Rakyat menuntut reforma agraria sejati [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Para calon presiden dan calon wakil rakyat perlu memahami karakteristik masyarakat Indonesia yang agraris. Selain mayoritas penduduknya bekerja di bidang itu, masalah agraria terutama kepemilikan tanah merupakan masalah pokok yang dihadapi masyarakat kita hari ini.

Itu sebabnya, pada 2014, misalnya, para capres merumuskan kebijakan-kebijakan agrarianya demi menarik perhatian dan meraup suara dari kaum tani. Akan tetapi, kebijakan agraria para capres umumnya lebih mengikuti kehendak lembaga keuangan internasional. Bahkan bertentangan secara langsung dengan kepentingan kaum tani.

Oleh karena itu, perampasan tanah tetap masif hingga hari ini. Monopoli tanah tetap dipertahankan. Pemerintah membungkusnya lewat kebijakan populis bernama Perhutanan Sosial walau secara nyata mempertahankan monopoli tanah oleh perusahaan-perusahaan milik negara maupun perusahaan swasta asing dan nasional. Reforma agraria karena itu hanya jargon – kalau bukan palsu.

Tujuan mengetahui karakteristik masyarakat kita yang agraris ini demi mewujudkan industri nasional yang kuat. Dan hanya melalui jalan reforma agraria sejati atau setidak-tidaknya melaksanakan Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) pula itu bisa diwujudkan. Saking pentingnya, Bung Karno mengatakan, landreform yang menjadi inti dari UUPA sebagai dasar pembangunan semesta dan sebagai satu bagian mutlak dari revolusi Indonesia.

Syarat pokok untuk pembangunan tata perekonomian adalah antara lain pembebasan berjuta-juta kaum tani dan rakyat pada umumnya dari pengaruh kolonialisme, imperialisme, feodalisme dan kapitalisme dengan melaksanakan landreform menurut ketentuan hukum nasional Indonesia, seraya meletakkan dasar-dasar bagi industrialisasi, terutama industri dasar dan industri berat yang harus diusahakan dan dikuasai negara.

Untuk mengetahui mengapa reforma agraria sejati begitu penting, maka perlu menguraikan tentang apa itu karakteristik masyarakat agraris. Dalam terminologi marxian karakteristik demikian disebut sebagai negeri setengah jajahan dan setengah feodal (SJSF). Setengah jajahan, menurut Profesor Jose Maria Sison dalam The New Democratic Revolution Through Protracted People’s War merujuk kepada situasi Filipina, sebagai situasi dimana semua keputusan ekonomi, politik, kebudayaan, pertahanan dan hubungan internasionalnya ditentukan negeri imperialis Amerika Serikat (AS). Situasi demikian terjadi sebelum dan setelah Perang Dunia II.

Sedangkan D.N. Aidit dalam Masyarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia (Soal-soal Pokok Revolusi Indonesia) menguraikan, revolusi Agustus 1945 merupakan puncak dari pertentangan yang pokok dalam masyarakat Indonesia modern yaitu pertentangan antara imperialisme dan nasion Indonesia. Dengan demikian, Indonesia mengambil kemerdekaan di dalam tangannya. Lewat revolusi itu, rakyat Indonesia berjuang melawan musuh terpokok: imperialisme. Akan tetapi, musuh lain, tuan tanah feodal yang merupakan basis sosial yang terpenting bagi kekuasaan imperialisme tidak dihapuskan.

Fenomena ini, menurut Aidit, karena tenaga pokok revolusi Indonesia yaitu kaum tani tidak ditarik secara maksimal ikut dalam revolusi. Karena terpisahnya 2 tugas pokok yakni tugas revolusi nasional anti-imperialisme dan tugas pokok demokratis anti-feodalisme adalah menjadi sebab utama kegagalan revolusi Agustus 1945.

Selanjutnya, persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang ditandatangani pemerintahan Hatta dan pemerintah Belanda pada 2 November 1949 menetapkan kedudukan Indonesia sebagai negara setengah jajahan. Persetujuan KMB oleh pemerintah Hatta, kata Aidit, sesungguhnya mengembalikan kekuasaan kaum imperialis Belanda atas ekonomi Indonesia. Lewat persetujuan itu, kaum reaksioner Indonesia yang sepenuhnya menyerah kepada kaum imperialis, berusaha mengekang dan menindas gerakan pembebasan nasional dan gerakan demokratis rakyat Indonesia.

