Pada tanggal 13 Juli 1793, sebuah pembunuhan mengguncang jantung Revolusi Prancis. Jean‑Paul Marat, seorang tokoh revolusi yang radikal sekaligus pemimpin suara rakyat melalui surat kabarnya L’Ami du peuple, tewas di tangan seorang perempuan muda bernama Charlotte Corday.
Peristiwa berdarah ini tidak hanya mengakhiri hidup salah satu tokoh penting Revolusi, tetapi juga menjadi simbol benturan keras antara dua kutub ideologis: Jacobin yang radikal dan Girondin yang moderat.
Jean‑Paul Marat
Jean‑Paul Marat bukanlah revolusioner biasa. Ia adalah dokter, ilmuwan, wartawan, dan politikus yang menyulut semangat revolusi melalui kata-kata tajamnya.
Surat kabarnya, L’Ami du peuple (Sahabat Rakyat), menjadi suara keras yang menyuarakan penderitaan rakyat miskin perkotaan (sans-culottes) sekaligus menyerang habis lawan-lawan politiknya.
Namun, popularitas Marat datang bersama kontroversi. Ia dicintai sebagai pahlawan rakyat, tapi juga ditakuti dan dibenci sebagai penghasut kekerasan. Tubuhnya yang lemah akibat penyakit kulit memaksanya sering berendam dalam bak mandi obat—dan di situlah ajal menjemputnya.
Sedangkan pembunuhnya Charlotte Corday, nama lengkapnya Marie-Anne Charlotte de Corday d’Armont, berasal dari keluarga bangsawan kecil di Normandia.
Tumbuh dalam lingkungan religius dan mendapat pendidikan yang baik, ia dikenal sebagai pembaca karya filsafat dan politik. Awalnya mendukung Revolusi, ia kemudian kecewa melihat bagaimana kekuasaan berpindah ke tangan kelompok radikal Jacobin.
Bagi Corday, Marat adalah lambang kekerasan yang merusak idealisme awal Revolusi. Setelah menyaksikan bagaimana kelompok Girondin yang moderat tersingkir, dan pembantaian tahanan pada September 1792, ia menilai Marat sebagai biang keladi eskalasi kekerasan.
Ia memutuskan bahwa satu-satunya cara menyelamatkan republik adalah dengan membunuh sang penghasut utama.
Kronologi Pembunuhan
Pada sore hari 13 Juli 1793, Corday datang ke rumah Marat di Paris. Dengan berpura-pura membawa informasi penting tentang pemberontakan di Caen, ia berhasil meyakinkan penjaga rumah untuk memberinya akses. Marat, kala itu sedang berendam di bak mandi obat, menerima kedatangannya.
Tanpa banyak peringatan, Corday mengeluarkan pisau dapur yang ia beli di toko dekat apartemen Marat. Dengan satu tusukan tepat di atas klavikula, ia menewaskan Marat seketika. Di tempat kejadian, polisi menemukan surat yang ditulis Corday serta botol tonik milik Marat yang telah kosong.
Pembunuhan Marat memicu kemarahan besar dari para pendukung revolusi. Alih-alih meredam kekerasan, kematiannya justru membuatnya menjadi martir. Jacobin menjadikan Marat simbol perjuangan.
Jenazahnya dikubur dengan upacara megah yang dihadiri anggota Konvensi Nasional. Jantungnya bahkan diawetkan dan disimpan di klub Cordelier, sebagai bentuk penghormatan.
Sementara itu, Charlotte Corday tidak lari. Ia ditangkap di tempat, diinterogasi, dan diadili dengan cepat. Empat hari kemudian, pada 17 Juli 1793, ia dieksekusi dengan guillotine di depan publik.
Peristiwa pembunuhan ini tidak hanya menjadi bagian penting sejarah politik, tetapi juga budaya. Lukisan karya Jacques-Louis David berjudul The Death of Marat mengabadikan momen tragis tersebut dalam gaya dramatis nan heroik. Lukisan itu menjadi ikon seni Revolusi Prancis—Marat digambarkan sebagai martir, seolah-olah seorang Kristus modern yang gugur demi rakyat.
Namun, bagi sebagian lainnya, Corday bukan sekadar pembunuh, melainkan simbol perlawanan terhadap tirani baru yang tumbuh dari revolusi. Ia tidak melihat dirinya sebagai kriminal, melainkan sebagai seorang patriot yang bertindak demi menyelamatkan bangsa dari kekacauan yang lebih dalam.
Pembunuhan Jean‑Paul Marat oleh Charlotte Corday mencerminkan kegilaan dan idealisme yang saling berkelindan dalam Revolusi Prancis.
Di satu sisi, Corday bertindak karena keprihatinan terhadap kekerasan yang tak berkesudahan. Di sisi lain, kematian Marat justru menambah bara dalam konflik politik yang telah membelah Prancis.
Dalam sejarah, peristiwa ini tetap menjadi pengingat bahwa revolusi bukan hanya tentang meruntuhkan rezim lama, tetapi juga tentang pergulatan ide, moralitas, dan pengorbanan—bahkan, dalam bentuk sebilah pisau yang menusuk dari dalam bak mandi. [UN]

