Juliari Batubara

Suluh Indonesia – Baru kali ini pembulian diucapkan hakim pengadilan korupsi sebagai unsur yang meringankan hukuman terhadap terdakwa. Ini terjadi saat Ketua Majelis Hakim Muhammad Damis membacakan vonis hukuman 12 tahun penjara atas mantan Menteri Sosial Juliari Batubara.

Seperti biasa, hakim selalu mencantumkan hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa di dalam dokumen vonis mereka. Nah, di kasus korupsi yang dilakukan Juliari di masa Pandemi Covid-19, hakim Muhammad Damis menyebut Juliari sudah sering di-bully oleh masyarakat, sehingga cukup menderita karenanya.

“Terdakwa sudah cukup menderita dicerca, dimaki, dihina oleh masyarakat,” tutur hakim saat sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (23/8). “Terdakwa telah divonis oleh masyarakat telah bersalah padahal secara hukum terdakwa belum tentu bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.”

Mantan Menteri Sosial Juliari Batubara dijatuhi vonis 12 tahun penjara ditambah dengan Rp500 juta subsider enam bulan kurungan penjara karena terbukti menerima suap sebesar Rp32,48 miliar dari 109 perusahaan penyedia bansos sembako Covid-19 di wilayah Jabodetabek. Juliari juga diminta untuk membayar uang pengganti sebesar Rp14,59 M.

Vonis tersebut memang lebih berat dibanding tuntutan jaksa. Dalam tuntutannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta agar Juliari divonis 11 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan penjara. Tapi, kata hakim, “Mestinya hukuman atasnya lebih berat.”

Baca juga: Pelaku Medsos Dituntut Kreatif, tapi juga Harus Bijak

Tak ayal, pertimbangan hakim yang menyebut soal pembulian tadi membuat sejumlah pakar hukum dan penggiat anti korupsi angkat bicara. Mereka secara umum menganggap cacian masyarakat sebenarnya tak perlu dijadikan hal yang meringankan hukuman karena itu merupakan sanksi sosial dari masyarakat.

Pembulian dan cacian masyarakat itu sudah menjadi resiko atas apa yang diperbuat Juliari Batubara. Apalagi ini di tengah masa pandemi. Maka jengahnya masyarakat dapat dimaklumi.

Karena bagaimanapun, vonis hakim belum memberi efek jera. Bahkan, pidana tambahan atasnya berupa keharusan membayar Rp14 miliar belum cukup untuk memulihkan kerugian negara. Hal yang meringankan, seharusnya cukuplah dikatakan, terdakwa berkelakuan baik selama persidangan. Atau bisa hal lain yang memang tidak mempersulit jalannya persidangan.

Hal-hal yang berupa cacian atau bulian dari masyarakat seharusnya dijadikan trigger oleh majelis untuk memasukkannya sebagai hal yang memberatkan. Karena hal ini jelas merupakan fakta bahwa masyarakat merasa dirugikan atas perilaku Juliari, bukan malah menjadi hal meringankan.