Setengah Jajahan
Kendati persetujuan KMB dibatalkan secara sepihak karena desakan massa rakyat Indonesia pada 1956, tapi tidak membawa perubahan yang penting dalam masyarakat Indonesia. Walau tindakan itu sesuai dengan semangat anti-imperialisme. Kemerdekaan politik yang dimiliki rakyat masih setengah-setengah karena kaum reaksioner di dalam negeri yang bekerja sama dengan kaum imperialis Belanda, AS, dan lain-lain berusaha keras membatasi dan menghapuskan kemerdekaan politik bagi kelas buruh dan rakyat progresif lainnya.

Dikatakan Aidit, bukti yang sangat jelas bahwa masyarakat Indonesia masih setengah jajahan belum merdeka dari aspek ekonomi. Dengan kekuasannya di bidang ekonomi, maka sekutu kaum imperialis di dalam negeri masih ikut menentukan keputusan politik di Indonesia. Semisal, perusahaan minyak Caltex, Stanvac, perusahaan-perusahaan perkebunan dan lain sebagainya.

Sebuah tulisan berjudul Benarkah Indonesia Masih Semi-Koloni dan Semi-Feodal? membuktikan betapa Indonesia hari ini masih berstatus setengah jajahan. Itu tampak di bidang politik mulai dari DPR, MPR, kepresidenan hingga tingkat provinsi dan kabupaten/kota strukturnya masih sesuai dengan skema pemerintahan pada zaman Belanda yang disebut sebagai volkstraad. Dan sama sekali tidak punya kekuatan apapun untuk menentukan berbagai kebijakan. Umumnya rancangan undang undang yang masuk dalam program legislasi nasional merupakan “pesanan” imperialis AS.

Tulisan tersebut juga mengutip The Global Review pada 8 Desember 2011 yang melaporkan, keseluruhan proyek amandemen UUD 1945 dibiayai oleh National Democratic Institute (NDI) dan Badan Program Pembangunan PBB (UNDP). Sementara di bidang perekonomian, Indonesia di bawah rezim komprador tidak pernah melepaskan statusnya sebagai negeri setengah jajahan.

Semisal, pengerukan dan penguasaan sumber-sumber daya alam di Indonesia yang mayoritas berada di tangan perusahaan-perusahaan imperialis asing. Setidaknya hingga 2011, sekitar 85% kekayaan minyak dan gas nasional dikuasai perusahaan asing. Pun demikian dengan kekayaan mineral Indonesia, 90% berada di dalam kekuasaan perusahaan imperialis. Sedangkan, 76% kekayaan batu bara dikendalikan pasar ekspor asing – tentu saja melalui perusahaan kapitalis komprador. Misalnya, Bumi Resource.

Masih berdasarkan tulisan tersebut, status setengah jajahan secara langsung melanggengkan keterbelakangan hubungan produksi masyarakat Indonesia. Mengutip ekonom Sambhalpur University, Profesor R.S Rao dalam bukunya Towards Understanding Semi-Feudal Semi-Colonial Society menyebutkan, sejak kapitalisme di Eropa berkembang menjadi imperialisme atau kapitalisme yang bersifat monopoli, kaum kapitalis justru mengasimilasi atau melebur corak produksi feodal masyarakat di negara-negara Dunia Ketiga ke dalam corak produksi kapitalistik sehingga menimbulkan apa yang disebut karakter hubungan produksi semi-feodal.

Peleburan ini, menurut Rao, diharapkan mampu mendapatkan kaum komprador di dalam negeri, karena penjajahan langsung lewat pendudukan cenderung tidak ekonomis. Internasionalisasi modal serta industri yang diciptakan darinya di negeri-negeri jajahan dan setengah jajahan tidak memiliki peran positif dalam memajukan corak hubungan produksi maupun formasi sosial masyarakat.

