ilustrasi Pemilih Milenial
ilustrasi Pemilih Milenial (sumber foto : mediaindonesia)

Sejumlah survei menunjukkan, generasi milenial dan generasi Z diprediksi menjadi kelompok pemilih dengan proporsi terbesar di Pemilu 2024. Hal itu ditunjukkan oleh hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada Januari 2021, dan diperkuat oleh hasil survei Litbang Kompas yang dirilis pada Oktober 2021.

Survei BPS mencatat jumlah usia muda produktif (15-64 tahun) pada 2020 mencapai 191,08 juta jiwa atau sekitar 70,72% dari jumlah total penduduk Indonesia sebanyak 270,20 juta jiwa. Ini lebih tinggi dari angka pemilu 2019, di mana setengah dari jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) terdiri dari pemilih muda (usia 17-40 tahun).

KPU mencatat, pada pemilu 2019, usia pemilih 21-30 sebanyak 42.843.792 orang, dan usia 31-40 tahun 43.407.156 orang. Jika jumlah ini ditambah pemilih usia 17-20 tahun, maka persentase pemilih muda yang terdiri dari generasi milenial (lahir tahun 1981-1999) dan generasi Z (lahir tahun 1997-2012) mencapai 50%. 

BPS menyebut, jumlah penduduk usia muda (0-14 tahun) sebanyak 63,03 juta jiwa (23,33%) dan penduduk lanjut usia (65 tahun ke atas) 16,07 juta jiwa (9,78%). Buku terbitan BPS “Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035” menyimpulkan, pada tahun 2024 jumlah penduduk usia produktif angkanya masih mendekati tahun 2020. 

Survei Litbang Kompas yang dirilis Oktober 2021 mengungkapkan, generasi milenial dan generasi Z lebih mendominasi ketimbang generasi lainnya, dan berhak mengikuti pemilu pada 2024. Mengutip hasil sensus penduduk 2020 yang diolah Litbang Kompas/DDY, proporsi jumlah penduduk Indonesia berdasarkan generasinya adalah:

– Post Gen Z (<8 tahun): 10,88%

– Gen Z (8-23 tahun): 27,94%

– Millennial (24-39 tahun): 25,87%

– Gen X (40-55 tahun): 21,88%

– Baby Boomer (56-74 tahun): 11,56%

– Pre-boomer (>74 tahun): 1,87%

Para pemilih muda memiliki karakteristik sendiri. Pada pemilu tahun 2019, mereka dihadapkan pada narasi konservatisme identitas dan politik identitas, serta pluralisme kebangsaan. Padahal, mereka cenderung apatis/apolitis. Namun, sebagian meraka yang lebih dewasa sudah mengambil sikap menjadi relawan, anggota aktif partai politik atau anggota organisasi masyarakat.

Ini diakui peneliti LIPI Wasisto Raharjo Jati. Dia menyebut, di antara karakter pemilih muda dalam gerakan politik adalah voluntarisme. Mereka terlibat dalam gerakan relawan. Misalnya, mereka menjadi relawan Jokowi, relawan Anies Baswedan, teman Ahok, dan sahabat Ridwan Kamil, dan lainnya. 

Banyak dari mereka aktif bergabung menjadi Relawan Demokrasi (Relasi) KPU, anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Tak sedikit pula dari mereka terlibat aktif dalam organisasi-organisasi sosial seperti Dompet Dhuafa, ACT, Baznas, dll.

Selain voluntarisme, mereka mempunyai karakter kolegialitas. Anak muda Indonesia berupaya membangun eksistensi dan representasi dengan membentuk kelompok-kelompok atau komunitas mereka sendiri, misalnya dalam kelompok bermusik atau komunitas olah raga. 

Berkarakter kolegialitas, mereka menunjukan independensi dan netralitasnya dalam skala kelompok. Mereka disatukan pada minat dan kesamaan. Kolegialitas ini bermakna sebagai perlawanan kultural terhadap sistem sosial yang telah mapan. Mereka bereksperimen dengan kolegialitas sebelum terjun ke arena politik.

Lalu, selain kedua karakter di atas, mereka memiliki sikap apolitis dan apatis. Temuan riset Center for Strategic and International Studies (CSIS) dan Alvara tentang sikap kaum milenial menunjukkan bahwa gejala apolitis itu terjadi pada mereka karena perbedaan faktor sosial ekonomi dan sosial politik. 

Misalnya keterbatasan lapangan kerja dan aksesibilitas informasi yang berdampak pada pembentukan karakter apolitis. Hal ini terjadi didorong faktor pragmatis. Namun, selain itu, minimnya informasi, pendidikan politik dan kewarganegaraan di masa pandemic Covid-19 menjadi tantangan tersendiri.

Satu lagi karakter yang tak dibahas Wasisto Raharjo, generasi muda kita kecanduan pada gadget. Mereka bisa menghabiskan waktu berjam-jam berselancar di media sosial. Mereka aktif menjadi youtuber, selebgram, membuat konten tiktok, atau sebatas chatting dan penikmat konten saja. Tidak sedikit dari pengguna media sosial juga hadir menjadi komentator/netizen.

Banyaknya jumlah pemilih muda dengan karakteristik demikian tadi menjadi tantangan dan peluang bagi kalangan partai politik dan penyelenggara pemilu. Mereka perlu memiliki strategi bagaimana mengaktivasi pemilih muda ini agar dapat berkontribusi dalam pemilu 2024. Pemilih muda bisa menjadi penyumbang terbesar dalam perolehan suara di pemilu. 

Potensi pemilih pemuda dapat dijadikan energi tambahan bagi KPU sebagai penyelenggara pemilu. Sukses-tidaknya penyelenggaraan agenda besar hajatan rakyat, tergantung pada partisipasi kalangan muda tersebut. Apalagi, pada Pemilu 2024, untuk pertama kalinya dilangsungkan pemilu serentak di tahun yang sama.

Pada tahun 2019, pemilih muda terlalu banyak dihadapkan pada dan tergiring menghadapi penyebar isu hoaks, berita bohong, atau turut serta menjadi aktor yang terjebak politik identitas. Untuk pemilu 2024, pemilih muda perlu dipersiapkan dengan baik agar menjadi kekuatan bagi penguatan demokrasi. [AT]