekonomi menunjukkan belum adanya pemulihan yang solid, pemerintah memperkirakan pada tahun ini pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berakhir di zona negatif. “Outlook dari kami menggambarkan bahwa GDP kita di keseluruhan tahun di minus 1,1% hingga slightly positif 0,2%,” ujar Sri Mulyani.

Konsumsi masyarakat sebagai penopang terbesar ekonomi Indonesia dari sisi pengeluaran, masih belum kembali pulih. Bahkan Sri Mulyani mengatakan untuk kembali tumbuh ke level 0% hingga akhir tahun tidaklah mudah. Pada kuartal kedua lalu, konsumsi masyarakat mengalami kontraksi atau pertumbuhan negatif sebesar 5,51%.

“Diakui bahwa ini adalah sesuatu yang cukup berat karena di kuartal ketiga konsumsi, kita lihat masih belum menunjukkan pemulihan seperti yang kita harapkan dan kita masih memiliki waktu 1,5 bulan untuk kuartal ketiga ini,” ujarnya.

Konsumsi pemerintah sendiri, demikian Sri Mulyani, diharapkan kembali tumbuh di jalur positif pada pada kuartal ketiga dan keempat, setelah negatif sebesar 6,9% pada kuartal kedua lalu. Pertumbuhan yang positif pada konsumsi pemerintah terjadi karena berbagai belanja untuk stimulus ekonomi dan bantuan sosial eksekusinya digenjot pada kuartal ketiga dan keempat.

Sedangkan untuk Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atau investasi, tampaknya akan tumbuh negatif. Pada kuartal kedua lalu, PMTB tumbuh minus 8,61%. “Untuk kembalikan ke level mendekati 0% diperlukan suatu kerja keras untuk mengembalikan confidence dan kegiatan investasi,” ujarnya.

Ekspor dan impor juga diperkirakan hingga akhir tahun diprediksi berada di zona negatif. Pada kuartal kedua lalu, ekspor tumbuh minus sebesar 11,66%. Diperkirakan secara keseluruhan tahun ini minus 5,6% hingga minus 4,4%.

Sri Mulyani mengatakan agar pertumbuhan ekonomi Indonesia tak terlalu mengalami kontraksi yang dalam tahun ini, selain belanja pemerintah yang digenjot, juga yang tak kalah penting adalah konsumsi masyarakat dan investasi.  “Ini yang menjadi pusat perhatian kita pada kuartal ketiga dan keempat,” ujar Sri Mulyani. [Julian A]