Ketika sebuah bangsa dihadapkan pada ketidakadilan dan penindasan, perlawanan menjadi sebuah panggilan yang sulit diabaikan. Dalam sejarah Indonesia, berbagai pemberontakan dan aksi heroik melawan kolonialisme mencatatkan jejak keberanian dan pengorbanan.
Salah satu kisah penuh keberanian tersebut adalah Pemberontakan Silungkang, sebuah aksi yang lahir dari semangat melawan ketidakadilan ekonomi dan sosial yang diakibatkan oleh eksploitasi tambang batubara Ombilin oleh kolonial Belanda.
Bukan sekadar sebuah pemberontakan lokal, peristiwa yang terjadi di malam pergantian tahun 1927 ini mencerminkan keberanian rakyat Sumatra Barat, khususnya Nagari Silungkang, untuk melawan dominasi kolonial. Meski penuh dengan risiko dan tekanan militer Belanda, semangat rakyat tidak surut. Artikel ini akan mengupas lebih dalam tentang latar belakang, persiapan, hingga sejarah dari peristiwa heroik tersebut.
Mari kita telusuri bagaimana Pemberontakan Silungkang menjadi saksi bisu keberanian rakyat dalam memperjuangkan keadilan, meski berada dalam bayang-bayang penindasan yang menyesakkan.
Latar Belakang Pemberontakan
Pada 1 Januari 1927, Nagari Silungkang, yang terletak dekat Tambang Batubara Ombilin di Sumatra Barat, menjadi saksi sebuah pemberontakan yang mengguncang fondasi kekuasaan kolonial Belanda. Melansir laman kemdikbud, pemberontakan ini bukan hanya perlawanan lokal tetapi juga bagian dari aksi radikal yang digerakkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam latar belakang eksploitasi ekonomi dan ketimpangan sosial yang menyakitkan, rakyat Silungkang berusaha melawan ketidakadilan yang mereka alami.
Eksploitasi tambang batubara Ombilin oleh pemerintah kolonial Belanda telah menciptakan jurang kesenjangan ekonomi yang dalam di Sumatra Barat. Dalam situasi ini, Syarikat Rakyat (SR) Silungkang, sebuah organisasi yang berafiliasi dengan PKI, menjadi motor penggerak perlawanan.
Rencana pemberontakan mulai digagas pada November 1926. Peledakan bom di Sikalang pada 16 November direncanakan sebagai awal dari serangkaian aksi, termasuk penyerbuan penjara di Sawahlunto untuk membebaskan para pemimpin yang ditahan, dan serangan terhadap pejabat kolonial.
Namun, rencana ini bocor, sehingga polisi dan militer Belanda segera memperketat penjagaan di objek-objek vital. Sebanyak 18 pemimpin perlawanan berhasil ditangkap, namun 16 lainnya melarikan diri dan menjadi otak di balik aksi pemberontakan Silungkang.
Persiapan dan Eksekusi Pemberontakan
Para pemimpin yang lolos kemudian merancang ulang pemberontakan. Awalnya, aksi direncanakan pada akhir November, tetapi ditunda hingga malam tahun baru 1927. Sejak akhir Desember, pimpinan SR Silungkang menghubungi anggota dan simpatisan di berbagai nagari, seperti Muaro Kalaban, Padang Sibusuk, Tanjung Ampalu, Pianggu, dan Tarung-Tarung. Semua sepakat untuk mendukung aksi perlawanan.
Persiapan berlangsung intensif, termasuk pengadaan senjata. Seorang saudagar lokal bahkan membeli 160 pistol dari seorang pedagang Eropa. Para pemimpin SR juga melaporkan rencana ini kepada pimpinan daerah mereka di Padangpanjang. Pada malam 31 Desember, sekitar 400 orang berkumpul di sebuah rumah bertingkat milik Muhammad Yusuf gelar Sampono Kayo. Para peserta dilengkapi dengan senjata tajam, senjata api, dan granat. Massa juga diberi selendang merah sebagai tanda pengenal.
Pada pukul 23.00, rapat pimpinan SR memutuskan aksi segera dimulai. Sasaran utama termasuk kantor pemerintah, tambang, penjara di Sawahlunto, pos polisi, dan tokoh pendukung Belanda di Silungkang. Kepala Nagari Silungkang menjadi korban pertama, diikuti pembunuhan terhadap tiga guru, dua saudagar, dan seorang anak. Massa membakar rumah kepala stasiun serta fasilitas stasiun Silungkang. Dalam aksi ini, satu-satunya korban Belanda adalah Tuan Leurs, seorang mandor Pekerjaan Umum setempat.
Akhir dari Pemberontakan
Namun, serangan ke Sawahlunto gagal karena pasukan pemerintah berhasil mempertahankan daerah tersebut. Pertempuran berlanjut di Muaro Kalaban dan Padang Sibusuk, tetapi akhirnya berhasil dipadamkan oleh tentara Belanda. Pemberontakan ini menelan korban jiwa di kedua belah pihak: tujuh orang di pihak Belanda, 21 di pihak pemberontak, serta lebih dari 1.300 orang ditangkap.
Pemberontakan Silungkang menunjukkan keberanian rakyat Sumatra Barat dalam melawan penindasan kolonial. Meskipun gagal, aksi ini menjadi bagian penting dari sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Peristiwa ini mencerminkan tekad rakyat untuk melawan ketidakadilan, sekaligus menjadi pelajaran berharga tentang perlawanan kolektif di bawah kondisi penindasan ekstrem.
Sebagai bagian dari sejarah Indonesia, pemberontakan ini mengingatkan kita akan pentingnya semangat persatuan dan keberanian dalam menghadapi ketidakadilan. Warisan dari Silungkang tetap hidup sebagai simbol perlawanan terhadap penjajahan dan eksploitasi. [UN]