Pemberian nama Kutai menjadi nama suku akibat dari politik kepentingan penguasa saat itu yang berambisi menyatukan dua kerajaan, yaitu Kutai Kartanegara dengan Kutai Martadipura. Tujuannya untuk memperbesar wilayah Kutai Kartanegara dan menahan perluasan kekuasaan Kubilai Khan dari Dinasti Mongol. Masyarakat Dayak akhirnya bertransformasi menjadi Masyarakat Kutai saat berdiam di wilayah kekuasaan kerajaan Kartanegara dan diharuskan mematuhi peraturan penguasa. Yang menolak dan memiliki kesempatan melarikan diri akhirnya masuk ke pedalaman dan tetap menjadi masyarakat Dayak. Versi lain menyebutkan istilah dayak bukan merupakan nama suku tapi pemberian Belanda untuk menghina masyarakat.
Masih menurut Wikipedia, kerajaan Kutai pada awalnya disebut Queitaire (Kutai) oleh pendatang dan pedagang yang datang dari India Selatan. Kata queitaire berarti belantara, dengan ibu kota kerajaan bernama Maradavure (Martapura) berada di Pulau Naladwipa (Kalimantan). Dalam berita Champa atau Tiongkok disebut Kho-Thay artinya Kota Besar atau Bandar Kerajaan Besar.
Pada masa itu penduduk Kutai terbagi menjadi lima puak (suku), yakni Puak Pantun, Puak Punang, Puak Sendawar, Puak Pahu, dan Puak Melanti. Puak Pantun merupakan suku tertua yang ikut mendirikan kerajaan Kutai Martadipura. Suku ini mendiami kabupaten Kutai Kartanegara sampai kabupaten Kutai Timur sekarang.
Puak Punang adalah suku yang mendiami wilayah pedalaman, diperkirakan hasil percampuran antara Puak Pantun dan Puak Sendawar (Tunjung-Benuaq). Suku ini mendirikan kerajaan Sri Bangun di Kota Bangun (atau dikenal dengan nama Negeri Paha pada masa pemerintahan Kutai Martadipura). Puak Punang tersebar di wilayah Kota Bangun, Muara Muntai, Danau Semayang, Sungai Belayan, dan sekitarnya.
Puak Tulur adalah suku yang mendiami wilayah Sendawar (Kutai Barat). Suku ini mendirikan Kerajaan Sendawar di Kutai Barat dengan Rajanya yang terkenal Aji Tulur Jejangkat. Mereka berpencar meninggalkan tanah aslinya dan membentuk kelompok suku masing-masing yang sekarang dikenal sebagai suku Dayak Tunjung dan Benuaq (Ohong dan Bentian).
Puak Pahu adalah suku yang mendiami wilayah Sungai Kedang Pahu. Suku ini tersebar di Kecamatan Muara Pahu dan sekitarnya. Puak ini merupakan keturunan Dayak Benuaq.
Puak Melanti adalah masyarakat yang mendiami wilayah pesisir. Mereka merupakan puak termuda di antara puak-puak Kutai. Di dalam masyarakat ini telah terjadi percampuran antara suku Kutai asli yaitu Dayak, dengan suku pendatang yakni Banjar, Jawa, dan Melayu.
Masa selanjutnya Puak Pantun, Punang, Pahu, dan Melanti berkembang menjadi suku Kutai yang memiliki bahasa yang mirip namun berbeda dialek. Sedangkan sebagian Puak Sendawar yang tidak berasimilasi dengan pendatang akhirnya hidup di pedalaman, oleh peneliti Belanda disebut dengan istilah orang Dayak.
Saat ini suku atau orang Kutai dibedakan dengan orang-orang Dayak lain karena umumnya memeluk Islam. Mereka sering disebut Halok atau Haloq (sebutan untuk suku Dayak atau suku asli Tanah Kutai yang keluar dari adat/budaya/kepercayaan nenek moyang), untuk membedakannya dengan orang Dayak yang belum memeluk Islam.
Pada masa sekarang orang Kutai umumnya memeluk Islam. Sisa-sisa Hindu masih terlihat dalam berbagai upacara daur hidup, misalnya upacara naik ayun, pemberian nama bayi, dan pengobatan tradisional.
Adat-istiadat lama Suku Kutai memiliki beberapa kesamaan dengan adat-istiadat suku-suku rumpun Ot Danum (khususnya Tunjung-Benuaq), misalnya Erau (upacara adat yang paling meriah berawal dari abad ke-12), belian (upacara tarian penyembuhan penyakit), serta mantra-mantra dan ilmu gaib. Adat-adat tersebut dimiliki oleh Suku Kutai dan Suku Dayak. Suku Kutai asli akan menyebut Suku Dayak dengan istilah Densanak Tuha yang artinya Saudara Tua karena masih satu leluhur. [DS]