Koran Sulindo – Berbagai kalangan baik politikus, akademisi, dan aktivis sipil mengkritik pemerintah terkait ketidakjelasan penanganan wabah COVID-19 yang kemudian menjadi pandemi.
Upaya Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengumumkan dua pasien pertama positif COVID-19 awal Maret justru menjadi sasaran kritik karena informasi tidak akurat dan identitas korban yang terungkap.
Klarifikasi yang kemudian diberikan oleh pejabat negara setingkat menteri atau staf khusus presiden ternyata menunjukkan kelemahan koordinasi komunikasi di dalam lembaga eksekutif. Jokowi akhirnya menunjuk seorang juru bicara yang menjadi pintu utama komunikasi resmi pemerintah.
Namun masalah komunikasi tidak membaik, karena sebagian publik sudah tidak mempercayai informasi dari pemerintah dan memilih sumber informasi lain dari internet, terutama sosial media, yang justru menambah kesimpangsiuran.
Kebingungan publik ini kemudian diperburuk oleh disinformasi dan misinformasi ruang daring (online), terutama media sosial, yang dijadikan sumber pengetahuan publik dalam memahami pandemik.
Saya melihat media massa, terutama televisi, terperangkap dalam isu partisan sebagai corong pemerintah atau oposisi. Siaran berita menjadi bias dan memecah publik ketika informasi terkait virus menjadi ajang debat kusir antar kedua kubu.
Ujungnya, ketika pemerintah mengumumkan wabah sebagai bencana nasional, sebagian masyarakat tidak tanggap dan tidak mengindahkan imbauan untuk menjaga jarak aman.
Meskipun komunikasi pemerintah sebelum dan awal wabah buruk, pemerintah masih bisa dan harus memperbaiki komunikasi di tengah krisis saat ini.
Komunikasi Publik pada Masa Krisis
Pemerintah bisa menggunakan model Crisis and Emergency Risk Communication (CERC) sebagai kerangka komunikasi publik pada keadaan luar biasa.
Di Amerika Serikat, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (Center of Disease Control and Prevention, CDC) sudah menggunakan model ini sebagai panduan dasar.
Dasar filosofis dari CERC adalah bahwa publik berhak mendapatkan informasi akurat terkait krisis yang terjadi. Informasi harus secara lengkap memaparkan kondisi krisis yang terjadi dan risiko yang ada agar membantu publik membuat keputusan rasional. Komunikasi menjadi alat agar publik mengadopsi perilaku yang diharapkan untuk mengurangi risiko.
CERC memadukan strategi komunikasi risiko (risk communication) yang umum digunakan sektor pemerintah dalam keadaan darurat dan komunikasi krisis (crisis communication) yang digunakan sektor swasta untuk menghadapi krisis organisasi.
Terdapat beberapa tahapan komunikasi berkelanjutan dalam model CERC:
sebelum krisis (pre-crisis),
awal krisis (initial event),
selama krisis (maintenance),
resolusi (resolution),
evaluasi (evaluation).
Pada tahap sebelum krisis, pemerintah berkomunikasi dengan publik untuk memberikan pengetahuan awal agar publik memahami dan menyiapkan diri terhadap krisis yang dihadapi.
Tujuan komunikasi pra-krisis ini untuk meningkatkan kepercayaan diri publik dan juga mengajak semua pemangku kepentingan (lembaga pemerintah, pemerintah daerah, dan organisasi sipil) untuk mengkomunikasikan hal yang sama.
Pada tahap ini kunci keberhasilan komunikasi bertumpu pada sinergi dan koordinasi antar komunikator utama. Peran CDC di Amerika Serikat pada saat wabah ebola di tahun 2015 bisa menjadi contoh terbaik. Saat itu CDC bisa mensinergikan lembaga-lembaga pemerintah dan menjadi otoritas tunggal untuk memberikan informasi kepada publik.
Memasuki fase awal krisis, pemerintah perlu menyediakan informasi melalui satu pintu. Ini memudahkan sirkulasi dan mencegah kesimpangsiuran berita.
Pemerintah perlu menyusun pesan yang komprehensif sehingga publik mengerti mengenai krisis yang terjadi, konsekuensi, dan antisipasi aksi berdasarkan data terkini. Ini dimaksudkan agar publik siaga terhadap langkah lanjutan.
