Koran Sulindo – Pemerintah secara resmi membatalkan proyek reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta karena melanggar ketentuan, membahayakan lingkungan hidup, lalu lintas laut, dan proyek vital.
“Komite Gabungan dan para menteri sepakat bahwa Pulau G masuk dalam pelanggaran berat,” kata Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli dalam rapat koordinasi Penanganan Reklamasi Pantai Utara Jakarta di Jakarta, Kamis.
Reklamasi Pulau G termasuk pelanggaran berat karena di dekat pulau terdapat kabel listrik milik PT PLN (Persero). Pulau itu diniklai juga mengganggu kapal nelayan.
“Sebelum pulau itu dibuat, kapal nelayan dapat dengan mudah mendarat dan parkir di Muara Angke. Tapi begitu pulau ini dibikin, daratan ditutup sehingga kapal mesti memutar dulu, habiskan solar baru bisa parkir,” katanya.
Berdasarkan analisa Komite Gabungan, reklamasi Pulau G dibangun sembarangan secara teknis sehingga berdampak merusak lingkungan hingga membunuh biota.
“Jadi kesimpulan kami, atas contoh pelanggaran Pulau G, kami putuskan reklamasi Pulau G dibatalkan untuk waktu seterusnya,” kata Rizal.
Rakus
Dalam rakor yang dihadiri oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Menteri Perhubungan Ignatius Jonan, Deputi Gubernur DKI Jakarta bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup DKI Jakarta Oswar Muadzin Mungkasa, serta perwakilan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan itu juga diputuskan ada sejumlah pulau reklamasi yang dinilai melakukan pelanggaran sedang ringan.
Pulau C, D dan N dinilai melakukan pelanggaran sedang, di mana pihak pengembang diminta melakukan sejumlah perbaikan dan pembongkaran.
Pulau C dan D yang saat ini menyatu diminta untuk dipisah dengan kanal selebar 100 meter dan sedalam 8 meter agar bisa dilalui lalu lintas kapal dan agar tidak meningkatkan risiko banjir.
“Pulau-pulau yang melakukan pelanggaran sedang ini melanggar karena rakus dan hanya sekedar mengejar keuntungan,” kata Rizal.
Sementara Pulau N yang merupakan bagian dari proyek pembangunan Pelabuhan Kalibaru milik Pelindo II dinilai melakukan pelanggaran teknis dan lingkungan hidup.
“Pengembangnya setuju untuk memperbaiki. Jadi boleh diteruskan agar rapi dan pelanggaran yang dilakukan diperbaiki,” kata Rizal.
Sementara itu, pelanggaran ringan dinilai berdasarkan masalah administrasi dan proses pembangunan.
Setelah komite gabungan yang dibentuk untuk menuntaskan masalah reklamasi Teluk Jakarta memberikan rekomendasi pembatalan reklamasi Pulau G, pihaknya akan menyerahkan proyek tersebut kepada pemerintah.
“Apakah diambilalih negara, untuk reboisasi (penghijauan) atau konservasi agar tidak membahayakan, itu akan kami bongkar,” kata Rizal.
Pemerintah juga telah melakukan kesepakatan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menindak siapapun yang bersalah dalam kasus reklamasi Teluk Jakarta.
Pengembang Pulau G, yang merupakan anak perusahaan Agung Podomoro Land, PT Muara Wisesa Samudera. Perusahaan ini sekarang dalam penyisikan KPK karena upaya penyuapan beberapa anggota DPRD DKI Jakarta.
Putusan PTUN
Sebelumnya, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada 31 Mei lalu mengabulkan gugatan nelayan terkait proyek reklamasi Pulau G seluas 161 hektare.
“Pengadilan memutuskan mengabulkan gugatan para penggugat 1 sampai 5 (nelayan) dan mengabulkan penundaan pelaksanaan proyek yang diajukan oleh para penggugat,” kata Hakim Ketua Adhi Budhi Sulistyo di Gedung PTUN Jakarta, saat itu.
Selain mengabulkan permohonan pemohon, pengadilan juga memerintahkan penundaan pelaksanaan izin reklamasi yang tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Nomor 2.238 Tahun 2014.
“Memerintahkan penundaan pelaksanaan SK Nomor 2.238 Tahun 2014 sampai berkekuatan hukum tetap,” ujar Adhi.
Pengadilan menilai tidak berlakunya SK Gubernur Nomor 2.238 tahun 2014 yang diterbitkan Pemerintah DKI Jakarta dan diberikan kepada PT. Muara Wisesa Samudera (Grup Agung Podomoro).
“Menyatakan SK Nomor 2.238 tahun 2014 tidak sah dan memerintahkan tergugat mencabut SK Gubernur Nomor 2.238 tahun 2014,” ucapnya.
Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan bahwa izin reklamasi yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak mematuhi syarat formal sesuai perundang-undangan dengan tidak dijadikannya UU No.27 tahun 2007 dan perubahannya UU No 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagai pijakan.
“Salah satunya, tergugat tidak mampu membuktikan rencana zonasi sebagaimana dimandatkan Pasal 7 Atat (1) UU Nomor 27 tahun 2007 itu,”kata Adhi.
Cacat formal lainnya yang diungkap majelis hakim adalah soal izin Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL). Dalam penerbitan izin reklamasi pulau G, tergugat terbukti tidak melakukannya sesuai ketentuan.
“Dalam proses penyusunan Amdal, tidak partisipatif, dimana tergugat tidak melibatkan nelayan sebagai pihak yang akan terdampak langsung oleh proyek reklamasi itu,” ujar dia.
Reklamasi juga, dinyatakan oleh majelis hakim tidak sesuai dengan prinsip pembangunan untuk kepentingan umum. Reklamasi juga menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan hidup yang juga berdampak terhadap kehidupan sosial dan ekonomi sehingga gugatan para pemohon layak untuk dikabulkan. [DS]