Pembunuhan John Lennon: Pelaku Menderita Skizofrenia dan Mendengar Suara-suara

Mark David Chapman, pelaku pembunuhan John Lennon, didiagnosis menderita skizofrenia dan mengaku mendengar suara-suara. (Sumber: Radio Tangra)

The Beatles adalah sebuah grup musik rock Inggris yang fenomenal. Dibentuk di Liverpool pada tahun 1960, The Beatles dipimpin oleh John Lennon dan Paul McCartney. Berkat kesuksesan besar The Beatles, John Lennon dikenal sebagai sosok yang intelek dan paling vokal.

John Lennon menimbulkan kontroversi besar pada tahun 1966 dengan menyatakan bahwa The Beatles “lebih populer daripada Yesus” dalam sebuah wawancara dengan Maureen Cleave, seorang reporter sekaligus temannya. Dia membuat pernyataan mengejutkan itu saat sedang mengomentari kekristenan.

“Kekristenan akan hilang. Kekristenan akan lenyap dan menyusut. Saya tidak perlu berdebat tentang itu; saya benar dan saya akan terbukti benar. Kami lebih populer daripada Yesus sekarang; saya tidak tahu mana yang akan hilang lebih dulu—rock ‘n’ roll atau Kekristenan. Yesus memang baik tetapi para pengikutnya bodoh dan biasa-biasa saja. Merekalah yang memutarbalikkan fakta dan merusak kekristenan menurut saya,” ujarnya, dikutip dari Britannica.

Pernyataan tersebut memicu pembakaran massal rekaman The Beatles di American Bible Belt. Dan ketika John Lennon meninggal pada tanggal 8 Desember 1980, banyak orang meyakini bahwa dia telah menerima hukuman dari Tuhan.

Terlepas dari pandangan tersebut, penyebab kematian John Lennon jelas: dia dibunuh oleh Mark David Chapman, seorang mantan penjaga keamanan asal Amerika Serikat, di kota New York. Kala itu John Lennon dan istrinya, Yoko Ono, sedang mengerjakan sebuah lagu baru berjudul “Walking on Thin Ice” di New York. Chapman dilaporkan “marah dan iri” pada gaya hidup para anggota The Beatles, terutama John Lennon.

Pelaku Pembunuhan John Lennon

Mark David Chapman lahir pada 10 Mei 1955, di Fort Worth, Texas. Ayahnya adalah seorang sersan Angkatan Udara AS dan ibunya adalah seorang perawat. Chapman mengalami masa kecil yang sulit dan saat remaja, dia memakai narkoba serta tergila-gila pada The Beatles, terutama John Lennon.

Saat di sekolah menengah, Chapman menjadi penganut Kristen sejati. Begitu lulus, dia bekerja di YMCA dan menjadi konselor bagi para pengungsi Vietnam di Fort Chaffee, Arkansas.

Chapman pindah ke Hawaii pada tahun 1977. Dia mencoba bunuh diri di sana, tetapi dibawa ke rumah sakit. Kemudian pada tahun itu pula dia mulai bekerja di rumah sakit itu: pertama di bagian pemeliharaan dan kemudian di percetakannya.

Di tahun 1979, Chapman menikah dengan seorang agen perjalanan bernama Gloria Abe dan menjadi seorang penjaga keamanan. Selama tahun berikutnya, kondisi mentalnya menjadi semakin tidak stabil dan dia berniat membunuh orang. Dia terobsesi dengan novel karya J.D. Salinger yang berjudul The Catcher in the Rye dan mulai meniru tokoh utamanya, Holden Caulfield, seorang remaja kelas atas yang menderita depresi dan membuat kekacauan di Manhattan sebagai upaya menentang “para penipu” (phonies).

Merencanakan Pembunuhan John Lennon

Mark David Chapman membuat daftar berisi orang-orang yang ingin dia bunuh, yaitu David Bowie, Johnny Carson, Elizabeth Taylor, George C. Scott, Jacqueline Kennedy Onassis, Ronald Reagan, Paul McCartney, dan John Lennon. Dia akhirnya memutuskan untuk membunuh John Lennon, yang dia anggap sebagai “seorang penipu” (phony).

Pada bulan Oktober 1980, Chapman keluar dari pekerjaannya, dan tak lama kemudian membeli revolver kaliber .38. Di akhir bulan itu, dia terbang ke New York City, tetapi berubah pikiran tentang pembunuhan John Lennon dan kembali ke Hawaii pada bulan November.

Akan tetapi, Chapman kembali ke New York pada tanggal 6 Desember. Dua hari kemudian, dia menunggu di luar apartemen mewah John Lennon. Sorenya, dia bertemu sang pemimpin The Beatles dan menerima tanda tangannya pada salinan album Double Fantasy.

Malam itu, John Lennon dan Yoko Ono hendak kembali ke apartemen mereka Chapman menembak John Lennon sebanyak lima kali dengan revolvernya. Sang pemimpin The Beatles mengalami pendarahan hebat dan dilarikan ke rumah sakit, tetapi meninggal dalam perjalanan. Sementara itu, Chapman tetap berada di tempat kejadian perkara, membaca novel The Catcher in the Rye hingga dia ditangkap.

Mengalami Gangguan Kejiwaan

Saat menjalani tes kejiwaan, Mark David Chapman mengaku mendengar suara yang menyuruhnya membunuh John Lennon. Seorang dokter mendiagnosisnya menderita skizofrenia.

“Sebagian dari diri saya tidak ingin melakukannya. Sebagian dari diri saya ingin melakukannya. Ada suara di kepala saya yang berkata, ‘Lakukan! Lakukan! Lakukan!'” katanya, seperti dikutip dari New York Post.

Terkait obsesinya terhadap Holden Caulfield dari novel The Catcher in the Rye, Chapman mengungkapkan bahwa dia berpikir pembunuhan John Lennon akan membuatnya terkenal, mengubahnya menjadi “sesuatu yang bukan sekadar orang biasa”.

“Saya pikir saya akan berubah menjadi seseorang jika saya membunuh seseorang. Saya pikir saya akan berubah menjadi Holden Caufield,” tuturnya, dikutip dari New York Post.

Bukti yang semakin mempertegas gangguan kejiwaan Chapman datang dari David Suggs, pengacara pembelanya. Suggs menyebut bahwa kliennya “bolak-balik, antara berdoa kepada Tuhan dan berdoa kepada Iblis.”

Kemudian sebelum persidangan, para pembela Chapman menginstruksikannya untuk mengaku gila, tetapi dia mengaku bersalah atas pembunuhan John Lennon karena dia telah mendengar suara Tuhan.

“Saya sedang duduk di depan radio, mendengarkan musik rock, dan saya merasakan Roh Kudus berbicara ke dalam hati saya. Saya tahu bahwa Tuhan ingin saya mengaku bersalah,” ujarnya.

Hakim menerima alasan percakapan dengan Tuhan sebagai sesuatu yang rasional. Chapman didakwa dengan pembunuhan tingkat dua dan dijatuhi hukuman 20 tahun hingga penjara seumur hidup. Dia memenuhi syarat untuk pembebasan bersyarat pada tahun 2000, tetapi permintaannya ditolak sebanyak 12 kali.

Di tahun 2010, Chapman mengaku bahwa John Lennon adalah target yang paling mudah diakses. Chapman juga menyebut bahwa dia memasukkan sang pemimpin The Beatles dan orang-orang lainnya ke dalam daftarnya karena mereka terkenal. Menurutnya, membunuh mereka akan memberinya “kemasyhuran dan ketenaran instan”. [BP]