Halaman Depan Pemandangan, edisi 7 September 1935. (Sumber: https://opac.perpusnas.go.id.)

Dalam sejarah pers Indonesia, selalu ada cerita tentang keberanian dan idealisme yang melampaui sekadar pemberitaan. Di tengah tekanan kolonial, krisis ekonomi, hingga pergolakan revolusi, beberapa surat kabar tampil sebagai suara rakyat yang menantang kuasa. Salah satunya adalah Pemandangan, sebuah surat kabar yang lahir dengan tekad menjadi pengawas kekuasaan yang jujur dan adil.

Ketika banyak surat kabar lain dimanfaatkan sebagai alat propaganda oleh kekuatan politik maupun penjajah, Pemandangan tetap teguh pada prinsipnya untuk menyampaikan kebenaran. Dengan independensi yang menjadi dasar keberadaannya, surat kabar ini konsisten menyuarakan kritik tanpa takut akan tekanan.

Bagaimana Pemandangan mampu bertahan di tengah badai politik, menjadi corong kritik yang tajam, hingga mencatatkan diri sebagai bagian penting dalam perjalanan sejarah bangsa? Artikel ini mengupas kiprah Pemandangan, dari masa awal berdirinya hingga akhir perjalanan yang meninggalkan warisan tak tergantikan.

Awal Berdirinya di Tengah Krisis Ekonomi

Pemandangan, salah satu surat kabar yang paling berpengaruh di masa kolonial Hindia Belanda, pertama kali terbit pada 8 Agustus 1933 di Jakarta, tepat saat dunia dilanda krisis ekonomi besar (maleise). Menurut Ensiklopedia Sejarah Indonesia, surat kabar ini didirikan oleh dua tokoh besar, Saeroen dan Raden Hadji Djunaedi, yang memadukan kemampuan jurnalistik dan visi politik yang kuat.

Saeroen dikenal sebagai jurnalis bumiputra yang cerdas dan tajam dalam menulis, sementara Hadji Djunaedi, seorang aristokrat Jawa sekaligus pemilik perkebunan, memainkan peran vital dalam pembiayaan dan pengelolaan percetakan di Senen. Djunaedi sering dianggap sebagai “raga” dari Pemandangan, sementara Saeroen disebut “jiwanya”.

Pada awalnya, Pemandangan hanya terbit seminggu sekali (weekblad), tetapi mulai 27 September 1933, surat kabar ini berubah menjadi harian (dagblad). Dengan motto “mencoba memihak pada kebenaran” dan prinsip independensi yang tegas, Pemandangan menempatkan diri sebagai pengawas kekuasaan tanpa keberpihakan pada partai politik atau kepentingan tertentu.

Di bawah kepemimpinan Saeroen, Pemandangan berkembang pesat dan menjadi salah satu surat kabar yang paling ditunggu pembaca. Rubrik “Kampret”, yang ditulis Saeroen dengan nama pena yang sama, menjadi wadah pandangan kritis terhadap berbagai isu aktual. Gaya penulisannya yang lugas dan berani membuat rubrik ini populer di kalangan masyarakat.

Pada 1 Juli 1936, Mohammad Tabrani mengambil alih posisi pemimpin redaksi. Tabrani, tokoh pergerakan nasional yang berjasa dalam menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, membawa semangat baru bagi Pemandangan. Namun, Saeroen tetap aktif menulis di rubrik “Kampret”. Di bawah Tabrani, Pemandangan tetap setia pada idealisme awalnya sebagai media yang independen dan kritis.

Salah satu peristiwa penting dalam sejarah Pemandangan adalah saat rubrik “Kampret” menulis tentang impian pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS). Artikel ini memicu respons serius dari pemerintah kolonial Belanda, yang menganggapnya sebagai ancaman politik. Akibatnya, Pemandangan diberangus melalui persbreidel ordonantie pada Mei 1940. Surat kabar ini dilarang terbit selama seminggu, dan percetakan yang dipimpin Djunaedi serta Mr. Sumanang di Jl. Senen Raya diobrak-abrik oleh polisi kolonial.

Perjalanan di Era Pendudukan Jepang

Pada masa pendudukan Jepang, Pemandangan sempat dihentikan penerbitannya, tetapi kemudian diizinkan terbit kembali dengan nama baru, Pembangoen. Pergantian nama ini merupakan salah satu cara agar tetap dapat beroperasi di bawah aturan ketat Bala Tentara Dai Nippon. Dengan demikian, Pemandangan menjadi salah satu surat kabar yang berhasil bertahan pada masa awal pendudukan Jepang.

Saat revolusi kemerdekaan Indonesia, Pemandangan tetap aktif dalam dunia pers nasional. Dengan oplah mencapai 7.000 eksemplar, surat kabar ini berkontribusi dalam menyebarkan informasi tanpa berpihak kepada partai politik. Namun, pada 1953, Pemandangan menghadapi tuduhan serius terkait pembocoran rahasia nasional, termasuk tentang gaji pegawai negeri dan investasi asing.

Beban tekanan politik dan ekonomi akhirnya membuat Pemandangan berhenti terbit pada tahun 1958. Kehilangannya meninggalkan jejak sejarah penting sebagai media yang setia pada idealisme kebenaran dan kebebasan pers.

Pemandangan bukan hanya sekadar surat kabar; ia adalah simbol perjuangan pers independen di tanah air. Dari Saeroen hingga Mohammad Tabrani, dari “Kampret” hingga peristiwa pemberangusan oleh pemerintah kolonial, Pemandangan telah mencatatkan peran penting dalam perjalanan sejarah bangsa. Semangatnya sebagai corong kritik yang adil dan independen akan terus dikenang sebagai bagian dari tonggak sejarah pers Indonesia. [UN]