Kesan terhadap masuknya kapital monopoli asing adalah masuknya hubungan kapitalistik dalam sistem perekonomian di negeri-negeri jajahan dan setengah jajahan yang umumnya masih berada dalam lingkup feodalisme. Dengan kata lain, sistem produksi feodalisme telah terdisintegrasikan. Pola produksi yang menjadi ciri khas feodalisme banyak yang sepenuhnya telah terhapuskan. Produk pertanian kaum tani juga semakin banyak ditransaksikan di pasar. Dalam proses ini buruh tani perkebunan/maritim (proletariat desa) dan semi-proletariat juga muncul untuk “menjual tenaganya sebagai kerja produksi yang sekunder”.

Fondasi Industri
Lantas mengapa reforma agraria sejati? Berdasarkan karakteristik masyarakat Indonesia itu, maka reforma agraria sejati menjadi penting dan hal mendesak untuk dilaksanakan. Reforma agraria sejati, demikian Aliansi Gerakan Reforma Afgraria (AGRA), jawaban utama untuk mengatasi masalah-masalah besar yang dialami bangsa Indonesia. Reforma agraria tidak semata-mata untuk meningkatkan taraf hidup kaum tani dan upaya-upaya praktis untuk mengangkat kaum tani dari kemiskinan.

Reforma agraria lebih dari itu. Ia menjadi fondasi yang paling stabil untuk pembangunan secara menyeluruh menuju terbentuknya sebuah bangsa yang berdaulat secara ekonomi, politik dan kebudayaan. AGRA menuturkan, secara ekonomi, kemiskinan dan penderitaan masyarakat pedesaan yang dicengkeram dalam hubungan produksi berwatak feodal menjadi kenyataan sejarah betapa pentingnya reforma agraria. Secara politik, meningkatnya gerakan massa kaum tani di berbagai wilayah Indonesia dan tingginya kekerasan bersenjata dalam konflik agraria di Indonesia memberi dasar politik secara nyata untuk melaksanakan reforma agraria.

Dari situasi ini, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak menjalankan reforma agraria. Akan tetapi, tuntutan mayoritas kaum tani itu tidak pernah terwujud. Seperti pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla hari ini yang seolah-olah mewujudkan reforma agraria lewat sertifikasi dan Perhutanan Sosial. Namun, pada saat yang sama pemerintah justru merancang pembangunan infrastruktur secara masif yang merampas tanah kaum tani demi kepentingan modal dan investasi. Perhutanan Sosial pun setali tiga uang. Kesannya “memberi” memberi tanah kepada kaum tani, padahal skemanya mirip dengan era kolonial yang melanggengkan monopoli tanah.

Seperti yang sudah disinggung reforma agraria menjadi basis penting bagi pembangunan industri nasional. Karena belenggu feodalismenya hilang, dan tercapainya kedaulatan secara ekonomi, politik dan kebudayaan, syarat-syarat untuk tumbuhnya industri nasional semakin tersedia. Akan tetapi, reforma agraria sejati tidak mungkin terlaksana jika pemerintah tidak melaksanakan nasionalisasi industri.

Liberalisasi di sektor industri dan keuangan telah mengoyak kemandirian ekonomi dan politik bangsa. Nasionalisasi industri secara menyeluruh menjadi penting untuk merombak atau mendesain karakter industri Indonesia dari industri manufaktur ringan yang rentan karena komponennya impor semua menjadi industri yang terintegrasi dari hulu ke hilir. Pun mengusahakan sektor-sektor industri strategis – seperti sektor energi dan mineral, infrastruktur dan industri yang terkait dengan hajat hidup orang banyak – harus dikuasai negara.

Ini semua berhubungan secara ekonomi, politik dan kebudayaan dengan karakter sosial masyarakat Indonesia. Pembangunan industri dilakukan dengan berpegang pada prinsip mengedepankan kebutuhan dalam negeri, baik kebutuhan ekonomi, politik, maupun kebudayaan. Dari semua ini, menjadi jelas reforma agraria sejati adalah kunci. Untuk itu, kita perlu bertanya: adakah capres yang berani melaksanakan reforma agraria sejati? [Kristian Ginting]