Pada fase krisis, pemerintah perlu menyalurkan informasi mutakhir secara berkala agar masyarakat yakin krisis dapat dilalui. Pemerintah perlu melakukan ini dengan cara memaparkan penanggulangan keadaan darurat, mengkoreksi rumor dan misinformasi, serta menjelaskan rencana pemulihan paska krisis.
Di masa resolusi setelah krisis berakhir, pemerintah perlu tetap melakukan komunikasi untuk menciptakan solidaritas dan memahami krisis yang telah terjadi.
Terakhir, komunikasi tahap evaluasi akan menghasilkan konsensus dan pembelajaran untuk menghadapi kejadian serupa di masa mendatang.
Komunikasi Krisis Pemerintah
Indonesia telah mengalami tiga tahap pertama komunikasi krisis ini.
Sebelum krisis tiba di Indonesia, ketika wabah memuncak di Cina awal tahun ini, pemerintah Indonesia terlihat tidak antisipatif terhadap dampak global virus.
Di pertengahan Februari, Jokowi menitikberatkan pendekatan ekonomi untuk menghadapi krisis dengan memberikan insentif terhadap sektor pariwisata. Sebelumnya, Kementerian Kesehatan menyebut bahwa warga Indonesia tidak rentan terhadap wabah ini.
Pemerintah yang kurang tanggap terhadap potensi pandemi, membuat publik tidak memiliki pengetahuan awal terkait bahaya COVID-19. Informasi yang tidak pasti dari media sosial kemudian menjadi panduan utama publik.
Saat kasus pertama diumumkan pada 2 Maret, yang menandai masa awal krisis, pemerintah terlihat tidak siap.
Publik yang selama ini tidak mendapatkan panduan resmi dari pemerintah menjadi kebingungan sehingga bertindak panik, misalnya dengan memborong sembako, ataupun tidak bereaksi dan tetap melakukan kegiatan harian.
Hal ini ditambah tidak sinkronnya kebijakan pusat dan daerah, seperti ketika Gubernur Jakarta Anies Baswedan mengusulkan kebijakan karantina total, namun segera dicegah oleh pemerintah pusat.
Penunjukan seorang juru bicara resmi pada 3 Maret dan pembuatan gugus tugas penanganan wabah pada 13 Maret tidak menjadikan komunikasi krisis pemerintah menjadi lebih baik.
Publik yang kebingungan masih tidak menjadikan informasi dari pemerintah sebagai acuan utama.
Ketika pemerintah mengumumkan COVID-19 sebagai bencana nasional dengan menekankan pada aspek social distancing pada 14 Maret, publik tidak mampu mencerna karena mereka tidak dibekali pemahaman awal terutama terkait langkah yang harus diambil.
Masyarakat tidak mengadopsi perilaku yang diharapkan pemerintah. Kerumunan di ruang publik tetap terlihat: di Jakarta sebagian institusi bisnis belum menganggap penting imbauan pemerintah.
Di tengah pandemi yang kian memuncak di dunia kegagalan komunikasi pemerintah menjadi nyata.
Saat ini Indonesia memasuki tahapan ketiga dalam model CERC dan ada indikasi wabah meluas. Diperkirakan, total 11.000 hingga 71.000 orang akan tertular pada akhir April jika tak ada intervensi cepat. Per 26 Maret 2020, Indonesia mencatat penderita positif 893 orang dengan 78 orang meninggal.
Ubah Pola Komunikasi
Pemerintah perlu secara cepat mengubah pola komunikasi.
Pertama, pemerintah pusat dan daerah perlu berkoordinasi sehingga terjadi sinergi satu pesan komunikasi. Pemerintah perlu menggunakan berbagai saluran media yang menjangkau seluruh masyarakat untuk mengkomunikasikan pesan tersebut.
Kedua, pemerintah perlu melakukan komunikasi yang terus menerus dan terintegrasi. Tanpa komunikasi krisis yang tepat rakyat tidak akan mengadopsi perilaku yang diharapkan dan tujuan pemerintah untuk menekan penyebaran virus akan tidak tercapai.
Informasi pemerintah harus menjadi dominan di ruang publik, terutama di ranah maya yang menjadi sumber informasi utama saat ini. Kegagapan dalam dua fase awal bisa jadi pembelajaran agar tidak berulang di masa mendatang. [Whisnu Triwibowo, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Indonesia]. Tulisan ini disalin dari The Conversation Indonesia.