Anak Agung Gde Bagus Narendra Prabangsa. Foto: Jawa Pos

Koran Sulindo – Ada 34 nama wartawan Indonesia diabadikan di Journalist Memorial News Museum, Washington DC, Amerika Serikat. Mereka adalah wartawan yang gugur ketika sedang menjalankan tugas, antara lain karena dibunuh terkait laporan kejahatan yang sedang dibuat atau diinvestigasi mereka.

Satu dari 34 nama wartawan Indonesia itu adalah wartawan Radar Bali, Anak Agung Gde Bagus Narendra Prabangsa. Ia dibunuh pada Februari 2009 karena berita yang ditulis di medianya.

Jenazahnya ditemukan nelayan di Perairan Teluk Bungsil, di dekat Pelabuhan Padangbai, Karangasem, Bali, 16 Februari 2009. Kondisi mayatnya mengenaskan. Wajahnya lebam dan telinga serta bola mata kanannya sudah tak ada. Di saku celananya ditemukan KTP, SIM A, dan SIM C yang milik Narendra Prabangsa.

Dari hasil pemeriksaan laboratorium forensik Rumah Sakit Umum Sanglah didapat keterangan, Prabangsa diduga disiksa sebelum dibuang ke laut. Karena, ada luka di kepala, pergelangan tangan, serta patahnya tulang rahang dan tulang tangan kanannya.

Dokter Dudut Rustyadi, Koordinator Kedokteran Forensik RSU Sanglah, mengungkapkan, Prabangsa juga masih hidup ketika dibuang ke laut. ”Ini dibuktikan dengan adanya pasir di dalam kerongkongannya,” kata Dudut, sebagaimana ditulis majalah Tempo edisi 1-7 Juni 2009.

Awalnya, polisi menduga kematian Prabangsa tak berkaitan dengan profesinya sebagai wartawan. Polisi bahkan menduga wafatnya bapak dua anak itu secara mengenaskan karena urusan perselingkuhan atau balas dendam.

”Tidak terkait langsung dengan pemberitaan,” kata Kepala Polda Bali waktu itu, Inspektur Jenderal T. Ashikin Husein, awal April 2009.

Namun, banyak pihak tak percaya begitu saja terhadap dugaan pihak kepolisian tersebut, termasuk rekan sejawat korban dari berbagai media. Penanggung Jawab Harian Radar Bali Made Rai kepada Tempo menyatakan, ia sejak awal sudah menduga wartawannya dibunuh karena soal berita. Radar, kata Rai, pernah menurunkan sekitar sepuluh berita tentang penyimpangan proyek Dinas Pendidikan Bangli.

Proyek itu menurut Radar dilakukan tanpa tender. Tiga di antara berita tersebut ditulis Prabangsa secara berturut-turut pada 3 Desember, 8 Desember, dan 9 Desember 2008. Yang menjadi pengawas proyek-proyek itu adalah I Nyoman Susrama, adik Bupati Bangli I Nengah Arnawa.

Diceritakan Rai, Prabangsa menjelang kematiannya kadang terlihat seperti ketakutan. Ia misalnya melarang jendela kantor dibuka karena merasa ada orang yang akan menembak dirinya.

”Waktu itu kami tidak memperhatikan. Kami menganggap hanya lelucon,” tutur Ray.

Ketika itu, Bupati Bangli I Nengah Arnawa mengkritik berita yang ditulis Radar Bali tersebut. Arnawa mengatakan, berita tentang proyek Dinas Pendidikan tersebut tidak seimbang. Dia sendiri mengaku tidak pernah dimintai konfirmasi.

”Sebagai manusia biasa, saya terganggu dengan pemberitaan itu,” kata Arnawa.

Namun, Rai Warsa membantah. Rai mengatakan, pihaknya sudah mewawancarai Kepala Dinas Pendidikan Bali, yang secara tidak langsung juga kepanjangan tangan Bupati Bangli. ”Yang ditulis Prabangsa proyek Dinas Pendidikan, jadi tidak langsung memerlukan konfirmasi bupati,” tutur Rai.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar kemudian melakukan investigasi. Dari hasil investigasi itu, mereka berkesimpulan,kematian Prabangsa diduga kuat berkaitan dengan berita-berita kasus korupsi di sejumlah instansi yang ia tulis.

Antara lain karena informasi dari AJI itulah polisi bergerak lebih giat dan dengan upaya yang lebih besar untuk mengungkap kasus tersebut. Direktorat Reserse dan Kriminal Polda Bali membentuk tiga tim.

Dari nomor telepon genggam Prabangsa, polisi dapat mengetahui siapa saja yang dihubungi dan menghubungi wartawan tersebut pada hari terakhir setelah ia menitipkan sepeda motornya di rumah ibunya di Desa Taman Bali, Bangli.

I Nyoman Susrama menjadi orang yang dicurigai, karena merupakan pengawas proyek-proyek yang beritanya ditulis antara lain oleh Prabangsa di Radar Bali. Apalagi, Susrama adalah adik Bupati Bangli I Nengah Arnawa.

