Pemulihan Ekonomi Amerika Serikat Menekan Pergerakan IHSG

Ilustrasi/CNN Indonesia

Koran Sulindo – Ekonom sekaligus mantan Menteri Keuangan, Muhammad Chatib Basri mengigatkan pemulihan ekonomi Indonesia harus lebih cepat dibandigkan negara lain terutama Amerika Serikat (AS).  Sebab, bila yang terjadi sebaliknya yaitu ekonomi AS lebih dulu pulih, diperkirakan negara yang dijuluki Pam Sam itu akan melakukan menormalkan berbagai kebijakan ekonominya seperti kebijakan suku bunga yang mau tidak mau akan mempengaruhi Indonesia.

“Kalau Amerika itu recovery segera, mereka akan menormaliasi kebijakannya. Dan kalau itu terjadi, saya enggak tahu 2023 ia mulai menaikan interest rate, itu mau tidak mau rupiahnya akan kena, seperti yang terjadi sekarang,” ujar Chatib dalam webinar pada 25 Maret lalu.

Saat ini suku bunga acuan Fed Fund Rate (FRR) di AS berada di level rendah yaitu yaitu sebesar 0% hingga 0,25%. Walaupun hingga saat ini, bank sentral AS, The Fed, belum memberikan sinyal akan menaikan suku bunga FRR, tetapi spekulasi di pasar mereka akan akan menaikan suku bunganya. Spekulasi ini yang menyebabkan terjadinya arus modal keluar dari pasar modal termasuk pasar saham negara berkembang (emerging market) seperti Indonesia yang menyebabkan rupiah dan indeks saham mengalami tekanan.

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo pada konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur Maret lalu, mengakui adanya peningkatan ketidakpastian pasar keuangan global sebagai reaksi pasar atas stimulus fiskal di AS dan juga pemulihan ekonomi negara tersebut yang lebih cepat. Pemerintah AS menambah stimulus fiskal sebesar US$ 1,9 triliun yang berlaku sejak 17 Maret 2021. Kemudian ada rencana tambahan stimulus fiskal sebesar US$ 2 triliun pada Triwulan IV/2021.

Perry mengatakan reaksi pasar atas paket kebijakan fiskal yang lebih besar dan prospek pemulihan ekonomi yang lebih cepat di AS tersebut telah mendorong kenaikan yield US Treasury dan ketidakpastian pasar keuangan global. Perkembangan ini berpengaruh terhadap tertahannya aliran modal ke sebagian besar negara berkembang, dan berdampak pada kenaikan yield surat berharga dan tekanan terhadap mata uang di berbagai negara tersebut, termasuk Indonesia.

Perry mengatakan yield US Treasury naik dari semula 1,35% menjadi 1,67% dan terakhir berada di level 1,61%. Seiring dengan kenaikan yield US Treasury tersebut, mata uang di berbagai negara juga mengalami tekanan. Nilai Kurs Tengah Bank Indonesia pada 13 April 2021, rupiah berada di level 14.648 per dolar AS. Artinya, dari awal tahun dolar AS sudah menguat sebesar 3,85% terhadap rupiah (rupiah mengalami depresiasi atau pelemahan).

Pelemahan rupiah ini di antaranya terjadi karena adanya tekanan jual investor asing di pasar saham. Liza C Suryanata, Analis Henan Putihrai Sekuritas mengatakan investor asing melakukan aksi jual berkisar Rp 500 miliar hingga Rp 600 miliar per hari. Aksi jual asing inilah yang menyebabkan IHSG mengalami koreksi. Pada 13 April 2021, IHSG ditutup kembali ke level di bawah 6.000 yaitu 5.927,43. Dengan posisi ini, maka IHSG mengalami koreksi sebesar 0,82% dari awal tahun (year to date). Tetapi bila dihitung dari level tertingginya tahun ini, IHSG mengalami koreksi sebesar 7,81%. IHSG sudah pernah mencapai level 6.429,76 pada 20 Januari lalu.

Menurut Liza, aksi jual investor asing ini memang tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga negara emerging market lainnya yang terjadi karena investor melihat pasar AS kini lebih menarik dibandingkan pasar negara berkembang. “Mereka ada mega stimulus. Jadi, wajar saja kalau investor asing melarikan duitnya ke AS dulu,” ujar Liza pada 13April 2021.

Liza mengatakan dengan berbagai program sitimulus fiskal di AS, likuiditas di negara itu makin melimpah. Dus, investor global pun melihat adanya harapan perbaikan ekonomi negeri Pam Sam itu akan terjadi lebih cepat. “Akibatnya mereka lebih suka menempatkan dana mereka di sana,” ujarnya.

Sementara dari dalam negeri sendiri, tambah Liza, senetimen yang mempengaruhi pergerakan IHSG adalah adanya isu bahwa suplai vaksin yang menipis. Hal ini memicu kekhawatiran proses pemulihan ekonomi domestik akan berjalan lambat.

AS Naik
Hans Kwee, Direktur Ekuator Swarna Investama mengatakan pelaku pasar saat ini sedang menunggu data consumer price index (CPI) atau tingkat inflasi AS yang diperkirakan akan naik 0,5% secara bulanan atau 2,5% secara tahunan. “Tentu ini menimbulkan kekhawatiran pelaku pasar, karena kalau inflasinya sudah mencapai 2,5% dikhawatrikan yield obligasi AS bergerak naik lagi dari level 1,6%-an sekarang dan mungkin sekali bisa tembus level 2%-an,” ujar Hans pada 13 Apeil 2021.

Menurut pria yang juga pengajar di Universitas Atma Jaya Jakarta ini, bila yield obligasi AS mencapai level 2%, tentu ini akan menimbulkan tekanan di emerging market seperti Indonesia.

Selain menunggu data tingkat inflasi AS, menurut Hans, pelaku pasar juga menuggu data laba korporasi di negara itu. Menurutnya, laba perusahaan-perusahaan Amerika Serikat diperkirakan akan membaik 23% hingga 24%. Bila ekspektasi ini terjadi, maka ini mengkonfirmasi adanya pemulihan ekonomi AS. Saat ini, tambah Hans, memang ekspektasi akan pemulihan ekonomi AS sedang tinggi karena proses vaksinasi di negera tersebut sudah mencapai 75% walaupun baru untuk suntikan pertama.

“Inflasi AS yang terlalu tinggi dan vaksinasi di AS yang cepat juga dikhawatirkan akan menyebabkan Federal Reserve atau bank sentral Amerika Serikat segera melakukan tapering off,” ujar Hans.

Namun, dalam sebuah diskusi, Destry Damayanti, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia mengatakan The Fed diperkirakan tidak akan melakukan normalisasi kebijakan secara serentak. Belajar dari taper tantrum pada tahun 2013, dimana kebijakan The Fed melakukan pengurangan Quantitavive Easing (QE) menimbulkan kejutan (shock) di banyak negara bahkan di Amerika Serikat sendiri. “Jadi seandainya pun dia (The Fed) melakukan taper tantrum (tapering off) pasti akan dilakukan secara bertahap,” ujar Destry.

Terlepas dari sentimen negatif dari luar negeri, tahun ini merupakan tahun penuh harapan akan terjadinya pemulihan ekonomi Indonesia. Pemerintah sendiri memperkirakan ekonomi akan tumbuh sebesar 4% hingga 5% pada tahun ini. Seiring dengan itu, pasar saham pun diperkirakan akan pulih. [Julian A]