Koran Sulindo – Pemberontakan rakyat Indonesia terhadap kekuasaan kolonial Belanda bukanlah hal yang asing dalam sejarah pergerakan nasional. Ketidakadilan yang dialami masyarakat kerap menjadi bara yang menyulut semangat perlawanan, baik dalam bentuk aksi damai maupun pemberontakan terbuka.
Salah satu contoh kuat dari perlawanan ini adalah Pemberontakan Tolitoli pada tahun 1919 di Sulawesi Tengah. Dipicu oleh kebijakan kerja paksa dan pajak yang menindas, serta pengaruh besar dari Central Sarekat Islam, peristiwa ini menjadi simbol betapa rakyat Indonesia tidak tinggal diam menghadapi penindasan kolonial. Artikel ini akan menelusuri lebih dalam tentang peristiwa bersejarah ini, termasuk latar belakang, puncak konflik, dan dampaknya bagi perjuangan kemerdekaan.
Latar Belakang Pemberontakan
Dilansir dari laman kemdikbud, pada Mei 1919, terjadi pemberontakan besar di Tolitoli, Sulawesi Tengah, yang mengakibatkan tewasnya seorang kontrolir Belanda. Insiden ini merupakan bagian dari Pemberontakan Tolitoli, sebuah perlawanan rakyat yang dipicu oleh ketidakpuasan terhadap kebijakan kolonial Belanda, terutama sistem kerja paksa (heerendienst) dan pajak (belasting).
Pemberontakan ini juga dipengaruhi oleh peran aktif Central Sarekat Islam (CSI), organisasi yang diakui berperan besar dalam membangkitkan kesadaran rakyat terhadap penindasan kolonial.
Saat itu Sarekat Islam pertama kali memasuki wilayah Sulawesi Tengah pada tahun 1916, ketika Afdeling Buol Tolitoli menjadi daerah pertama yang menerima organisasi tersebut.
Di bawah pimpinan Raja Binol, bersama Pangeran Mangkona dan T. Mangkona, Sarekat Islam berkembang pesat. Walaupun dipimpin oleh kalangan bangsawan, Sarekat Islam di Tolitoli justru kritis terhadap kebijakan kolonial, terutama terkait kerja paksa dan pajak yang sangat membebani rakyat.
Melalui jaringan para pedagang dan bangsawan, Sarekat Islam berhasil menyebarkan pengaruhnya. Namun, pemerintah kolonial Belanda berupaya mengendalikan Sarekat Islam dengan menyuap dan mengangkat beberapa pemimpinnya ke posisi penting, seperti yang terjadi pada Haji Mogi, yang diangkat sebagai raja.
Setelah diangkat, Haji Mogi tidak lagi bersikap kritis dan bahkan mendukung kebijakan kolonial, yang membuat banyak anggota Sarekat Islam kecewa.
Kunjungan Abdoel Moeis dan Pidato yang Membakar Semangat
Di tengah kekecewaan terhadap para pemimpin lokal, Abdoel Moeis, seorang tokoh penting dari Central Sarekat Islam sekaligus anggota Volksraad, melakukan kunjungan ke Tolitoli pada Mei 1919.
Dalam kunjungannya, Abdoel Moeis menyampaikan pidato-pidato yang menginspirasi rakyat. Salah satu pidatonya menyamakan Indonesia dengan “kalung mutiara” yang subur namun dikuasai orang asing, sementara rakyat pribumi hanya menjadi pekerja di tanah sendiri. Pidato-pidato ini membakar semangat masyarakat untuk melawan penindasan kolonial.
Puncak Pemberontakan di Salumpaga
Perlawanan rakyat memuncak saat seorang kontrolir Belanda tiba di Tolitoli pada 5 Juni 1919 untuk menjatuhkan hukuman pada mereka yang menolak kerja paksa. Rakyat Tolitoli, yang sedang menjalankan ibadah puasa, memohon agar hukuman ditunda, tetapi kontrolir menolak permintaan tersebut.
Hal ini memicu kemarahan rakyat, yang kemudian menghadang polisi yang mengawal para tahanan. Dalam bentrokan tersebut, kontrolir Belanda tewas di tangan rakyat.
Amarah rakyat tidak berhenti di situ; mereka juga menyerang juru tulis pajak dan Haji Ali, seorang raja yang mendukung kebijakan kolonial. Selain itu, sejumlah toko milik pedagang Tionghoa dijarah dan dibakar sebagai bentuk protes.
Dampak dan Penangkapan Abdoel Moeis
Pemberontakan ini membawa dampak besar. Setelah pihak kolonial berhasil mengendalikan situasi, seratus orang ditangkap dan berbagai senjata disita. Kasus ini juga berdampak pada Central Sarekat Islam, terutama Abdoel Moeis yang dianggap sebagai provokator utama.
Ia diadili di pengadilan Raad van Justice dan menghadapi tuduhan sebagai penggerak rakyat dalam pemberontakan. Pemberontakan Tolitoli pada 1919 menjadi salah satu contoh penting perlawanan rakyat Indonesia terhadap penindasan kolonial.
Peristiwa ini tidak hanya menunjukkan besarnya pengaruh Sarekat Islam dalam membangkitkan kesadaran rakyat, tetapi juga menggambarkan betapa kuatnya perlawanan terhadap kebijakan kolonial yang tidak adil.
Meskipun pemberontakan ini berhasil ditumpas, semangat perlawanan rakyat Tolitoli menginspirasi gerakan-gerakan selanjutnya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. [UN]