Koran Sulindo – Setelah terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat pada 9 November 2016, banyak kalangan menilai Donald Trump akan segera melaksanakan politik rasis dan neoliberalismenya di seluruh dunia. Jika, warga AS kaget dengan keterpilihannya, maka sesungguhnya tidak perlu heran di seluruh dunia juga demikian.
Trump resmi menjadi presiden setelah dilantik pada 20 Januari 2017. Keterpilihan Trump tidak lepas dari politik rasisme, agama dan diskriminasi gender. Ia juga menolak untuk merespons bagaimana pentingnya mengatasi perubahan iklim. Ia bahkan mendukung penuh penggunaan energi fosil.
Segera setelah menjadi presiden, Trump menghentikan gagasan perdagangan bebas regional seperti Kemitraan Trans Pasifik (TPP). Ia menarik AS mundur dari kesepakatan itu. Akan tetapi, itu bukan karena Trump mendukung perdagangan ekonomi secara adil dan berdasarkan hak asasi manusia.
Memang, ia berbicara tentang buruknya buruh AS di bawah agenda globalisasi. Ia akan tetapi menjadi jelmaan atau gambaran betapa agenda neoliberal AS sangat kejam dan kasar. Betapa tidak. Justru ia akan meningkatkan anggaran militer dan menuntut sekutu AS untuk meningkatkan anggaran lebih di bidang militer.
Ia juga berjanji akan mendeportasi imigran terutama yang berasal dari Afrika. Bahkan termasuk Papua Nugini dan Kepulauan Solomon. Itu lalu diwujudkan Trump dengan menetapkan kebijakan melarang warga yang berasal dari tujuh negara yang mayoritas muslim masuk ke AS. Negara-negara itu adalah Suriah, Irak, Iran, Sudan, Libya, Somalia dan Yaman.
Untuk Nigeria dan Afrika Selatan serta Afrika secara umum, Trump bahkan mengatakan bahwa akan menjajah lagi benua tersebut. Trump juga menjalin kerja sama dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. Dan sebagian publik AS menilai kerja sama ini beda tipis dengan apa yang disebut sebagai pengkhianatan. Itulah gambaran dari apa yang menjadi motto Trump selama musim kampanye pemilihan presiden pada 2016: “Let’s Make America Great Again”.
Pemakzulan Trump
Atas semua tindakan Trump itu, profesor dari Universitas Brandeis Heller School, Robert Kuttner menulis bahwa pemakzulan sebagai sebuah keniscayaan. Tulisannya berjudul The Inevitability of Impeachment yang dimuat The Huffington Post pada 29 Januari lalu, meyakini sudah banyak alasan untuk memakzulkan Trump.
Antara lain mengutamakan kepentingan bisnisnya di atas kepentingan negara. Ia menganggap pelarangan pengungsi dan imigran dari negara muslim adalah kebijakan “gila”. Pasalnya, Trump tidak melarang warga Arab Saudi dan Mesir, padahal keduanya merupakan negara produsen terorisme. Itu karena Trump memiliki kepentingan bisnis di kedua negara tersebut.
Pemakzulan tentu saja melalui proses politik dan sah secara hukum. Para pendiri bangsa telah merancangnya demikian, kata Kuttner. Setelah sepekan menduduki Gedung Putih, tidak hanya Trump yang telah melenceng dari konstitusi, tapi sekutunya dari Partai Republik juga telah meninggalkannya.
Kendati Republik awalnya memanfaatkan Trump untuk tujuan mereka, kini justru berbalik meninggalkan Trump. Itu karena keputusan Trump bekerja sama dengan Putin, dan itu sama sekali bukan Republik. Trump menjadikan Partai Republik menjadi milik pribadi.
Mengutip seorang psikiater ternama Otto Kernberg, Kuttner menggambarkan Trump sebagai seorang “Malignant Narcissism” atau seorang pengidap narsis berlebihan atau “ganas”. Ditandai dengan tanpa hati nurani, ambisius akan kekuasaan dan kejam.
Mengingat bahaya Trump ini terutama untuk Republikan dan Partai Republik, menurut Kuttner, pemakzulan Trump akan terjadi. [KRG]