Mulai bulan Mei 2022 pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan mengenakan pajak untuk transaksi kripto. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68/PMK.02/2022, pemerintah memberlakukan penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN) atas transaksi perdagangan aset kripto.
Menurut aturan baru itu, besaran PPN yang akan dikenakan pada aset kripto sebesar 0,1%. Sedangkan untuk PPh bagi para penjual aset kripto, penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik, dan penambang aset kripto juga sebesar 0,1%.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Neilmaldrin Noor mengatakan, langkah ini diambil lantaran pemerintah memandang aset kripto sebagai suatu komoditas yang memenuhi kriteria sebagai objek PPN.
Semula, Bank Indonesia (BI) tidak menganggap aset kripto sebagai alat tukar maupun surat berharga. Namun, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) dan Kementerian Perdagangan menegaskan bahwa aset kripto merupakan komoditas.
“Karena komoditas, maka merupakan barang kena pajak tidak berwujud dan harus dikenakan PPN juga agar adil,” jelas Neilmaldrin, Rabu (13/4).
Sebagai jenis objek pajak yang baru, maka pemerintah berupaya menerapkan aturan yang mudah dan sederhana.
Langkah pertama, adalah dengan menunjuk pihak ketiga sebagai pemungut PPN perdagangan aset kripto, yaitu penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) baik dalam negeri maupun luar negeri.
Pemerintah juga menerapkan besaran PPN, yaitu PPN besaran tertentu atau PPN Final dengan tarif 0,11% dari nilai transaksi perdagangan aset kripto dalam hal penyelenggara perdagangan adalah Pedagang Fisik Aset Kripto (PFAK). Jika penyelenggara perdagangan ini bukan oleh PFAK, maka tarif yang dikenakan sebesar 0,22% atau dua kali lipat.
Sedangkan untuk jasa mining atau jasa verifikasi transaksi aset, maka akan dikenakan 1,1% dari nilai konversi aset kripto.
Pemerintah juga mengenakan PPh pasal 22 final kepada aset kripto ini. Pasalnya, perdagangan yang dilakukan kemudian memberi tambahan kemampuan ekonomis bagi penjual sehingga ini menjadi objek pajak.
Tarif PPh pasal 22 final yang dipatok sebesar 0,1% dari nilai aset kripto bila merupakan PFAK, atau bila bukan PFAK maka dikenakan sebesar 0,2% dari nilai aset kripto.
Hal ini juga berlaku atas penghasilan yang diterima oleh penambang aset kripto. Atas tambahan kemampuan ekonomis yang didapat, miner ini dibanderol tarif PPh pasal 22 sebesar 0,1% dari penghasilan yang diterima, tidak termasuk PPN.
Terlalu besar
Aturan ini mendapat tanggapan dari pelaku usaha kripto, salah satunya CEO Indodax Oscar Darmawan. Ia berharap pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) atas asset kripto tidak terlalu besar.
Oscar menilai kebijakan ini menambah legalitas dari aset kripto sehingga menandakan kripto sudah menjadi aset atau komoditas yang sah di mata hukum negara untuk diperjualbelikan.
“Dengan adanya pengakuan ini, kebijakan pengenaan pajak merupakan suatu hal yang sangat positif,” jelasnya saat dihubungi, Rabu (6/4/2022).
Meski bernilai positif, sebagai pelaku usaha, Oscar mengharapkan besaran masing-masing pajak tidak terlalu tinggi. Menurutnya, besaran ideal pajak tersebut adalah 0,05 persen untuk PPN dan 0,05 persen untuk PPh, sehingga total pajak yang dikenakan di industri secara total cukup 0,1 persen.
Sementara dengan aturan pajak kripto yang memungut PPN dan PPH dengan total 0,2%, dinilai akan memberatkan. Apalagi, investor kripto juga sudah dibebankan fee exchange yang sebesar 0,3%.
“Jadi, kalau ditambah dengan PPN dan PPH dengan ketentuan sekarang, konsumen akan kena fee hampir dua kali lipat dari sekarang,” kata Oscar.
Ia khawatir besaran pajak ini akan membuat investor merasa keberatan. Akibatnya, para konsumen tidak tertarik dengan industri kripto dalam negeri dan justru malah lari ke pasar luar negeri.
“Hal Ini tentu sangat amat disayangkan mengingat tingginya tren investasi kripto memberikan peluang besar bagi pertumbuhan ekonomi digital Indonesia kalau terus bertumbuh,” katanya. [DES]