Rencana pembangunan infrastruktur pada era Joko Widodo hingga 2019 [Foto: istimewa]

Koran Sulindo – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengkritik kebijakan pemerintah yang membangun infrastruktur secara masif. Bahkan pembangunan infrastruktur pada era Presiden Joko Widodo itu disebut nyaris sama dengan era Orde Baru.

Direktur Eksekutif Walhi Nur Hidayati mengatakan, pembanguna infrastruktur yang mirip zaman Soeharto itu berdampak besar. Pertama, utang luar negeri akan menumpak sehingga akan ditanggung oleh generasi selanjutnya.

“Kemudian, pembangunan infrastruktur juga akan berdampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat,” kata Nur dalam keterangan resminya di Jakarta, Senin (21/11).

Apa yang disampaikan Nur tersebut tidaklah berlebihan. Terbaru adalah penggusuran pemukiman warga dan persawahan di Sukamulya, Majalengka, untuk pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat. Dengan mengatasnamakan pembangunan, justru menciptakan konflik agraria antara negara dengan masyarakat.

Celakanya, seperti di zaman Soeharto, cara yang ditempuh pemerintah hari ini nyaris serupa: mengerahkan aparat keamanan untuk merepresi rakyat. Ia menduga pembangunan itu hanya demi kepentingan pengusaha, sedangkan masyarakat sama sekali tidak mendapatkan manfaat atas pembangunan itu.

Pada era Jokowi pembangunan infrastruktur berjalan secara intensif. Presiden sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono melalui skema Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) telah meletakkan dasar pembangunan infrastruktur.

Jokowi –  kendati selalu menolak meneruskan MP3EI – justru pada periodenya ini merupakan tahap pelaksanaan dari pembangunan tersebut. Dan yang perlu diingat infrastruktur merupakan salah satu proyek utama dalam mega proyek MP3EI.

Untuk melaksanakan berbagai macam proyek infrastruktur itu, pemerintah Jokowi menetapkan kebutuhan dana mencapai sekitar Rp 4.800 triliun  hingga 2019. Sedangkan kemampuan pemerintah hanya sekitar Rp 1.131 triliun, sehingga ada kekurangan dana yang cukup besar.

Seperti yang sudah disebutkan, kekurangan dana ini umumnya ditutupi melalui investasi asing atau utang. Dan Nur mengingatkan itu akan menumpuk utang luar negeri yang akan ditanggung generasi selanjutnya.

Lembaga bentukan Bank Dunia yaitu International Finance Coorporation (IFC) menyebutkan jika Indonesia ingin terus bersaing sebagai negara yang tumbuh secara ekonomi, maka proyek infrastrukur sangat penting sebagai jawaban untuk membuka sumbatan kran (result in bottleneck) investasi yang selama ini menyumpal Indonesia akibat jeleknya infrastruktur di Indonesia .

Bersama Bank Dunia, IFC menyalurkan utang sebesar US$ 12 miliar untuk empat tahun. Di luar itu tiap-tiap lembaga tersebut telah menggelontorkan US$ 1 miliar pada tahun ini.  IFC pula yang kemudian memberi modal kepada Jokowi untuk menghimpun dana ke dalam perusahaan pembiayaan infrastruktur bernama PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI ini juga yang memperoleh pembiayaan dari dana yang terkumpul dalam BPJS), yang juga akan dikelola Pusat Investasi Pemerintah (PIP).

Sumber pendanaan untuk proyek infrastruktur Indonesia dipastikan semakin bertambah. Berbagai lembaga keuangan domestik dan internasional seperti Indonesia Infrastructure Fund (IIF), Japan Bank For International Cooperation (JBIC), Bank Pembangunan Asia (ADB), Bank Dunia hingga yang terbaru AIIB  siap membiayai proyek infrastruktur yang tersebar di Indonesia.

Sebelumnya, Menteri Perencanaan Pembangunan Bambang Brodjonegoro dalam suatu acara juga pernah berujar kondisi perekonomian Indonesia mirip ketika masih dijajah Belanda. Itu antara lain karena Indonesia hanya mengandalkan sumber daya alam untuk ekspor.

Semasa era kolonial, Belanda menjarah rempah-rempah dan komoditas lainnya untuk dikirim ke negaranya. Sumber daya alam Indonesian dikeruk habis, bahkan pada suatu masa menetapkan sistem tanam paksa. Di zaman modern ini, kondisi Indonesia tidak jauh berbeda dengan era kolonial. Karena itu, situasi ini harus disikapi secara bijak jika tidak ingin kembali ke zaman “kegelapan”. [KRG]