Pemilu dan Pendidikan Politik Generasi Milenial

Ilustrasi generasi milenial - kompas

Pemilihan umum (pemilu) merupakan suatu sarana berdemokrasi dalam suatu Negara, selain itu pemilu merupakan bentuk pemenuhan hak warga Negara dalam menuangkan aspirasinya. Keterlibatan aktif masyarakat sangat penting dalam setiap penyelenggaraan pemilu, terutama keterlibatan generasi muda sebagai penerus kehidupan berbangsa dan bernegara.

Selain menjadi generasi penerus, generasi muda memiliki jumlah hak pilih yang besar dalam pelaksanaan pemilu. KPU mencatat, pada pemilu 2019, usia pemilih 21-30 sebanyak 42.843.792 orang, dan usia 31-40 tahun 43.407.156 orang. Jika jumlah ini ditambah pemilih usia 17-20 tahun, maka persentase pemilih muda yang terdiri dari generasi Y atau milenial (lahir tahun 1981-1999) dan generasi Z (lahir tahun 1997-2012) mencapai 50%.

Khusus mengenai pemilih dari generasi milenial, menurut survey Litbang Kompas, porsinya sangat besar dalam pemilu tahun 2024 nanti, dengan jumlah hak pilih lebih dari 25 persen. Tingginya jumlah hak pilih ini tentu menjadi hal menarik bagi setiap kontestan pemilu.

Generasi Y lebih dikenal dengan sebutan generasi millenial atau milenium. Sebutan Generasi Y mulai dipakai dalam editorial salah satu koran besar Amerika Serikat pada Agustus 1993. Generasi ini memiliki keaktifan dalam menggunakan teknologi komunikasi instan seperti email, SMS, instant messaging dan media sosial seperti facebook dan twitter, dengan kata lain generasi Y adalah generasi yang tumbuh pada era internet booming.

Generasi milenial memiliki karakteristik berbeda-beda berdasar tempat ia dibesarkan, strata ekonomi, dan sosial keluarga. Pola komunikasinya sangat terbuka dibanding generasi-generasi sebelumnya, pemakai media sosial yang fanatik dan kehidupannya sangat terpengaruh dengan perkembangan teknologi. Ini menyebabkan generasi milenial lebih terbuka dengan pandangan ekonomi politik dan terlihat sangat reaktif terhadap perubahan lingkungan yang terjadi di sekelilingnya..

Partisipasi politik generasi milenial

Generasi ini berkembang dengan pesat, kemajuan teknologi membuat kaum milenial cepat menyerap informasi. Akan tetapi banyak informasi yang bersifat bias juga diserap oleh kalangan ini, contohnya penyebaran berita bohong (hoax) lewat internet yang mengakibatkan banyak miss informasi pada generasi milenial.

Menurut penelitian Laksmitha dan Susanto, Generasi milenial sebenarnya tidak apatis terhadap politik. Mereka melakukan partisipasi politik dengan caranya sendiri atas dasar rasa tanggung jawab sebagai warga negara yang baik. Partisipasi dalam politik banyak dituangkan melalui jaringan internet di antaranya media sosial dan forum-forum. Pemakaian media sosial memudahkan kaum milenial berinteraksi dan berkomunikasi juga membahas situasi terbaru secara nyaman tanpa harus memperlihatkan kepribadian mereka secara terbuka.

Dikarenakan karakter pemilih milenial lebih melihat track record calon yang diusung melalui media teknologi, maka diperlukan berbagai strategi untuk menggaet generasi milenial dalam pemilu. Hali itu dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti promosi calon-calon pimpinan dari setiap partai, atau pun penyebaran materi kampanye kreatif dengan menggunakan media elektronik seperti youtube, instagram, facebook, dan media komunikasi seperti whatsapp dan line.

Manipulasi suara milenial

Berdasarkan hasil evaluasi pemilu sebelumnya, KPU mengelompokkan tiga jenis malpraktik yang terjadi pada pemilu, yaitu, pemilu tanpa pemilu, politik uang yang diberikan kepada pemilih dan penyelenggara pemilu yang tidak berintegritas. Suara pemilih yang dapat di beli dengan sejumlah rupiah untuk memenangkan pemilihan merupakan praktik politik uang yang kerap ditemukan saat pemilu. Pada akhirnya, yang menduduki kursi legistlatif berdasarkan uang bukan lagi kepercayaan pemilih.

Praktik politik uang tersebut dapat membunuh sistem demokrasi jika didiamkan. Maka dalam rangka meningkatkan kualitas pemilu 2024, sudah selayaknya bagi penyelenggara pemilu memberikan pendidikan politik tentang bahaya politik uang kepada generasi muda.

Tentu bukanlah hal mudah dalam mempengaruhi atau memberikan pemahaman politik terhadap masyarakat. Budaya politik juga memiliki peran besar dalam pemahaman masyarakat terhadap politik.

Seperti dikemukakan oleh Gabriel Al Almond dan Sidney Verba, bahwa budaya politik adalah sikap orientasi warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara didalam sistem itu. Dengan adanya pendidikan politik, pemilih milenial diharap bisa menunjukan partisipasi yang baik dalam pemilu, bukan sekedar seremoni namun memahami tujuan dari pemilu tersebut.

Vote broker dalam pemilu

Salah satu pemahaman politik yang perlu diberikan pada milenial adalah bahaya vote broker. Vote broker adalah orang atau kelompok yang mewakili kandidat untuk membagikan uang atau barang. Biasanya orang-orang ini tidak terdaftar sebagai tim sukses di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sekelompok orang ini akan bermunculan ketika pemilihan umum dilaksanakan. Penggunaan vote broker adalah salah satu bentuk dari malpraktek pemilu dengan melakukan manipulasi suara pemilih.

Dalam setiap pelaksanaan pemilu sering ditemui praktik jual beli suara oleh vote broker. Susan Stokes menjelaskan bahwa broker politik sudah dikenal semenjak abad ke-19 di Inggris. Kandidat tidak memiliki pilihan lain selain bergantung pada broker lokal yang memang dekat dengan pemilih di daerah pilihan tersebut.

Banyak pemilih yang tidak memahami akan bahaya politik uang, karena praktik itu dilakukan secara masif dan tanpa disadari. Ketika suatu daerah akan melakukan acara dan mendapatkan sponsor dari mereka yang mencalonkan diri, ini merupakan salah satu bentuk politik uang.

Pendidikan politik bagi milenial

Mengingat pentingnya peran generasi milenial dalam maka perlu ada upaya lebih serius untuk memberikan pendidikan politik tidak sebatas pada sosialisasi semata. Hal ini dibutuhkan agar aspirasi generasi milenial tidak mudah dimanipulasi oleh pihak-pihak yang ingin berbuat curang dalam pemilu.

Kurang tepat jika sosialisasi yang dilakukan oleh KPU pada pemilih milenial hanya ketika pemilu akan berlangsung, apalagi jika materi yang diberikan lebih banyak menjabarkan tentang masalah teknis dari pemilu. Berdasarkan pengalaman Pemilu sebelumnya, seharusnya KPU membedakan cara sosialisasi yang dilakukannya terhadap tiap tingkatan pemilih.

Sebagai salah satu lembaga penyelenggara pemilu, KPU memiliki kewajiban untuk memberikan pendidikan politik bagi pemilih, terutama pemilih milenial yang jumlahnya sangat besar dan sangat rentan dimanfaatkan oleh praktik politik kotor. [PTM]