Koran Sulindo – Pemilihan pimpinan MPR untuk periode 2019 hingga 2024 seyogianya dilakukan dengan cara musyawarah dan bukan voting. Karena, sejatinya proses demokrasi Indonesia secara kultural adalah musyawarah mufakat.
Pengamat komunikasi politik dan kebijakan publik Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing mengatakan, pemilihan pimpinan MPR ini harus menjadi perhatian serius dari seluruh anggota. Sebab, voting sangat jauh dari kultur demokrasi Indonesia yang mengedepankan musywarah mufakat.
“Kalau voting, jangan-jangan MPR akan berubah kepanjangannya menjadi majelis pervotingan rakyat,” kata Emrus menyindir proses pemilihan pimpinan MPR yang mengarah kepada voting di Jakarta, Kamis (3/10).
Dikatakan Emrus, sidang perdana penentuan paket pimpinan MPR ini sekaligus evaluasi awal dari seluruh rakyat Indonesia terhadap semua anggota periode 2019 hingga 2024. Proses ini akan menunjukkan apakah mereka itu politisi-negarawan atau politisi-politikus.
“Jika mereka politisi-negarawan, penentuan paket pimpinan MPR harus melalui musyawarah. Sebaliknya bila melalui voting, maka mereka lebih dekat sebagai politisi-politikus yaitu orientasi utamanya memperoleh kekuasaan yang mengabaikan bagaimana proses memperoleh kekuasaan itu,” katanya.
Alasan lainnya bahwa voting harus dihindari karena frasa musyawarah yang melekat di MPR. Dengan voting, kata Emrus, sadar atau tidak sesungguhnya anggota MPR itu mereduksi hakikat mulai pembentukan lembaga tersebut sejak awal. Juga menunjukkan anggota MPR telah gagal melakukan peran utamanya yaitu musyawarah.
“Untuk itu, sebelum terlambat, tentukanlah paket pimpinan MPR hanya melalui musyawarah,” kata Emrus. [KRG]