Pemuda Jenius Tunanetra Penemu Huruf Braille

Louis Braille

Anak jenius menghasilkan karya yang mencerdaskan. Dialah Louis Braille, yang menciptakan jenis huruf yang mempermudah para tunanetra membaca dan menerima informasi melalui sentuhan kulit. Bahkan, saat menciptakan huruf ini, Louis Braille hanyalah seorang pemuda yang baru berusia 15 tahun.

Huruf Braille kini digunakan oleh para penyandang tunanetra dengan sistem tulisan sentuh dan menggunakan kerangka penulisan seperti kartu domino. Matriks Braille – sebutan satuan dasar dari sistem tulisan ini – terdiri dari enam titik timbul di tiap matriks selnya, yang berisi dua titik mendatar dan tiga titik menurun.

Keenam titik tersebut disusun sedemikian rupa sehingga menciptakan 64 macam kombinasi yang dapat melambangkan abjad, tanda baca, angka, tanda musik, simbol matematika dan lainnya.

Hidup dari Keluarga Sederhana

Louis Braille lahir pada 4 Januari 1809 di Coupvray, Perancis, dalam keadaan sempurna tanpa cacat. Ia anak keempat dari Simon-Rene Braille dan Monique Braille. Ayahnya seorang pengrajin alat-alat berkuda dan bekerja di sebuah ruangan khusus di rumahnya.

Saat kecil, Braille senang bermain-main di tempat kerja ayahnya itu. Ketika berusia tiga tahun, Braille terjatuh saat bermain dengan perkakas milik ayahnya. Salah satu perkakas itu menancap tepat di mata kanan Braille.

Matanya pun buta sebelah. Kemalangan tak berhenti sampai disitu, Braille menderita sympathetic ophthalmia, yang membuat mata kirinya bernasib sama dengan mata kanannya. Di usianya yang kelima, Braille buta sepenuhnya.

Orangtua Braille tak menyerah. Mereka tetap ingin mendidik anak mereka di sekolah dan sang ayah memasukkannya ke sekolah dasar umum kala usianya mencukupi. Tapi karena kondisi matanya yang buta, Braille kesulitan belajar.

Di sekolah umum, Braille hanya belajar dengan mendengarkan penjelasan sang guru. Namun ketika kurikulum mewajibkan seluruh siswa membaca, ia tak bisa melakukannya dan akhirnya keluar dari sekolah.

Di usianya yang ke-10, keberuntungan akhirnya menyapa Braille. Anak tunanetra itu mendapat beasiswa untuk bersekolah di Royal Institution for Blind Youth, Paris yang didirikan oleh Valentin Hauy. Disana, Braille belajar cara membaca tulisan menggunakan metode yang dikembangkan sang pendiri sekolah. Namun karena metodenya susah dimengerti, Braille gagal dan tidak mampu mempelajari metode membaca itu.

Metode Night Writing, Pendahulu Braille

Pada tahun 1821, seorang mantan kapten artileri Perancis bernama Charles Barbier berkunjung ke sekolah. Barbier memperkenalkan “night writing,” suatu kode pengiriman pesan bagi orang lain dalam keadaan malam yang gelap gulita. Kode ini populer digunakan tentara tatkala perang di malam hari.

Dengan memanfaatkan titik-titik yang timbul di kertas, penerima pesan bisa memahami apa yang disampaikan. Night writing adalah metode yang terdiri dari matriks 12 titik, dengan dua titik mendatar dan enam titik menurun.

Tiap matriksnya tersusun atas kombinasi titik yang merepresentasikan bunyi. Ketika night writing dikenalkan pada Braille, anak kecil ini merasa menemukan jawaban atas keterbatasan yang menimpa orang-orang buta sepertinya.

Hanya saja, Braille menyadari beberapa kelemahan dalam metode ini. Salah satunya, night writing merupakan kode yang merepresentasikan bunyi, bukan huruf. Ini berakibat metode itu sulit diimplementasikan menjadi kode universal.

Kelemahan lain yang ia temukan, karena metode ini tersusun atas matriks 12 titik, susah bagi pembacanya merasakan seluruh titik dalam sekali sentuh. Akhirnya, di usianya yang ke-12, Braille bertekad memodifikasi night writing.

Huruf Braille pun Tercipta

Proses modifikasi itu memakan waktu selama tiga tahun. Akhirnya, Louis Braille, remaja berusia 15 tahun itu pun sukses menemukan hasil modifikasi tersebut yang di kemudian hari dikenal dengan nama Huruf Braille.

Matriks yang tadinya terdiri dari 12 titik diubah menjadi matriks 6 titik. Penyederhanaan ini dilakukan agar para pembaca dapat memahami setiap matriks hanya dalam sekali sentuhan.

Perbedaan lainnya adalah tiap matriks yang disusun merepresentasikan huruf-huruf di alfabet, bukan bunyi, sehingga dapat dipakai secara universal. Karena telah disederhanakan, sekarang ia dapat memuat 1.000 karakter kode Braille ke dalam kertas ukuran normal 11×11 inci.

Namun, pembuatan kode ini harus dilandaskan kehati-hatian. Ini karena matriks Braille tersusun atas dua titik mendatar dan 3 titik menurun, yang jarak titik mendatarnya tidak boleh lebih dari 4 milimeter. Lebih dari itu, pengguna akan sukar membaca huruf apa yang direpresentasikan.

Braille menjadi guru magang di Institut Nasional, Paris pada usia 19 tahun. Ia pun menerbitkan buku Method of Writing Words, Music, and Plain Songs by Means of Dots, for Use by the Blind and Arranged for Them (1829) di umurnya yang ke-20 untuk memudahkan masyarakat memahami temuannya. Buku ini dicetak dengan sistem aksara ciptaan Braille sekaligus buku pertama di dunia yang bertuliskan huruf Braille.

Saat usia Braille menginjak 25, pada tahun 1834, ia mendemonstrasikan hasil kerjanya kepada Raja Louis-Philippe. Ia berharap huruf ciptaannya dapat disebarluaskan untuk menolong orang-orang buta agar bisa berkomunikasi dan memperoleh informasi dengan mudah. Namun sayang, temuan Braille ini tak direstui sang raja. Ini membuat matriks enam titik temuannya hanya digunakan dalam kalangan terbatas yang mengenal metode ini.

Braille tidak patah semangat menyebarluaskan metode temuannya itu selama bertahun-tahun kemudian. Hanya saja, tuberkulosis memaksa Braille pensiun dari mengajar pada tahun 1850, sampai ia meninggal dua tahun kemudian akibat penyakitnya, pada 6 Januari 1852, di usia 43 tahun.

Namun ungkapan “Hasil tidak akan mengkhianati proses” benar-benar terbukti. Barulah dua tahun selepas kematian Braille, pemerintah Perancis menyetujui penggunaan kode matriks enam titik sebagai alat komunikasi untuk orang-orang tunanetra. Pemerintah lantas menyebut kode itu sebagai “Braille,” sebagai bentuk penghormatan kepada sang penemu.

Tiga tahun kemudian, dalam World Congress for the Blind, Braille didaulat sebagai standar sistem membaca dan menulis bagi penyandang tunanetra di seluruh dunia. Sebuah monumen besar dibangun pada tahun 1867 untuk menghormatinya. Dan satu abad setelah kematiannya, jasad Braille yang awalnya dikubur di tempat kelahirannya, dipindahkan ke Paris untuk dimakamkan di Pantheon. [GAB]