Koran Sulindo – Permasalahan tentang ketersediaan pangan akan terus muncul jika pemerintah tak memberikan perhatian dan perlindungan serius terhadap sistem pengolahan pangan baik dari sisi produksi maupun tingkat konsumsi. Pemerintah perlu melakukan upaya khusus untuk meningkatkan produksi bahan pangan nasional dengan meningkatkan produktivitas lewat penerapan teknologi secara intensif salah satunya lewat benih unggul.
“Sampai saat ini benih unggul sebagai solusi untuk mendapatkan varietas baru lewat hibridisasi berbagai keragaman genetik mengatasi berbagai permasalahan tanaman pangan,” kata kata Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengku Buwono X saat Seminar Nasional Penerapan Bioteknologi Pertanian dan Kontribusi Bagi Ketahanan Pangan di Indonesia, di Yogya, Selasa (23/5).
Benih unggul yang dikembangkan tersebut, menurut Sultan, tidak lepas dari peran bioteknologi lewat teknologi persilangan. Dan pemanfaatan bioteknologi untuk kultivar unggul padi sangat diperlukan untuk pemenuhan pangan masyarakat, meski ada penolakan dari sebagian kelompok masyarakat. Karenanya diperlukan sikap kehati-hatian untuk menghasilkan produk produk pangan dari hasil teknologi rekayasa genetik tersebut.
Sultan lantas menyebut salah satu produk bioteknologi di tanah air saat ini adalah pengembangan tanaman jagung transgenik yang dinilai berkualitas, tahan serangan hama sehingga mampu mengurangi penggunaan pestisida.
“Dari aspek bioteknologi justru mendatangkan manfaat bagi manusia,” katanya.
Penduduk Indonesia yang kini mencapai 237 juta jiwa setidaknya membutuhkan sekitar 13 juta lahan padi produktif. Sementara lahan padi yang ada saat ini hanya 7,7 juta hektar. Data juga menunjukkan laju perubahan lahan pertanian ke non pertanian juga terus bergerak naik, yakni sekitar 50 ribu hingga 100 ribu hektar lahan yang hilang setiap tahunnya
“Jika dihitung pertambahan penduduk sekitar 1,9 persen tiap tahun tentu akan menghadirkan permasalahan sosial soal pangan,” kata Sultan.
Senada dengan Gubernur DIY, Direktur Indonesian Biotechnology Information Centre (IndoBIC), Bambang Purwantara, mengatakan sudah saatnya pemerintah perlu memperhatikan persoalan pengembangan bioteknologi di bidang pangan seiring kebijakan pemerintah yang mengurangi ketergantungan pada impor pangan.
“Impor kita lihat sudah mulai berkurang, untuk itu seharusnya pengembangan penerapan bioteknologi pangan ditingkatkan,” ujarnya.
Terlebih, pengembangan bioteknologi pangan Indonesia saat ini jauh tertinggal dibanding dengan Philipina dan Vietnam. Padahal sebelumnya Indonesia sebelumnya telah lebih dulu memulainya lewat pengembangan bioteknologi kapas transgenik.
“Kita dulu pernah melakukan bioteknologi kapas biji, sudah dimulai dari diawal, mandeg. Sekarang dikembangankan tebu lahan kering yang kita harapkan bisa ditanami di Indonesia Timur yang lahan kering sehingga bisa mengatasi impor gula,” ujarnya.
Selain tebu, menurut Bambang, beberapa daerah juga sudah mencanangkan swasembada jagung dengan menerapkan benih hasil pengembangan bioteknologi.
Pada kesempatan itu Bambang mengungkapkan, salah satu persoalan yang dihadapi dalam pengembangan bioteknologi pangan adalah lamanya proses pengusulan hingga persetujuan. Dengan begitu produk hasil bioteknologi tersebut lambat dan lama untuk diaplikasikan di masyarakat.
“Bahkan bioteknologi kadang sering disalahmengertikan sebagian pihak. Bayangkan untuk produk tebu ini sudah lima tahunan prosesnya, sementara jagung sudah hampir 10 tahun dari mulai pengusulan sampai disetujui, karena penuh kehati-hatian,” kata Bambang. [YUK]