Polisi sampai menyelidiki tempat pembakaran sampah di sudut belakang kediaman I Nyoman Susrama di Banjar Petak, Bebalang, Bangli, sekitar 45 kilometer dari Denpasar. Dari sana ditemukan karpet mobil, celana jins, dan balok kayu yang belum seluruhnya berubah jadi abu. Ada bercak-bercak hitam yang diduga bekas darah terlihat samar-samar pada benda-benda itu.

Polisi juga menemukan bekas ceceran darah yang sudah mengering di rumah Susrama. Sebagian tertutup pasir.

Pada hari itu juga, apa yang ditemukan tersebut dikirim ke Laboratorium Forensik Polda Bali untuk dilakukan tes DNA. Hasilnya: darah yang menempel pada benda yang ditemukan di rumah Susrama sama dengan darah Anak Agung Gede Bagus Narendra Prabangsa.

Susrama pun ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka. Polisi juga melakukan hal yang sama terhadap delapan orang lain yang membatu Susrama. Mereka adalah Komang Gede, Nyoman Rencana, I Komang Gede Wardana (Mangde), Dewa Sumbawa, I Wayan Suecita, Gus Oblong, Endy, dan Jampes.

Susrama menjadi tersangka dalangnya.”Dia aktor intelektualnya,” kata Inspektur Jenderal T. Ashikin Husein.

Dalam proses peradilannya, Susrama divonis seumur hidup oleh Ketua Majelis Hakim Djumain di Pengadilan Negeri Denpasar, 15 Februari 2010. Tuntutan jaksa penuntut umum terhadap Susrama adalah hukuman mati.  Karena, menurut jaksa, Susrama merencanakan dan ikut melakukan pembunuhan terhadap Prabangsa.

Pembunuhan juga dilakukan sangat keji dan Susrama tidak pernah menyesali perbuatannya. “Keterangannya juga berbelit-belit,” kata Jaksa Edy Bujana pada persidangan 26 Januari 2019, seperti dikutip tempo.co.

Namun, ternyata, Susrama mendapatkan grasi dari Presiden Joko Widodo, berupa keringanan tahanan, sehingga hukumannya menjadi hanya 20 tahun. “Ya, benar dapat grasi. Ia mendapat perubahan dari hukuman seumur hidup menjadi hukum sementara. Ini hukumannya diubah menjadi 20 tahun,” kata Kepala Rumah Tahanan Bangli Made Suwendra, sebagaimana dikutip bali.idntimes.com, Senin malam tanggal 21 Januari 2019.

Anggota tim hukum kasus Prabangsa, I Made Suardana, mengaku kaget atas keputusan tersebut. Susrama sebagai otak pelaku pembunuhan terhadap Prabangsa, katanya, telah dihukum seumur hidup karena memang melanggar Pasal 340 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal ini berkenaan dengan kasus pembunuhan berencana.

Dengan mendapatkan grasi, itu artinya Susrama berkesempatan mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat nanti. “Saya kaget mendengar kabar pemberian grasi kepada Susrama, yang merupakan otak pelaku pembunuhan Anak Agung Gede Narendra Prabangsa. Jenis pidananya dari hukuman seumur hidup menjadi pidana biasa, yang bisa mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat nanti,” tutur Suardana.

Pembunuhan Narendra Prabangsa, lanjutnya, mestinya dimaknai sebagai kejahatan terhadap kemerdekaan pers. Pemerintah harusnya menjunjung satu di antara pilar demokrasi, yaitu pers. “Selain itu, mengingat pengungkapan dari pihak kepolisian yang sangat sulit dan telah juga dibarengi oleh putusan pidana yang cukup berkeadilan,” kata Suardana lagi.

Menurut dia, obral grasi bisa mengurangi prinsip keadilan itu sendiri, yang juga membuat tidak adanya kepastian hukum. Karena, presiden setiap saat bisa menggunakan kewenangan mengubah jenis hukuman dan mengurangi hukuman seseorang.

Namun, demi aspek keadilan dan asas kemanfaatan, grasi tersebut masih memungkinkan untuk dicabut dan dianulir. Syaratnya, ungkap Suardana, harus ada kemauan baik dari eksekutif selaku pihak yang mengeluarkan diskresi atau keputusan.

Pihak AJI Denpasar pun menyesalkan keputusan Presiden Joko Widodo memberikan grasi kepada Susrama. Ketua AJI Denpasar Nandhang R. Astika mengatakan, keputusan ini menunjukkan langkah mundur terhadap penegakan kemerdekaan pers.

“Untuk itu, AJI Denpasar menuntut pemberian grasi kepada otak pembunuhan AA Gde Bagus Narendra Prabangsa untuk dicabut atau dianulir,” kata Nandhang dalam keterangan tertulis kepada wartawan, Selasa, 22 Januari 2019. [PUR]