Ilustrasi: Mengangkut kotak suara Pemilu di daerah terpencil/hidayatsahabatkita.com

Koran Sulindo – Pakar politik dari LIPI Prof. Samsudin Haris mengatakan skema penyelenggaraan pemilu yang didahului pemilihan legislatif (pileg) sebelum pemilihan presiden (pilpres) tidak sesuai sistem presidensial. Skema yang anomali ini berdampak pada mekanisme pilpres yang terpenjara oleh hasil pileg melalui ketentuan pemenuhan ambang batas pencalonan presiden.

Untuk mengajukan pasangan capres/cawapres, parpol dan gabungan parpol harus memperoleh minimal 25 persen suara secara nasional atau 20 persen kursi DPR.

“Pemilu-pemilu pileg, pilpres dan pilkada kita belum dirancang untuk memperkuat skema demokrasi presidensial, dan juga didesain dalam rangka meningkatkan efektivitas dan sinergi pemerintahan hasil pemilu,” kata Syamsuddin, dalam Seminar Nasional XXVII Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) yang berlangsung 27 – 28 April 2017 yang digelar di Fisipol UGM, Yogyakarta.

Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan bahwa pemilu serentak akan diselenggarakan pada pemilu 2019. Hanya saja, persoalannya pemilu serentak versi MK adalah pemilu 5 kotak, yaitu memilih presiden/wapres, DPR, DPD, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/kota.

Problem pemilu serentak versi MK ada tiga hal. Pertama, tujuan yang dicapai hanya efisiensi waktu dan dana. Padahal yang tak kalah pentingnya adalah tujuan efektifitas pemerintahan hasil pemilu. Kedua, jika yang harus dipilih terlampau banyak, kualitas pilihan rakyat cenderung buruk. Ketiga, pilkada serentak diselenggarakan terpisah, padahal semestinya diselenggarakan sebagai bagian pemilu serentak lokal atau daerah yang diselenggarakan 2,5 tahun sesudah pemilu serentak.

Dalam seminar itu Samsudin Haris juga membahas dilema kombinasi sistem presidensial dan sistem multipartai. Menurutnya, kemungkinan besar terpilih presiden minoritas. Yakni presiden dengan basis poltik relatif kecil di parlemen.

Di sini parlemen sangat fragmentatif serta tanpa partai atau kekuatan politik mayoritas. Potensi konflik akibat dual democratic legitimacy, begitu pula perbedaan basis politik antara presiden dan parlemen memicu munculnya konflik.

“Konflik antara presiden dan parlemen bisa mengarah pada ‘pemerintahan terbelah’ dan jalan buntu sehingga berujung pada instabilitas demokrasi presidensial dan pemerintahan tidak efektif,” katanya.

Sementara itu anggota Komisi Pemilhan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari, mengatakan, sistem pemilu mana yang akan dipilih tergantung pada prioritas tujuan yang hendak dicapai lewat pemilu. Sebab, lanjutnya, tidak ada satu pun sistem pemilu yang bisa digunakan untuk mencapai ketiga tujuan, yakni keterwakilan politik, integrasi nasional dan pemerintahan efektif sekaligus, pada tingkat dan waktu yang sama.

“Bila keterwakilan politik hendak dikedepankan, sistem proporsional lebih tepat. Namun bila pemerintahan efektif yang ingin dicapai, sistem mayoritas-pluralitas lebih tepat,” ujarnya.

Menurut Hasyim, banyak negara yang melakukan berbagai inovasi terhadap pengoperasian instrumen-instrumen teknis pemilu untuk menciptakan sistem pemilu yang benar-benar sesuai dengan latar belakang historis, situasi politik, kondisi sosial-budaya.

“Dari inovasi-inovasi tersebut terlihat masing-masing sistem pemilu memiliki beberapa varian,” kata Hasyim. [YUK]