Pemerintah Pusat Perlu Belajar dari Jakarta soal Parlemen Digital

Ilustrasi/vimeo.com

Koran Sulindo – Demokrasi digital atau parlemen digital menjadi pilihan banyak pihak dalam memengaruhi kebijakan pemerintah. Kehadirannya melengkapi apa yang telah dilakukan parlemen senayan (DPR) dan parlemen jalanan (demonstrasi).

Pemerintah seharusnya mulai memikirkan satu sistem baru dalam menyambut kehadiran parlemen digital. Parlemen jalanan (demonstrasi) dan parlemen senayan (DPR) sudah memiliki mekanisme dan UU yang jelas. Parlemen digital ini belum ada perangkatnya, lembaganya, dan siapa yang mengurusi.

“Karena itu, sebenarnya kita perlu belajar dari pemerintah provinsi DKI Jakarta yang telah melakukan semua itu,” kata Dr. Dedy Permadi, managing director Center for Digital Society (CfDS) Fisipol UGM, di Yogyakarta, pekan lalu, seperti dikutip situs ugm.ac.id.

CfDS merilis kajian tentang petisi online pada Kanal Change.org.

Hasilnya, terdapat 3 kategori yang bisa dilakukan dalam mengartikulasikan kepentingan melalui petisi online, yaitu petisi online yang dilakukan kelompok anomik, kelompok asosiasonal dan kelompok institusional. Untuk kelompok institusional bisa dilakukan oleh Polri, TNI, PGRI dan sebagainya. Kelompok asosiasonal, misalnya Satuan Serikat Dagang Indonesia, Persatuan Dokter Hewan Indonesia dan lain-lain.

“Yang menarik adalah kemunculan yang anomik yang secara tiba-tiba secara random, tidak direncanakan, tidak ada organisasinya, tidak ada institusinya, muncul begitu saja kemudian memengaruhi proses kebijakan,” katanya.

Menurut Dedy, dulu orang harus mengartikulasikan kepentingan melalui wakil rakyat (DPR). Jika jalan sudah buntu mereka melakukan demonstrasi.

“Sekarang ada cara lain tidak perlu demo, tidak perlu berpanas-panasan, mereka bisa bikin petisi online. Dengan cara itu dan mendapat banyak dukungan berharap suaranya mendapat peluang untuk didengar pemerintah,” kata Dedy.

Sementara Research Manager CfDS Fisipol UGM, Viyasa Rahyaputra, mengatakan tidak semua petisi online berpengaruh terhadap proses kebijakan. Sebab, dari 1.521 petisi online yang diteliti oleh CfDS Fisipol UGM selama Februari 2016-Februari 2017, hanya 4 petisi online yang menang atau di follow up dalam kebijakan.

“Empat yang menang ini mungkin karena sasarannya jelas. Selain itu, ada aksi di luar petisi online, misalnya aksi demo yang semakin memperkuat petisi online ini difollow up pemerintah,” katanya.

Adapun 4 petisi online yang menang versi change.org, yaitu Belenggu Gajah di KBS akhirnya dilepas dengan jumlah dukungan 4.818 dan Presiden Jokowi Tolak Remisi Koruptor dengan dukungan 11.221. Selain itu, judul petisi Gloria akhirnya ditugaskan turunkan bendera di Istana Presiden dengan dukungan 25. 129 dan Berhasil! Penyu dan Hiunya dilepaskan dengan dukungan 4.863.

Tidak selamanya petisi online dengan dukungan paling besar memperoleh perhatian atau di follow up. Terbukti petisi online Cabut Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi yang mendapat dukungan sebanyak 207.097 tidak mendapat perhatian dari pemerintah.

Meski sedang, petisi online sebagai sarana mengartikulasikan kepentingan belum terlalu dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia.  Dibandingkan di Amerika Serikat, pendukung petisi online bisa mencapai jutaan.

“Jadi belum terlalu banyak dimanfaatkan semaksimal mungkin bila dibandingkan di beberapa negara yang telah menerapkan demokrasi digital yang lebih matang,” kata Viyasa.

Research Assistant, Chiara Anindy,  menambahkan dari 1.521 petisi online yang diteliti maka muncul angka rata-rata Petisi Politik per bulan mencapai 52,3 petisi. Tujuan petisi paling tinggi adalah ke pemerintah sebagai sasaran yaitu 518 petisi (82%).

“Isu keadilan dan kesetaraan adalah isu yang paling banyak dipetisikan dengan 318 petisi, sedangkan isu kebijakan ada di peringkat dua dengan 126 petisi,” kata Chiara. [DAS]